NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sandiwara Terakhir

Tiga hari telah berlalu sejak Indira menyaksikan langsung pengkhianatan suaminya. Tiga hari di mana ia pulang ke rumah yang sama, tidur di tempat tidur yang sama, berbagi ruang dengan pria yang sama, namun semuanya terasa asing. Seperti tinggal bersama hantu. Atau lebih tepatnya, seperti menjadi hantu di rumahnya sendiri.

Indira berdiri di dapur, tangannya secara mekanis mengaduk kopi di cangkir. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Rangga akan segera turun untuk sarapan, seperti biasa. Rutinitas yang sama, sandiwara yang sama, kebohongan yang sama.

Tapi kali ini, Indira tidak lagi bodoh. Kali ini, ia bermain dengan aturannya sendiri.

Langkah kaki terdengar dari tangga. Indira tidak menoleh. Ia sudah tahu itu Rangga, langkahnya yang mantap, aroma parfum mahalnya yang menyengat, kehadirannya yang dulu membuat jantungnya berdebar kini hanya membuat perutnya mual.

"Pagi, sayang," sapa Rangga dengan nada yang dibuat-buat ceria. Ia menghampiri Indira, mencoba memeluknya dari belakang.

Indira melangkah menjauh, seolah-olah hanya ingin mengambil gula. "Pagi," sahutnya datar, tanpa menatap suaminya.

Rangga mengernyit sedikit. Ia merasakan kejanggalan itu, dinginnya sikap Indira yang semakin hari semakin membeku. Tapi ia cepat-cepat mengabaikan perasaan itu, lebih memilih menyalahkan PMS atau stres.

"Aku sudah buatkan roti panggang," kata Indira sambil menunjuk piring di meja makan. "Dan kopi sudah siap."

"Terima kasih, sayang." Rangga duduk, tersenyum, senyum palsu yang sudah ia latih bertahun-tahun untuk menutupi kebusukan di baliknya. "Kamu tidak sarapan?"

"Sudah," jawab Indira singkat. Kebohongan. Ia tidak punya nafsu makan sejak hari itu.

Mereka duduk di meja yang sama, tapi dunia mereka sudah terpisah ribuan kilometer. Rangga makan dengan santai, sesekali membuka ponselnya, mungkin membaca pesan dari dia. Indira hanya duduk di seberangnya, menatap kosong ke arah jendela, pikirannya melayang jauh.

"Oh ya, Dira," Rangga berbicara sambil mengunyah. "Aku ada kabar."

Indira menoleh, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. "Apa?"

"Aku harus ke luar kota. Dua minggu. Untuk proyek besar di Surabaya."

Hati Indira tersentak. Bukan karena kaget. Bukan karena sedih. Tapi karena marah. Marah pada betapa mudahnya Rangga berbohong, betapa lancarnya ia merangkai kebohongan demi kebohongan.

Dua minggu. Indira tahu apa artinya. Ia sudah melihat surat undangan itu. Pernikahan Rangga dan Ayunda dijadwalkan akhir pekan ini. Resepsi kecil hanya untuk keluarga dekat dan teman-teman terdekat. Di sebuah resort mewah di Bali. Dua minggu cukup untuk menikah dan honeymoon.

Sementara istri sahnya duduk di rumah, menunggu dengan bodohnya.

Tapi Indira tidak bodoh lagi.

"Kapan?" tanya Indira, suaranya tetap tenang.

"Besok pagi. Penerbangan jam delapan." Rangga menatap Indira, mencoba membaca reaksinya. "Kamu... tidak apa-apa aku pergi?"

"Tentu saja aku tidak apa-apa. Pergilah. Nikahi dia. Hancurkan sepenuhnya sisa-sisa pernikahan kita." Tapi yang keluar dari mulut Indira hanyalah: "Tidak apa-apa."

Rangga tampak lega. Terlalu lega. "Terima kasih, sayang. Aku tahu ini mendadak, tapi proyek ini sangat penting untuk perusahaan."

Perusahaan. Selalu perusahaan. Perusahaan keluarga Rangga yang ia kelola sebagai CEO, posisi yang ia dapatkan bukan karena kemampuan, tapi karena ia anak tunggal. Perusahaan kecil yang bergerak di bidang distribusi alat kesehatan, cukup untuk membuat mereka hidup nyaman tapi tidak cukup besar untuk membenarkan jam kerja Rangga yang gila-gilaan.

Atau mungkin memang tidak pernah soal pekerjaan. Selalu soal dia.

"Kamu butuh aku bantu packing?" tanya Indira, masih dengan nada yang datar.

"Ah, tidak usah. Aku bisa sendiri." Rangga berdiri, menghampiri Indira. Ia menggenggam tangan istrinya yang terasa dingin dan kaku. "Dira, aku tahu belakangan ini aku sering sibuk. Aku tahu aku kurang perhatian. Tapi setelah proyek ini selesai, kita akan punya banyak waktu bersama. Aku janji."

Janji.

Kata yang sudah kehilangan maknanya.

Indira menatap tangan suaminya yang menggenggam tangannya. Tangan yang sama yang memeluk wanita lain. Tangan yang sama yang akan mengenakan cincin untuk istri keduanya.

Ia ingin menarik tangannya, ingin berteriak, ingin menampar wajah penuh kepalsuan itu. Tapi ia tidak melakukan apapun. Ia hanya duduk diam, membiarkan Rangga memainkan peran suami yang baik.

"Oke," gumam Indira. "Hati-hati di jalan."

Rangga tersenyum lebar, senyum yang membuat Indira ingin muntah. "Aku akan bawa oleh-oleh untukmu. Kamu mau apa?"

"Tidak usah. Fokus saja dengan pekerjaanmu," jawab Indira.

"Kamu ini," Rangga mencubit pipi Indira dengan gemas, gestur yang dulu manis, kini menjijikkan. "Baiklah, kalau begitu."

Ia mencium kening Indira cepat, tanpa perasaan. Lalu berlalu begitu saja, kembali ke atas untuk bersiap-siap pergi ke kantor.

Indira duduk diam di kursi itu, tangannya masih menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Ia menatap kosong ke arah tangga tempat Rangga menghilang.

Dia bahkan tidak berusaha lebih keras. Dia bahkan tidak peduli untuk membuat kebohongannya lebih meyakinkan. Karena baginya, Indira sudah terlalu jinak. Terlalu patuh. Terlalu mudah dibodohi.

Tapi Rangga salah.

Indira bukan lagi wanita yang dulu. Wanita yang menangis diam-diam di kamar mandi. Wanita yang berdoa agar suaminya selalu mencintainya. Wanita yang rela memaafkan apapun demi menjaga pernikahan.

Indira sekarang adalah wanita yang sudah melihat kebenaran. Dan kebenaran itu membebaskannya dari ilusi cinta yang sudah lama mati.

---

Malam harinya, Indira duduk di ruang keluarga, menatap televisi yang menyala tapi tidak ia tonton. Rangga sedang di lantai atas, sibuk packing untuk perjalanan bisnisnya. Suara benda-benda yang dipindahkan, suara lemari yang dibuka tutup, suara kesibukan yang dibuat-buat.

Indira menggenggam ponselnya, membuka galeri foto. Foto-foto yang ia ambil hari itu. Rangga memeluk Ayunda. Rangga mencium kening Ayunda. Bukti yang tidak bisa dibantah.

Langkah kaki menuruni tangga. Rangga muncul dengan koper besar di tangannya. Ia tersenyum ke arah Indira, senyum yang penuh dengan kepercayaan diri bahwa ia masih memegang kendali.

"Sudah siap," kata Rangga sambil meletakkan koper di dekat pintu. "Besok pagi-pagi aku akan langsung berangkat. Kamu tidak usah bangun."

"Oke," jawab Indira tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

Rangga menghampirinya, duduk di samping Indira di sofa. Ia meraih tangan istrinya, lagi-lagi sentuhan palsu yang terasa dibuat-buat.

"Dira, aku tahu kamu sedang kesal padaku," ucap Rangga dengan nada yang dibuat serius. "Aku tahu aku mengecewakan kamu tentang rencana ke mall kemarin. Tapi percayalah, setelah ini selesai, kita akan punya banyak waktu untuk kita berdua."

Indira akhirnya menoleh, menatap mata suaminya. Mata yang dulu ia cintai. Mata yang dulu penuh kehangatan. Kini hanya mata seorang asing yang ia kenal terlalu baik.

"Rangga," Indira berbicara pelan, "apa kamu... mencintai aku?"

Rangga tersentak. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, menohoknya tepat di hati nurani yang sudah lama ia kubur.

"Tentu saja aku mencintaimu," jawabnya cepat. Terlalu cepat. "Kenapa kamu tanya begitu?"

"Tidak," Indira menggeleng, menarik tangannya perlahan. "Aku hanya... ingin tahu."

"Dira, kamu ini kenapa sih?" Rangga mulai terdengar frustasi. "Kamu jadi aneh. Kamu jadi dingin. Ada apa sebenarnya?"

Indira tersenyum yang tidak sampai ke mata. "Tidak ada apa-apa. Aku cuma lelah."

"Kalau lelah, istirahat. Jangan berpikir macam-macam," kata Rangga sambil berdiri. "Aku mau tidur duluan. Besok harus bangun pagi."

"Oke. Selamat malam."

"Selamat malam, sayang."

Rangga menghilang ke lantai atas. Indira mendengar pintu kamar mereka tertutup. Pintu yang akan tertutup untuk selamanya setelah ini.

Ia menatap ponselnya lagi. Jemarinya bergerak, membuka kontak Rani.

"Ran, dia akan pergi besok. Untuk 'perjalanan bisnis'. Kita tahu itu artinya apa."

Balasan Rani datang cepat.

"Apa rencanamu?"

Indira diam, memikirkan jawaban. Lalu jemarinya mengetik perlahan.

"Aku akan membiarkan dia pergi. Biarkan dia menikah dengan Ayunda. Biarkan dia pikir dia menang. Dan saat dia kembali dengan segala kebohongannya, aku akan menunjukkan padanya apa artinya kehilangan kendali."

"Kamu yakin? Apa kamu tidak mau konfrontasi sekarang?"

"Tidak. Aku mau dia merasa aman. Aku mau dia pikir aku tidak tahu apa-apa. Dan saat dia lengah, saat dia pikir semuanya sudah selesai, aku akan mengakhiri semuanya dengan syarat-syaratku."

Rani membalas dengan emoji tangan mengacung tanda dukungan.

Indira mematikan ponselnya, mematikan televisi, dan duduk dalam kegelapan. Rumah ini terasa dingin. Atau mungkin hatinya yang sudah membeku.

Besok Rangga akan pergi. Akan menikahi wanita lain. Akan mengkhianatinya dengan cara paling keji di hadapan Tuhan, di hadapan keluarga, dengan sumpah dan janji yang sama seperti yang pernah ia ucapkan untuk Indira.

Tapi Indira tidak akan menangis. Tidak akan memohon. Tidak akan menunjukkan kelemahan.

Ia akan menunggu. Menunggu dengan sabar. Menunggu dengan tenang.

Karena pembalasan terbaik bukan yang cepat. Tapi yang tepat.

Dan Indira akan memastikan Rangga merasakan persis apa yang ia rasakan kehilangan, pengkhianatan, dan kehancuran total.

Hanya saja, Rangga belum tahu itu.

Belum.

1
rian Away
awokawok Rangga
Ariany Sudjana
itu hukum tabur tuai Rangga, terima saja konsekuensinya. Indira kamu sia-siakan demi batu kerikil
yuni ati
Menarik/Good/
Ma Em
Alhamdulillah Indira sdh bisa keluar dari rumahnya, Rani emang sahabat terbaik , pasti Rangga kaget pas buka kamar Indira sdh pergi .
Wulan Sari
ceritanya semakin kesini semakin menarik lho bacanya, seorang istri yg di selingkuhi suami,bacanya bikin greget banget semoga yg di aelingkuhi lepas dan cerita akhirnya happy end semangat 💪 Thor salam sukses selalu ya ❤️👍🙂🙏
Wulan Sari
suka deh salut mb Indira semangat 💪
Ma Em
Makanya Rangga jgn sok mau poligami yg akhirnya akan membawamu pada penyesalan , kamu berbuat sesuka hati membawa istri keduamu tinggal bersama Indira istri pertamamu dan mengusirnya dari kamarnya dan malah tinggal dikamar tamu kan kamu gila Rangga , emang Indira wanita hebat dimadu sama suami tdk menangis tdk mengeluh berani melawan berani bertindak 👍👍💪💪
Nany Susilowati
ini novel tahun berapakah kok masih pake SMS
Ariany Sudjana
Rangga bodoh, apa dengan mengunci Indira di kamar tamu, maka Indira akan berubah pikiran? justru akan membuat Indira semakin membenci Rangga
Ma Em
Semoga Indira berjodoh dgn Adrian setelah cerai dgn Rangga .
Ariany Sudjana
Indira harus bercerai dari Rangga, ngapain juga punya suami mokondo, dan juga kan Rangga sudah punya Ayunda. lebih baik Indira kejar kebahagiaan kamu sendiri, apalagi kamu perempuan yang mandiri. masih ada Adrian, yang lebih pantas jadi suami kamu, dan yang pasti lebih berkelas dan bertanggung jawab
Dew666
🥰🥰🥰
Mundri Astuti
mending kamu pisah dulu Dira sama si kutil, biar ga jadi masalah ntar klo sidang cerai
Wulan Sari: iya cerai saja buat apa RT yang sudah ada perselingkuhan sudah tidak kondusif di teruskan juga ga baik mana ada seorang wanita di selingkuhi mau bersama heee lanjut Thor semangat 💪
total 1 replies
Ariany Sudjana
Rani benar Indira, jangan terus terpuruk dengan masalah rumah tangga kamu. kamu perlu keluar dari rumah toxic itu, perlu waktu untuk menyenangkan diri kamu sendiri. kamu tunjukkan kamu perempuan yang tegar, kuat dan mandiri
Ma Em
Rangga lelaki yg banyak tingkah punya usaha baru melek saja sdh poligami , Indira saja sang istri pertama tdk pernah dikasih nafkah eh malah mendatangkan madu yg banyak maunya yg ingin menguasai segalanya , Ayunda kira nikah dgn Rangga bakal terjamin hidupnya ga taunya malah zonk
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas sama itu pelakor. urusan rumah tangga dan cari pembantu bukan urusan kamu lagi, tapi urusan Ayunda, yang katanya ingin diakui jadi nyonya rumah 🤭🤣
Ma Em
Indira hebat kamu sdh benar kamu hrs berani melawan ketidak Adilan dan mundur itu lbh baik serta cari kebahagiaanmu sendiri Indira daripada hidupmu tersiksa 💪💪💪
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas dan tetap berdiri tegak, di tengah keluarga yang mengagungkan nama baik, tapi tingkah laku keluarga itu yang menghancurkan nama baik itu sendiri. sudah Indira, tinggalkan saja Rangga, masih banyak pria mapan yang lebih bertanggung jawab di luar sana dan tidak sekedar menghakimi kamu
Ariany Sudjana
itulah hukum tabur tuai, Rangga sudah memilih Ayunda jadi istrinya, ya terima semua kelebihan dan kekurangannya, jangan mengeluh dan jangan berharap Indira akan berubah pendirian
Dew666
😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!