Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Gimana Dek Bianca, betah nggak tidur di rumah baru.?"
Mbak Sita langsung melontarkan pertanyaan begitu aku mengangkat panggilan grup WA kami yang beranggotakan 4 orang.
Sudah 2 malam aku tidur di rumah baru ini, dan mereka baru menghubungiku lewat panggilan vidio lantaran tau kalau aku sedang sibuk bebenah rumah.
Lagipula selama weekend juga mereka sibuk menghabiskan waktu bersama keluarga.
"Betah sih Mbak, tapi nggak asik sepi banget." Keluhku.
Meski aku bukan tipe orang yang suka hangout dengan teman-teman, tapi aku suka bersosiali. Mungkin karna terbiasa sering kumpul dan mengobrol dengan tetangga di teras rumah, jadi begitu pindah dan hanya memiliki segelintir tetangga rasanya tidak enak.
Kalau sudah begini, bingung harus ngapain lagi setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Tidak ada yang bisa di ajak bicara ataupun bercanda kecuali kalau Mas Dirga ada di rumah.
Sekalinya ada tetangga di sebelah rumah, orangnya jarang di rumah.
"Emangnya tetangga disana nggak ada yang mau bersosialisasi Dek.? Apa jadi wanita karier semua Dek.? Nggak ada yang jadi ibu rumah tangga aja kaya kita." Tanya Mbak Monik yang tampak penasaran.
"Kamu kepo baget Nik.!" Celetuk Mbak Nilam. Walaupun nada bicaranya ketus, tapi Mbak Monik malah tertawa. Mereka memang sudah biasa bercanda dan saling bicara ketus seperti itu.
"Eh denger ya Nilam,, kalau nggak kepo, berarti bukan emak-emak.!" Setelah puas tertawa, Mbak Monik menimpali celetukan Mbak Nilam tak kalah ketus.
"Halah,, udah berantem aja sana." Kata Mbak Sita.
Aku hanya terkekeh geli, tapi seketika rindu berinteraksi dengan mereka secara langsung.
"Coba dong liat rumahnya Dek, sekalian lihat halam depan juga." pinta Mbak Sita yang tampak tidak peduli dengan kegaduhan mereka berdua.
"Ya elah Sit,, Sit,, kamu nggak kalah keponya sama Monik." Ceroros Mbak Nilam.
"Ayo Dek Bia, buruan dong liat rumahnya." Ucapan Mbak Nilam langsung mendapatkan cibiran dari Mbak Sita dan Monik, karna sudah mencibir mereka berdua tapi nyatanya dia sendiri juga kepo.
"Iya Mbak-mbak ku yang cantik,, sabar ya,," Ujarku seraya beranjak dari sisi ranjang. Aku mengaktifkan kamera belakang dan mulai mengarahkan ponsel kesemua sudut kamar, kemudian keluar dan menunjukkan semua ruangan di lantai satu.
Komentar demi komentar saling bersautan. Kebanyakan mereka memuji rumah baruku ini yang katanya jauh lebih luas dan bagus.
Dan memang kenyataan seperti itu. Di banding rumah lama, aku lebih suka dengan rumah baru ini. Hanya saja lingkungannya kurang mendukung karna terlalu sepi untukku.
Aku keluar rumah setelah selesai menunjukkan semua ruangan baik di lantai bawah atupun di lantai atas.
"Enak banget Dek depannya nggak ada rumah. Nggak kayak di sini jarak 4 meter udah ada rumah di depannya." Ujar Mbak Monik. Saat ini aku sedang mengarahkan keseberang rumah yang di beri tembok pembatas setinggi 2 meteran. Dan di balik tembok itu berjejer rumah yang membelakangi cluster di sini.
"Iya Mbak, tapi nggak sepi kayak gini juga. Berasa lagi di kuburan karna gak ada orang. Apalagi jalan buntu dan rumahku paling ujung." Tutur ku panjang lebar.
Aku kemudian duduk di teras setelah menunjukkan sekeliling rumah, termasuk mengarahkan ponselku ke rumah-rumah tetangga yang tak berpenghuni.
Sudah 1 jam lebih kami melakukan panggilan video, mereka pamit untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Dan panggilan grup kami terputus.
Menghela nafas kasar, aku menyederkan punggung di kursi teras. Rumah sudah bersih, tidak ada cucian baju, piring kotor sudah ku cuci sebelum Mas Dirga berangkat. Aku bingung harus ngapain lagi setelah ini, sedangkan Mas Dirga masih lama pulangnya.
Nasib belum di karunia anak dan hanya jadi ibu rumah tangga. Waktu terasa lebih lama karna tidak melakukan kegiatan lain.
"Cluster Lotus memang paling sepi di komolek ini." Suara tetangga sebelah membuat tersentak dan reflek menoleh.
"Tapi nggak kaya kuburan juga kok, masih ada penghuni disini." Lanjutnya gang langsung membuatku tersenyum kikuk. Rumahnya Mas Agam mendengarkan percakapanku. Padahal tadi tidak ada dia di teras rumahnya. Hanya saja pintu rumah dan jendelanya memang terbuka.
Apa mungkin suaraku sampai terdengar ke dalam rumah.
"Eh,, iya Mas." Jawabku sembari menggaruk tengkuk walaupun tidak gatal. Rasanya jadi tidak enak karna Mas Agam mendengar ucapanku yang mengatakan komplek ini seperti kuburan karna tidak orang. Tapi ucapanku. memang benar, dari 8 rumah yang berjejer, hanya rumah kami saja yang masih terlihat penghuninya. Apalagi penghuni 2 rumah paling depan belum terlihat batang hidungnya sejak aku pindah.
"Sebelumnya tinggal di komplek perumahan yang rame, jadi agak kaget pas pindah kesini. Bener-bener sepi banget." Aku bicara panjang lebar agar tidak terlihat canggung.
"Bukannya lebih nyaman suasana kayak gini.? Nggak bising, enak buat konsentrasi." Mas Agam kembali menimpali. Dia sudah duduk di teras rumahnya dengan menghadap ke arahku.
"Enak buat Mas Agam yang kerja, nggak enak buat aku yang dirumah aja." Jawabku. Sebelum Mas Agam menanggapi ucapanku lagi, aku pamit dan bergegas masuk ke dalam rumah. Rasanya canggung ngobrol berduaan saja dengan lawan jenis. Dan sebagai seorang istri, aku juga harus menjaga jarak dengan lawan jenis. Takutnya ada yang melihat dan menimbulkan fitnah. Tapi untung saja lingkungannya sepi, jadi tidak akan ada fitnah apalagi gosip yang menyebar.
...****...
Pukul 9 malam, aku menyambut kepulangan Mas Dirga. Segera ku peluk tubuh tegap nan tinggi itu, hingga membuat lelah di wajah Mas Dirga seketika sirna.
"Aku bau keringet loh Dek,, jangan kenceng-kenceng meluknya, nanti keringatnya pindah ke lingerie kamu." Tegurnya. Tapi dia malah balas memelukku dan mendaratkan kecupan di pucuk kepala.
"Nggapapa Mas, lagian udah biasa tukeran keringat." Jawabku sedikit nakal. Terdengar tawa gemas dari bibir suamiku itu.
"Baru juga masuk rumah, udah di pancing aja." Balas Mas Dirga sembari melepaskan pelukannya.
"Mas mandi dulu ya, peluknya lanjut lagi nanti." Mas Dirga mengecup sekilas bibirku, tanpa ada nafsu, hanya kecupan penuh cinta dan kasih sayang dari sorot matanya.
"Bajunya udah aku siapin di ruang ganti ya Mas." Ujarku sebelum Mas Dirga beranjak ke kamar.
"Iya Dek."
"Aduh sampai lupa kalau tadi Mas beliin minuman sama cemilan buat kamu. Masih ada di mobil Dek, ambil sendiri nggak papa kan.?". Mas Dirga kembali mendekat dan menyodorkan kunci mobil padaku.
"Iya nggak papa Mas, lagian mobilnya juga di depan rumah." Ku sambar kunci mobil di tangan Mas Dirga dan bergegas keluar rumah untuk mengambil mekanan dan minuman yang di bawa olehas Dirga untukku.
Siapa yang tidak cinta dan bahagia memiliki suami seperti Mas Dirga, dia selalu ingat padaku. Hampir setiap hari selalu membawakan sesuatu untukku saat pulang kantor.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong