Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Setelah Bertahun-tahun
Nama itu… Nama yang sudah bertahun-tahun ia simpan dalam ingatannya. Nama yang mengingatkannya pada seseorang yang begitu berjasa dalam hidupnya.
Sorot mata Bagas meredup seiring dengan pikirannya yang berkelana ke masa lalu. Ia teringat pada seorang pria bernama Arya, sosok yang telah memberi kesempatan baginya untuk tetap bersekolah saat ia hampir menyerah.
Saat ia masih muda, ia hanyalah seorang kuli panggul di pasar, berjuang mati-matian mencari uang agar bisa membayar biaya sekolah dan mengikuti ujian. Namun, takdir mempertemukannya dengan Arya, pemilik toko sembako yang berhati dermawan. Arya-lah yang membantunya melunasi biaya sekolah dan bahkan menitipkannya pada kenalannya di kota agar ia bisa mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan sambil kuliah.
Bagas menghela napas panjang. Ia masih ingat bagaimana saat akhirnya ia memiliki kesempatan untuk mencari Arya. Namun yang ia temukan hanyalah reruntuhan toko yang hangus terbakar. Tak ada satu pun pedagang yang tahu ke mana Arya pergi. Nama Arya terlalu umum, dan dengan teknologi komunikasi yang masih terbatas saat itu, ia tak punya cara untuk melacak keberadaannya. Ia mencoba bertanya ke sana-sini, tapi semua usahanya berujung buntu.
Kini, bertahun-tahun kemudian, nama itu kembali terdengar, keluar dari mulut anaknya sendiri. Apakah mungkin ini orang yang sama? Arya yang pernah berjasa besar dalam hidupnya?
Bagas menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya.
Arlan, yang sempat menangkap perubahan raut wajah papanya, akhirnya bertanya, "Ada apa, Pa? Sepertinya nama itu mengganggu pikiran Papa?" Ia melirik sekilas sebelum kembali fokus pada jalan di depannya.
Bagas menoleh sekilas ke arah putranya, lalu kembali memandang ke jalanan di depannya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun matanya masih menyimpan kesan nostalgia yang mendalam.
"Tidak apa-apa," jawabnya pelan. "Hanya saja… nama itu mengingatkan Papa pada seseorang."
Arlan tidak langsung menanggapi, tapi ia tahu bahwa papanya sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, mengingat mereka sudah hampir sampai di rumah Alika, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
Bagas sendiri masih terus tenggelam dalam pikirannya. Jika benar ayah Alika adalah Arya yang sama yang pernah membantunya di masa lalu, maka malam ini bukan hanya sekadar lamaran. Ini adalah kesempatan baginya untuk akhirnya membalas budi yang selama ini belum sempat ia lunasi.
Malam itu, langit cerah meski udara terasa dingin. Rumah kecil di belakang rumah makan Alika diterangi lampu temaram, menciptakan suasana hangat namun juga menyisakan sedikit kecanggungan.
Arlan mengetuk pintu. Tak butuh waktu lama sebelum suara langkah terdengar dari dalam, diikuti oleh suara engsel pintu yang berdecit pelan. Saat pintu terbuka, sosok Arya muncul dari baliknya.
Bagas, yang berdiri sedikit di belakang Arlan, merasakan jantungnya berdegup kencang. Cahaya lampu menerangi wajah pria itu, wajah yang tampaknya begitu familiar. Mata tajam namun ramah, garis-garis keteguhan yang membingkai wajahnya, dan sorot mata penuh kebijaksanaan itu… Semua mengingatkannya pada seseorang dari masa lalu.
“Silakan masuk,” ujar Arya dengan suara tenang.
Arlan melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Bagas yang masih memandang Arya tanpa berkedip. Seolah pikirannya tengah berpacu, menghubungkan ingatan-ingatan lama dengan kenyataan di hadapannya.
Begitu mereka duduk di ruang tamu sederhana, suasana menjadi sedikit lebih kaku. Arlan duduk dengan tegap, menunjukkan keseriusannya. Di hadapannya, Arya duduk dengan ekspresi serius, menunggu alasan kedatangan mereka.
Alika duduk di samping ayahnya, menunduk canggung. Meskipun Arlan telah memberitahunya bahwa malam ini ia akan datang bersama papanya untuk melamarnya secara resmi, rasa gugup tetap tak bisa ia hindari.
Bagas masih berusaha menenangkan diri. Meskipun ketika di perjalanan tadi Arlan sudah memberitahunya bahwa nama ayah Alika adalah Arya, nama yang langsung membangkitkan kenangan lama di benaknya. Namun, kini setelah melihat wajah pria itu dari dekat, tidak ada lagi keraguan.
Ini dia.
Ini pria yang pernah menyelamatkan pendidikannya. Pria yang memberinya kesempatan untuk meraih mimpi saat ia hampir menyerah. Pria yang tanpa pamrih membantunya di saat terendah dalam hidupnya.
Bagas menelan ludah, dadanya terasa penuh. Berapa tahun sudah berlalu? Berapa lama ia mencari sosok ini tanpa hasil? Dan kini, tanpa disangka, mereka justru dipertemukan kembali dalam situasi seperti ini.
Arya tampak tenang, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mengenali Bagas. Mungkin Bagas telah banyak berubah. Mungkin waktu telah menghapus ingatan Arya tentang dirinya.
Tapi bagi Bagas, malam ini bukan hanya sekadar lamaran. Ini adalah pertemuan kembali dengan orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Orang yang telah membentuk jalan hidupnya hingga ia bisa berada di titik ini.
Kini, giliran Bagas yang harus berbicara. Bukan hanya sebagai seorang ayah yang ingin melamar seorang wanita untuk anaknya, tetapi juga sebagai seorang pria yang ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang telah tertahan selama bertahun-tahun.
"Pak Arya," suara Bagas akhirnya terdengar, membuat Arya menoleh ke arahnya. "Saya... mungkin Bapak sudah lupa, tapi saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda."
Arya menyipitkan mata, berusaha mengingat. Wajah pria yang lebih muda darinya ini tampak familiar, tetapi ia tak bisa langsung mengingat dari mana.
Arlan dan Alika saling bertukar pandang sebelum mengerutkan kening, menatap Bagas dan Arya bergantian. Keduanya tak menyangka bahwa Bagas ternyata mengenal Arya.
"Dulu, bertahun-tahun lalu," lanjut Bagas, suaranya sedikit bergetar karena emosi, "saya adalah anak miskin yang hampir putus sekolah. Saya bekerja sebagai kuli panggul di pasar, mati-matian mencari uang untuk membayar biaya ujian. Sampai suatu hari, saya hampir pingsan karena kelelahan dan kehujanan di depan toko sembako milik Anda."
Arlan tertegun mendengar perkataan Bagas. Selama ini, ia tak pernah mengetahui cerita itu dari papanya. Begitu pula dengan Alika, yang tak pernah membayangkan bahwa Bagas, pria terhormat dari kalangan atas, ternyata memiliki masa lalu seperti itu.
Arya tak kalah terkejut. Kenangan lama yang hampir terlupakan perlahan muncul di benaknya. Ia mengingat seorang remaja lusuh yang gemetar kedinginan dengan wajah pucat berteduh di depan tokonya.
"Bagas?" Arya akhirnya bersuara, matanya melebar.
Bagas mengangguk, tersenyum penuh rasa syukur. "Iya, Pak. Saya Bagas. Anda bukan hanya menolong saya saat itu, tapi Anda juga yang menitipkan saya pada kenalan Anda di kota agar saya bisa tinggal dan bekerja sambil kuliah. Tanpa bantuan Anda, saya mungkin tidak akan bisa menjadi seperti sekarang."
Arya terdiam. Matanya sedikit berembun saat mengingat semua itu. Bagas, bocah yang dulu ia bantu, kini duduk di hadapannya sebagai pria sukses, bahkan sebagai calon besan.
"Saya mencari Anda, Pak," lanjut Bagas dengan suara lebih dalam. "Tapi setelah kebakaran itu, saya tidak bisa menemukan Anda lagi. Saya bahkan mencoba bertanya ke pedagang lain, tapi mereka tidak tahu ke mana Anda pergi."
Arya tersenyum kecil, mengangguk paham. "Setelah tokoku habis terbakar, aku memilih pindah ke pasar lain yang lebih dekat dengan rumah. Saat itu aku hanya fokus membangun usaha dari awal lagi, jadi aku memang tidak meninggalkan jejak di pasar lama."
Bagas mengangguk mengerti. Ia lalu menatap Arya dengan serius. "Pak Arya, saya datang ke sini bersama Arlan bukan hanya sebagai ayahnya, tapi juga sebagai seseorang yang berhutang budi kepada Anda. Saya ingin meminta izin dan restu Anda untuk Arlan menikahi Alika."
Arya menatap Bagas lama, lalu berpaling ke Alika dan Arlan. Ia kemudian menghela napas panjang. "Aku tidak keberatan dengan Arlan. Aku tahu dia pria yang bertanggung jawab. Tapi aku khawatir..." Ia melirik Alika, lalu menatap Bagas lagi. "Apa kau yakin istrimu bisa menerima Alika?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued