"May, aku takut. Aku ingin mundur, aku ingin membatalkan semua ini." Ucap Rain dengan tubuh gemetaran.
Malam ini dia berada disebuah kamar hotel presiden suit. Ya, Rain terpaksa harus melelang keperawananannya demi uang. Dia butuh banyak uang untuk biaya rumah sakit adiknya. Selain itu dia juga tutuh uang untuk biaya pengacara, ayahnya saat ini sedang meringkut ditahanan karena kasus pembunuhan.
"Jangan gila Rain. Kau harus membayar ganti rugi 2 kali lipat jika membatalkan. Masalahkan bukan selesai tapi akan makin banyak. Jangan takut, berdoalah, semoga semuanya berjalan lancar." Ucap Maya.
Berdoa? yang benar saja. Apakah seorang yang ingin berbuat maksiat pantas untuk berdoa minta dilancarkan, batin Rain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARAP HARAP CEMAS
Rain menatap langit malam dari teras rumahnya. Dinginnya angin malam sama sekali tak dia hiraukan. Hari ini, Alan melarangnya tidur dirumah sakit. Dia ingin Rain istirahat karena kakaknya itu terlihat makin kurus.
"Gaza, aku merindukanmu. Sedang apa kau sekarang? Apa kau juga memikirkanku?" Gumam Rain. Demi apapun, Rain ingin sekali mendengar suara pria itu saat ini. Kerinduannya membuncah, setiap kali ponselnya berdering karena panggilan dari Gaza, tangannya gatal teringin terima. Tapi tidak, dia harus bisa menahan diri. Hubungannya dengan Gaza sebaiknya memang berakhir.
Kadang dia merasa takdir begitu kejam padanya. Tapi saat dia melihat orang lain yang bernasib lebih buruk darinya, dia merasa sedikit beruntung.
"Aku terlalu serakah jika menginginkan kehidupan yang sempurna. Sudah 20 tahun lebih aku hidup bahagia. Dan hanya karena penderitaan 6 bulan ini. Aku jadi menganggap Tuhan kejam padaku." Rain bermonolog sambil menatap bintang.
Berdamai dengan takdir memang tidak mudah. Tapi, itu adalah jalan keluar terbaik. Walaupun rasanya lelah, dia tetap harus menjalaninya. Badai pasti berlalu, tapi entah kapan akan berlalu. Hanya bisa berdoa semoga secepatnya.
Rain menatap kertas yang ada ditangannya. Apalagi kalau bukan tagihan rumah sakit. Hari ini, untuk yang kesekian kalinya, tagihan rumah sakit Alan kembali dia terima. Tapi uangnya, entah darimana dia akan mendapatkannya.
Sudah satu minggu Alan menjalani masa pemulihan. Kaki dan tangannya sudah bisa digerakkan walaupun belum lancar. Organ vitalnya juga sudah berfungsi dengan baik. Ditengah kebahagian itu, tinggal satu masalah, yakni uang.
Rain meletakkan kertas tagihan itu diatas meja. Tangannya bergerak untuk meraih ponsel. Ingin rasanya dia menekan nomor kontak Maya. Tapi dia masih ragu. Dia terus menimbang nimbang keputusannya.
Dret dret dret
Entah kebetulan atau apa, terlihat ada pesan masuk dari Maya.
"Apa kabar Rain, apa kau masih marah padaku? Aku minta maaf Rain. Aku tak ingin masalah ini membuat persahabatan kita terputus. Aku menyayangimu Rain, paman Teguh dan juga Alan. Aku harap masih bisa berteman denganmu." Maya.
Apakah dia marah pada Maya, tidak dia tidak marah. Hanya saja, dia kecewa padanya.
Rain ragu untuk membalas pesan dari Maya. Tapi bagaimanapun, Maya yang selalu ada untuknya selama ini.
Dalam hati kecilnya, Rain tak ingin persahabatannya dengan Maya yang sudah terjalin selama 5th harus terputus begitu saja.
"Apa kau ada waktu May, aku menunggumu dirumah." Rain.
Tak butuh waktu lama bagi Maya untuk sampai ke rumah Rain. Maya hanya perlu mengendarai motornya selama 10 menit untuk sampai dirumah kecil itu.
Rain yang masih duduk diteras, segera menyadari kedatangan Maya.
"Apa kabar Rain?" tanya Maya sembari duduk dikursi sebelah Rain. Mereka memang sudah tidak berkomunikasi selama seminggu.
"Baik May, ayo masuk."
Rain beranjak dari duduknya diikuti Maya.
"Aku buatkan minum dulu."
"Tak perlu Rain." Maya menahan tangan Rain saat wanita itu hendak menuju dapur. "Aku kesini bukan untuk meminta minum. Aku kesini untuk meminta maaf." Maya menggenggam kedua tangan Rain, matanya tampak mulai berkaca kaca. Dia menyesal telah mengatakan hal bodoh waktu itu.
"Sudahlah May, aku sudah memaafkanmu."
"Terimakasih Rain." Maya memeluk sahabatnya itu. "Kau memang sahabat terbaikku." Ujarnya dibalik punggung Rain.
Sebenarnya, Rain ada niatan khusus ingin bertemu Maya. Tapi dia masih bingung bagaimana cara menyampaikannya.
"Kau kenapa Rain? apa terjadi sesuatu pada Alan?" Maya bisa melihat kekacauan diwajah Rain.
Rain menggeleng "Alan sudah sadar May."
"Alhamdulillah, aku senang sekali mendengarnya. Lalu kenapa kau terlihat cemas? Apa ada masalah dengan Paman Teguh?"
"Kita duduk dulu May." Ajak Rain sambil menarik tangan Maya menuju kursi panjang.
"Aku butuh uang May." Ucap Rain langsung.
"Berapa yang kau butuhkan Rain, aku akan membantumu sebisaku."
Rain menggeleng. Dia masih punya malu untuk tidak terus terusan menerima bantuan dari Maya. Apalagi sejak tahu Maya mendapatkan uang itu dari hasil menjual diri. Bukannya sok suci tak mau menerima uang haram, hanya saja, dia tak tega pada Maya.
"Tidak May, kau sudah terlalu banyak membantu. Aku butuh uang banyak May. Apa_" Rain ragu untuk mengatakannya.
"Apa Rain?"
"Apa penawaranmu waktu itu masih berlaku."
Deg
Maya benar benar terkejut dengan perkataan Rain. Dia tak menyangka jika seorang Rain mengatakan hal itu.
"Tidak Rain, jangan. Kau terlalu istimewa untuk pekerjaan itu. Jangan hancurkan hidupmu dengan mengambil keputusan yang salah. Aku menyesal sudah mengatakan hal itu padamu Rain." Maya mengutuk dirinya sendiri karena telah memberikan ide konyolnya pada Rain.
"Aku sudah yakin May." Sahut Rain sambil menatap nanar kearah jendela. "Tak ada cara lain. Aku butuh uang." Tubuh Rain terlihat gemetar. Maya bisa tahu kalau ini bukan keputusan yang mudah untuk Rain.
"Tapi, bagaimana dengan Gaza? Kamu tega mengkhianatinya?"
Air mata Rain mulai luruh. Ya, Gaza nya pasti akan kecewa dengan keputusan ini. Tapi biarlah, dia tak akan bersama Gaza pada akhirnya.
"Jangan bicarakan dia lagi May." Rain membuang pandangannya kearah lain sambil menyeka air mata. Dia tak mau menatap Maya. Dia tidak ingin melihat tatapan belas kasihan dari Maya yang akan membuatnya terlihat rapuh.
"Baiklah Rain, aku akan membantumu. Aku akan berusaha mencarikan harga tertinggi untukmu. Kau seperti permata Rain. Aku ingin kau dihargai sangat tinggi untuk keperawananmu."
Air mata Rain kian deras mengucur. Sepanjang hidup, belum pernah dia membayangkan akan menjual harta paling berharganya. Sesuatu yang seharusnya akan menjadi hak mutlak suaminya nanti.
"Bicarakan dulu padaku sebelum kau menerima tawaran May. Biar aku yang memutuskan."
"Baiklah." Jawab Maya sambil mengangguk.
...*****...
Dua hari sudah berlalu, Rain masih harap harap cemas menunggu kabar dari Maya. Dia tak bisa menunggu terlalu lama karena rumah sakit terus menagih biaya perawatan Alan.
Rain mendengar suara motor berhenti tepat didepan rumahnya. Dia hafal jika itu suara motor milik Maya. Segera dia membukakan pintu untuk sahabatnya itu.
Rain menarik Maya masuk lalu segera menutup pintu.
"Bagaimana May?"
"Maaf Rain, aku belum bisa mendapatkan harga yang pantas."Jawab Maya lesu. "Aku cuma bisa mendapatkan 200juta. Tidak ada yang mau membayar lebih dari itu."
Rain hanya bisa tertunduk lemas. Yang dia butuhkan lebih dari itu. Pikirannya kembali bimbang. Dia merasa kalau harga itu terlalu rendah untuk sebuah kehormatan yang selalu dia jaga. Dia tak pernah melakukan lebih dari ciuman saat perpacaran dengan Gaza.
"Sebenarnya masih ada satu orang lagi Rain. Aku baru mengenal orang ini. Lebih tepatnya, aku belum pernah bertemu orang ini. Aku sudah memberikan fotomu padanya. Tapi dia belum memberi tanggapan."
Rain semakin bingung. Jika rencana A gagal, dia tak punya rencana B. Dia benar benar frustasi.
"Apa kau punya kenalan mafia penjual organ, aku ingin menjual ginjalku May."
"Jangan gila Rain." Pekik Maya. "Apa otakmu sudah tak berfungsi? itu tindakan ilegal?"
"Kau pikir menjual diri bukan tindakan ilegal?"
"Hidup dengan 1 ginjal sangat beresiko Rain. Lupakan keinginan gilamu itu." Bentak Maya. Dia sangat tidak setuju dengan ide Rain.
"Tapi aku bingung harus mencari uang dimana lagi May." Rain menjatuhkan bobot tubihnya diatas kursi. Air matanya kembali luruh. Otaknya sudah buntu saat ini.
Maya mengehela nafas lalu duduk disebelah Rain.
"Tenanglah Rain, kita tunggu satu hari lagi. Semoga saja orang yang menghubungiku kemarin, bersedia membayarmu tinggi. Tapi kau harus ingat Rain, pekerjaan ini tak semudah yang orang bayangkan. Mungkin yang ada dipikiran orang, kita tinggal rebahan dan terima uang, tapi nyatanya tak seperti itu. Kita tidak pernah tahu bagaimana karakter orang yang akan kita temui. Apalagi jika mengingat ada beberapa orang yang memiliki kelainan seksuall."
Dulu, pernah sekali Maya berhadapan dengan orang seperti itu.
Bisanya Nambah kesalahan mulu kerjaan loe