Mentari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Tari dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
"Pokoknya kamu itu diem aja kalau ibu lagi marahin kamu, dan baru nyahut kalau ibu tanya. Paham kamu?" terdengar suara Bu Ayu yang semakin meninggi, semakin marah, dengan mata yang melotot seolah bisa menelan Tari hidup-hidup.
"Gak paham tuh, Bu! Mana mau Tari ditindas terus sama ibu! Ibu tuh jangan jadi mertua zolim, awas nanti kuburannya sempit!" sahut Tari dengan penuh kemarahan, merasa tidak terima dengan perlakuan ibunya. Tanpa menunggu respon lebih lanjut, ia segera berbalik dan langsung berjalan cepat ke kamarnya.
"Heh, bocah gendeng! Bicara apa kamu, Tari!" pekik Bu Ayu, suaranya semakin keras dan penuh emosi. Nafasnya terdengar semakin tersengal-sengal, seperti sedang menghadapi sakaratul maut, dengan dada yang sesak.
Ceklek!
Kamar Tari terkunci rapat, dan ia pun langsung merasa lega. "Hihihiii! Rasain tuh, nenek peyot!" Tari terkikik geli di balik pintu, merasa puas dengan reaksinya yang berhasil membuat ibu mertuanya semakin marah. "Heran, perasaan marah-marah terus," tambah Tari sambil mendengus kecil. Ia merasa ada sesuatu yang memuaskan ketika bisa sedikit menyakiti hati ibu mertuanya, meski ia tahu itu bukan hal yang baik.
Sesaat setelah menutup pintu kamarnya, Tari melirik jam dinding yang tergantung di kamar. "Ah, ternyata sudah jam setengah satu. Pantas saja nenek rombeng itu mengamuk. Ternyata aku pergi selama itu..." gumam Tari pelan, merasakan betapa lama waktu yang sudah ia habiskan di luar rumah.
"Solat dulu ah, habis itu baru deh mulai cari peruntungan di pijo," gumam Tari pelan sambil merapikan bajunya. Ia membuka sedikit pintu kamarnya untuk memastikan keadaan di luar. Ternyata, si nenek ferguzo—julukan untuk ibu mertuanya—sudah tidak ada di tempat. "Aman," gumam Tari lega, merasa sedikit tenang setelah sebelumnya terlibat dalam perdebatan panas dengan ibu mertuanya.
Tari pun segera melangkah menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Ia membutuhkan waktu sejenak untuk menenangkan diri. Setelah menyelesaikan kewajiban solatnya dengan penuh khusyuk kepada Yang Maha Pencipta, ia merasa tenang, seolah beban yang tadi dipikul sedikit berkurang. Solat baginya bukan hanya sebuah kewajiban, tapi juga cara untuk menenangkan hati yang penuh amarah.
Setelah itu, Tari kembali ke kamar dan segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia mengingat kembali apa yang telah diajarkan oleh Nindi, sahabat terbaiknya yang kini bukan hanya sekadar teman, tapi sudah dianggap sebagai 'bestie'. "Bestie" adalah istilah gaul yang menurut Tari lebih keren daripada sekadar teman biasa. Lagipula, Tari ingin selalu mengikuti tren zaman supaya tidak dianggap kampungan oleh netizen. Meskipun kadang ia merasa bingung dengan istilah-istilah baru, namun ia selalu berusaha mengikuti perkembangan zaman agar tidak ketinggalan.
Sekarang, saatnya memulai langkah baru dalam hidupnya. Tari sudah punya arahan dari Nindi untuk memulai karir sebagai penulis cerita. Ia merasa tertantang, meskipun ragu-ragu sedikit, namun ia yakin bahwa ini adalah langkah yang benar. Dengan laptop di depan mata, Tari mulai membuka dokumen kosong dan mulai mengetik. Perlahan-lahan, kata demi kata mengalir. Meskipun tidak mudah, Tari merasa semangat baru muncul dalam dirinya.
"Hem, sepertinya gambar ini cocok deh untuk kubuat cover," gumam Tari pelan sambil mengamati layar laptopnya. Ia baru saja menemukan gambar yang menarik dan memutuskan untuk mengeditnya. Dengan penuh semangat, Tari mengunduh gambar tersebut dan mulai memodifikasinya sedemikian rupa. Setelah selesai, ia pun mengunggah gambar tersebut ke aplikasi novel yang baru ia instal untuk dijadikan cover dalam cerita yang tengah ia tulis.
"Okay, sudah selesai!" pekik Tari sedikit heboh. Ia merasa bangga karena dalam waktu hanya empat jam, ia berhasil menyelesaikan tiga bab sekaligus. Rasanya seperti ada kebanggaan tersendiri karena untuk pertama kalinya, ia benar-benar fokus dan berhasil menyelesaikan sesuatu. Walaupun ia tahu proses ini baru permulaan, Tari merasa langkahnya sudah cukup berarti.
Semangat thor