Bagaimana perasaanmu jika kamu di madu di saat pernikahanmu baru berumur sepekan? Itu yang aku alami, aku di madu, suamiku menikahi kekasihnya yang teramat di cinta olehnya.
Aku tak pernah dianggap istri olehnya, meski aku istri pertamanya. Namun cintanya hanya untuk istri keduanya
Aku menjalani pernikahan ini dengan begitu berat. mungkin ini cara ku untuk membalas kebaikan pada Ayah Mas Alan, beliau begitu baik membiayai kuliahku selalu menjaga dan melindungiku setelah Ayah dan Ibuku meninggal saat diriku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Aku tak habis pikir jika kisah hidupku akan serumit ini, di tinggal orang tua, menikah pun di madu. Sungguh tragis kisah hidupku.
Hingga akhirnya Ayah sangat membenci Mas Alan setelah tahu kelakuan anaknya, dan Ayah membawaku pergi jauh dari kehidupan Mas Alan dan Maduku setelah aku dan Mas Alan bercerai.
Cerita ini karena terinspirasi tapi bukan plagiat! Bacalah, dan temukan perbedaannya🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winda W.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 5. Egois
"ada apa Mas? kenapa kau di sini?" tanyaku mencoba untuk tenang. Dan berusaha untuk tidak terlihat ketakutan.
"kenapa, ini rumahku. Jadi terserah aku mau ada di sini atau di sana," ucapnya datar, dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku tebak.
"oh...iya, aku lupa ini rumahmu. Permisi," ucapku menyusup lewat bawah tangannya.
Namun tanganku tertahan oleh Mas Alan, dia menarik tanganku. Tangan yang tak pernah mau menyentuhku, kini tangan itu menyentuhnya.
"apa maksudmu selalu berkata istri tak di anggap?" tanya Mas Alan. Membuat perasaanku merasa semakin tidak enak.
"apa aku harus menjelaskan, kau sudah dewasa. Seharusnya tahu bagaimana memperlakukan istri istrinya dengan adil. Memang apa yang aku katakan itu benar kan? Tak pernah menganggapku ada!" ku mengibaskan tangannya dari tanganku.
Kini Mas Alan tesenyum menyeringai, perasaanku semakin tidak enak dan ku menelan salivaku dengan susah payah.
Ku berlari sekencang kencangnya menuju kamarku, Mas Alan pun mengikutiku dengan berlari di belakangku. Aku semakin takut, kubuka pintu kamarku. Saat aku akan menutupnya Mas Alan mendorongnya dengan kuat, aku kalah karna tenaganya lebih kuat dari aku.
"kau mau apa Mas?" tanyaku dengan suara gemetar dan nafas terengah engah karena lelah bercampur ketakutan.
Mas Alan tak menjawab, dia menutup dan mengunci pintu kamarku dari dalam.
Mas Alan melangkah maju, aku pun melangkah mundur dan lagi lagi tubuhku menatap dinding. Ku tertunduk di lantai dengan memeluk lututku, air mata terus bercucuran. Rasa takut kian merajai pikiranku, dan pikiran kotor pun kini terbayang bayang.
Apa yang akan di lakukan Mas Alan, jika dia mau minta hak nya dengan paksa, apa lagi tanpa di dasari cinta aku sungguh tidak akan pernah rela.
"mau apa kamu mas," tanyaku lagi, aku masih tetap tertunduk memeluk lututku.
"kau yang membuatku bergerak untuk melakukan ini," Mas Alan menghampiriku dan menarik tanganku kasar dan memeluk tubuhku. Ingin ku dorong tubuh Mas Alan, namun aku tak punya tenaga lagi. Karena berlari hingga tubuhku terasa lemas, keringat dingin pun keluar.
Mas Alan kini menciumku dengan kasar hingga bibirku berdarah, namun Mas Alan tetap melanjutkannya. Aku menangis, aku tak percaya Mas Alan akan melakukan ini padaku.
Kini tangan Mas Alan meraba punggungku, dan melepas kaitan bra milikku. Dia meraba dadaku, membuatku terkejut dan aku berusaha mengembalikan tenagaku. Aku berusaha berontak, namun Mas Alan semakin menjadi jadi. Aku pun membelalakan mataku.
Meski aku sadar ini memang kewajibanku melayani hak untuk suamiku, aku tetap tak rela karna Mas Alan melakukannya saat dirinya di penuhi dengan emosi. Dan aku juga tak rela melakukannya tanpa ada rasa cinta di hatinya.
Ku dorong tubuh Mas Alan sekuat tenagaku, namun itu tidak berhasil membuatnya menjauh dari tubuhku. Tenaganya terlalu kuat dari tenagaku yang bertubuh kecil, dia membanting tubuhku di atas ranjang dan menindihku.
"hentikan mas...in....," dia mengunci bibirku dengan ciumannya kembali. Dia tak memberiku kesempatan untuk bicara, ciuman yang dalam dan kasar itu membuatku sulit bernapas.
Tangannya berhasil melepas piyama yang melekat di tubuhku, tangan lincahnya kini meraba sampai ke perutku. Semakin kebawah hingga berhasil membuka celana tidurku. Kini tubuhku polos tanpa sehelai benang pun yang menempel.
"aku akan melakukan apa yang kau inginkan," ucapnya yang membuatku semakin takut akan kebuntuan pikiran Mas Alan. Dia kembali mencium bibirku dengan tangan yang berkeliaran kemana mana.
Ku pukul pukul kembali tubuhnya, hingga ku gigit lidahnya sampai terluka pun tak juga bisa menghentikan aksinya. Gairahnya semakin menggebu gebu, ku coba menampar wajahnya dengan kasar dan berkali kali ku menamparnya. Mas Alan terdiam, dia menghentikan ciuman panasnya dan menatapku dengan nafas yang terengah engah.
Aku menggeleng dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi, seolah mengisyaratkan kata 'jangan mas'.
Mas Alan bangkit dari tubuhku dengan wajah yang lagi lagi tak bisa aku gambarkan. Kini dia duduk di tepi ranjang, kuraih selimut untuk menutupi tubuh polosku, aku pun merasa sedikit lega.
"jangan melakukannya saat dirimu emosi dan terpaksa. Apa lagi tanpa adanya cinta Mas," suara gemetar meluncur dari bibirku.
"aku tak mau jika sampai nanti aku hamil dan aku mengandungnya tanpa ada rasa cinta dari Ayahnya. Itu akan semakin membuat ku terluka dan janinku ikut merasakan luka ini. Terluka karena tidak merasakan kasih sayang dan cinta tulus dari Ayahnya. Aku butuh cinta dari hatimu dan di anggap sebagai istri, bukan cinta karena nafsu!"
Mas Alan hanya terdiam dan menatapku sekilas.
"bukankah ini yang kamu mau? Bersikap adil!" ucapnya tanpa menatapku.
"kenapa kamu tidak bisa mengerti Mas!" teriakku dengan memeluk erat selimut.
"jika yang aku lakulan ini salah, aku harus bagaimana?" tanyanya putus asa.
"tanyakan pada hati kecilmu, apa ada cinta di hatimu untukku? Tidak kan Mas, lakukanlah setelah kau bisa mencintaiku!"
"keluarlah Mas, kembalilah pada Lala istri tercintamu," cetusku pada Mas Alan.
Dia mengacak acak rambutnya dengan kasar, lalu memakai pakaiannya kembali dan langsung keluar tanpa kata maaf darinya.
Aku kembali menangis, Mas Alan benar benar laki laki egois. Andaikan dia melakukannya dengan cinta dan tanpa terpaksa, dengan rela aku akan menyerahkan kehormatanku dan hak untuknya.
Adil bukan berarti merenggut paksa kesucianku Mas, adil yang ku inginkan bukan seperti ini. Aku ingin kamu perlakukan aku dan Lala dengan sama. Di perhatikan sama seperti Lala, di beri kasih sayang yang sama. Bagaimana bisa kamu mengerti arti adil dalam pernikahan seperti ini Mas.
Aku hanya bisa memendamnya dan enggan mengucapkannya kembali. Karena Mas Alan tak akan pernah bisa mengerti apa itu adil.
**
Pagi hari aku memasak untuk sarapan, setelah selesai aku kembali ke kamarku untuk bersiap siap kerja. Terdengar suara kursi di geser, ternyata itu Mas Alan yang sedang sarapan. Aku melanjutkan langkahku.
Setelah rapi dan sudah siap, aku kembali turun. Aku memutuskan untuk tidak sarapan, di meja makan pasti akan ketemu Mas Alan. Aku masih kebayang bayang kejadian malam tadi, ku langkahkan kakiku menuju pintu keluar.
"kau tidak sarapan?" tanya Mas Alan yang melihatku jalan tergesa gesa.
"aku sedang buru buru, jadi aku gak bisa ikut kalian sarapan," ucapku tanpa menoleh.
"kenapa buru buru, ini masih ada waktu satu setengah jam untuk masuk kerja?"
"aku harus menjemput Lena dulu, soalnya motornya Lena mogok," ucapku berbohong dan membalikkan badan ke arah Mas Alan.
"Lala kemana?" tanyaku saat mendapati maduku tak ada di kursi makannya.
"Lala, ada kerjaan di Surabaya selama satu minggu," aku terkejut mendengarnya.
"oh..baiklah, aku berangkat duluan Mas. Assalamualaikum," aku pun segera mempercepat langkahku.
Lagi lagi salamku tidak di jawab olehnya, sungguh mahal sekali ucapan salamnya untukku.
Pukul 12.00.Wib
Aku dan Lena pergi makan siang di restoran yang tak jauh dari kantor, restoran yang baru buka beberapa hari yang lalu.
"lumayan rame ya Len, padahal restoran baru," ucapku saat melihat banyak pengunjung yang datang.
"sepertinya enak enak makanan disini. Tunggu, em...pantes rame secara ada diskon tiga puluh persen," ucapnya yang langsung mendapatkan pukulan dariku.
"pelanin dikit suaramu, jika yang punya denger kan gak enak Len,"
"upss..maaf khilaf," ucapnya dengan dua jari yang membantuk huruf V.
"selamat siang, ada yang bisa saya bantu nona?" tanya seorang pria, yang melihat kita berbisik bisik.
Aku dan Lena menengok ke arah sumber suara itu.
"Ello," teriak aku dan Lena bersamaan.
"Nia...Lena," ucapnya yang tak kalah terkejutnya dari aku dan Lena.
"apa kabar? kau kerja disini?" tanya Lena.
"aku pemilik restoran ini," ucapnya.
"sungguh ini restoran punyamu," ucap Lena tak percaya.
"kenapa, kamu gak yakin ini restoran punyaku," ucap Ello dan langsung memanggil salah satu karyawan dan asistennya untuk membuktikan bahwa dia Bos di restoran ini.
"bagaimana, sudah percayakah?" tanya Ello.
"hm...percaya, wahh...kebetulan sekali," ucap Lena, perasaanku pun mulai tidak enak.
"kebetulan apa?" tanyanya.
"Len jangan macem macem," bisikku.
"maksudnya Lena, kebetulan sekali kita ketemu. Kan dari wisuda kita semua belum pernah ketemu lagi," ucapku sambil menutup mulut Lena yang hendak berbicara.
"auu...," pekikku saat jariku di gigit Lena.
krn lala wujud iblis berbentuk manusia.
lala sudah menghancurkan pernikahan nia dan alan.