Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Malam harinya, di rumahnya yang megah, Cici duduk di sofa dengan telepon di tangannya. Wajahnya yang biasanya angkuh kini dihiasi senyum licik. Ia menekan nomor telepon ayahnya, Pak Arhan, seorang pengusaha sukses yang menjadi donatur terbesar di sekolah.
Setelah beberapa nada sambung, suara berat ayahnya terdengar di ujung telepon.
"Cici, ada apa? Sudah malam, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun terdengar sedikit lelah.
Cici langsung memulai. "Papa, aku butuh bantuan. Ada masalah di sekolah, dan ini menyangkut nama keluarga kita."
Pak Arhan terdengar waspada. "Masalah apa, Nak? Ada yang berani macam-macam dengan kamu?"
Cici mendesah, suaranya sengaja dibuat terdengar penuh tekanan. "Ketua OSIS, Steven, dia menggunakan posisinya untuk memfitnah aku. Dia bilang aku terlibat dalam kasus perundungan. Papa tahu itu tidak benar! Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu."
Pak Arhan terdiam sejenak. "Steven? Ketua OSIS itu? Apa alasannya menuduhmu seperti itu?"
"Entahlah, Pa. Mungkin dia iri. Mungkin dia ingin menjatuhkan nama keluarga kita. Tapi yang pasti, dia sengaja mempermalukan aku di depan semua siswa. Dan sekarang dia sedang mencari-cari bukti untuk menguatkan fitnahnya."
Cici berhenti sejenak, mencoba menahan tangis palsu. "Kalau ini terus dibiarkan, nama keluarga kita akan tercoreng. Apalagi, aku dengar dia mencoba memprovokasi Nadia, seorang siswa yang tidak suka padaku, untuk memberikan kesaksian palsu."
Pak Arhan menghela napas panjang. "Jadi kamu ingin Papa melakukan apa?"
Cici tersenyum tipis. Ini bagian yang paling ia tunggu-tunggu. "Papa kan donatur terbesar di sekolah ini. Tanpa Papa, mereka tidak akan punya cukup dana untuk beasiswa, renovasi gedung, bahkan kegiatan sekolah. Aku ingin Papa memberi peringatan kepada kepala sekolah. Pastikan dia tahu bahwa jika mereka memihak Steven atau melawan kita, dukungan Papa bisa dihentikan."
Pak Arhan terdiam sejenak, lalu akhirnya menjawab, "Baiklah. Papa akan telepon kepala sekolah besok pagi. Tapi, Cici, kamu pastikan tidak ada masalah serius di pihakmu. Kalau ini hanya salah paham, Papa yakin kita bisa mengatasinya."
"Tentu saja, Pa. Aku tidak melakukan apa-apa. Ini semua hanya upaya Steven untuk menjatuhkan aku," jawab Cici cepat, memastikan suaranya terdengar meyakinkan.
Setelah telepon ditutup, Cici bersandar di sofa dengan senyum puas. Ia tahu bahwa kekuasaan keluarganya akan menjadi tameng yang kuat. Besok, kepala sekolah tidak akan berani bertindak sembarangan.
Keesokan paginya, di ruang kepala sekolah, suasana terasa tegang. Kepala sekolah baru saja menerima telepon dari Pak Arhan, dan nada suara donatur terbesar itu sangat jelas: lindungi Cici atau sekolah ini akan kehilangan dukungan finansial.
Steven mengetuk pintu ruang kepala sekolah dan masuk dengan membawa catatan hasil wawancara dengan Nadia. Wajahnya penuh semangat. "Pak, saya sudah mengumpulkan informasi dari korban. Ini cukup untuk memulai investigasi lebih lanjut."
Kepala sekolah memandang Steven dengan ekspresi ragu. Ia membaca catatan itu dengan cepat, tetapi di wajahnya tergambar dilema yang besar.
"Steven, saya paham niatmu baik. Tapi kita harus berhati-hati. Tindakan gegabah bisa merugikan semua pihak, termasuk sekolah ini."
Steven mengerutkan dahi. "Pak, kita bicara soal perundungan. Ini bukan tentang reputasi sekolah atau uang. Ini tentang keadilan bagi korban."
Namun, kepala sekolah menggeleng, suaranya terdengar putus asa. "Steven, kamu tidak mengerti. Keluarga Arhan adalah penyokong utama sekolah ini. Tanpa mereka, kita bisa kehilangan beasiswa untuk siswa berprestasi, fasilitas yang kita gunakan setiap hari, dan banyak lagi. Saya tidak bisa begitu saja melawan mereka."
Steven mengepalkan tangannya, menahan emosi. "Jadi, Bapak memilih membiarkan pelaku lolos hanya karena keluarganya punya uang? Apakah itu nilai yang ingin kita ajarkan di sekolah ini?"
Kepala sekolah tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah meja.
Steven menghela napas panjang, merasa frustrasi. "Baiklah, Pak. Jika Bapak tidak mau bertindak, saya yang akan melakukannya. Saya tidak butuh izin untuk membela kebenaran."
Dengan langkah tegas, Steven meninggalkan ruangan itu, meninggalkan kepala sekolah yang masih terdiam di tempatnya. Di lorong, ia bertemu Nadia, yang menatapnya dengan ekspresi penuh pertanyaan.
"Steven, apa yang terjadi?" tanya Nadia.
Steven menggeleng. "Kita harus lebih kuat, Nadia. Karena sepertinya, keadilan tidak akan datang dari mereka yang berkuasa."
semangat