Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Tusukan di Atas Kain
Aris melihat sebuah jarum emas berukuran raksasa muncul dari balik tumpukan kain, bergerak melayang di udara menuju ke arah dada Aris dengan kecepatan tinggi. Benda itu mengeluarkan suara mendenging yang tajam, membelah kesunyian gudang penyimpanan dengan hawa panas yang menghanguskan udara di sekitarnya. Aris Mardian terpaku, matanya yang masih berwarna merah darah menangkap pantulan kematian pada ujung logam yang berkilau tersebut.
"Tiarap dan jangan biarkan ujungnya mencium bayanganmu!" teriak Sekar Wangi sambil menarik paksa kerah baju Aris hingga mereka berdua jatuh tersungkur.
Jarum raksasa itu meluncur tepat di atas kepala mereka, menancap dalam ke sebuah gulungan kain kafan tua hingga mengeluarkan percikan api biru. Kain yang tertusuk itu seketika mengerut dan mengeluarkan suara jeritan lirih, seolah-olah jarum itu baru saja menghunjam jantung manusia hidup. Aris merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat kain putih itu perlahan-lahan berubah warna menjadi hitam legam dan hancur menjadi abu.
"Apa itu tadi? Bagaimana mungkin sebatang jarum bisa bergerak seolah-olah memiliki nyawa sendiri?" tanya Aris dengan napas yang terengah-engah.
"Itu adalah jarum penyiksa sukma, alat yang digunakan para tetua untuk menjahit nyawa mangsa mereka dari jarak jauh," jawab Sekar sambil terus mengamati pergerakan jarum tersebut.
Sekar Wangi merogoh tas medisnya dan mengeluarkan segenggam bunga kamboja kering yang sudah dihaluskan menjadi serbuk halus. Sebagai seorang bidan yang memahami seluk-beluk kematian di desa itu, ia tahu bahwa jarum tersebut hanya bisa dihentikan dengan wewangian pemutus kutukan. Ia menyebarkan serbuk itu di sekeliling mereka, menciptakan lingkaran pelindung yang beraroma harum namun sangat menyengat bagi makhluk gaib.
"Gunakan kemampuan arsitekmu untuk mencari celah keluar, lorong ini akan segera menyempit karena pengaruh sihir jarum itu!" perintah Sekar dengan tegas.
"Aku sedang mencobanya, tapi struktur ruangan ini terus berubah setiap kali jarum itu bergerak!" balas Aris sambil menatap dinding yang tampak bergeser.
Aris memejamkan matanya sejenak, mencoba mengingat denah bangunan yang baru saja ia lalui dengan logika ruang yang ia miliki. Ia menyadari bahwa gudang ini tidak dibangun berdasarkan fondasi tanah, melainkan disusun di atas tumpukan peti mati yang saling mengunci. Melalui pandangan merahnya, ia melihat bahwa satu-satunya titik lemah adalah sebuah tiang penyangga yang tidak sejajar dengan aliran benang hitam di lantai.
"Tiang di sudut kiri itu, itu adalah kunci kestabilan ruangan ini, kita harus merobohkannya!" seru Aris sambil menunjuk ke arah tiang kayu hitam yang terlihat keropos.
Sekar segera memberikan pisau bedahnya kepada Aris, karena hanya tangan pria yang membawa garis hitam yang mampu menyentuh kayu terkutuk itu tanpa terbakar. Aris berlari menerjang tumpukan kain, sementara jarum emas itu kembali meluncur dan berusaha mengejar bayangan kakinya di atas lantai. Ia merasakan panas yang luar biasa menyengat punggungnya, namun ia terus memacu langkahnya menuju tiang penyangga yang menjadi target utama.
Hantaman pisau bedah ke kayu hitam itu menimbulkan suara dentuman yang sangat keras disertai guncangan hebat di seluruh penjuru gudang. Cairan kental berwarna cokelat tua mengalir keluar dari rekahan kayu, mengeluarkan bau busuk yang menyerupai daging lama yang tertimbun di dalam tanah. Aris terus menghujamkan senjatanya, merobek serat kayu yang tampak seperti otot-otot kering yang saling menjalin dengan sangat erat dan kaku.
"Cepat Aris, jarum itu mulai membelah diri menjadi ribuan jarum kecil!" teriak Sekar yang kini sedang berjuang menangkis serangan kilatan logam di udara.
Aris menoleh dan melihat pemandangan mengerikan di mana jarum emas raksasa itu pecah berkeping-keping menjadi hujan jarum yang sangat banyak dan mematikan. Sekar menggunakan tas medisnya sebagai pelindung, namun beberapa jarum kecil berhasil menembus kain tas dan melukai lengan atasnya hingga darah segar mengucur. Melihat Sekar terluka, amarah dalam diri Aris meledak, memicu denyut kencang pada garis hitam di pergelangan tangannya.
Dengan satu dorongan terakhir yang sangat kuat, Aris berhasil mematahkan tiang penyangga tersebut hingga bangunan itu mulai miring secara berbahaya. Langit-langit gudang runtuh, menjatuhkan ribuan meter kain kafan yang langsung menimbun jarum-jarum emas yang sedang beterbangan liar di udara. Aris segera menyambar tangan Sekar dan menarik wanita itu menuju sebuah lubang yang muncul akibat runtuhnya struktur lantai kayu di bawah mereka.
Mereka terjatuh ke dalam kegelapan yang terasa sangat dingin dan lembap, berguling-guling di atas tumpukan benda-benda yang terasa sangat rapuh dan mudah hancur. Saat Aris menyalakan korek api sisa miliknya, matanya yang merah menangkap pemandangan yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak seketika itu juga. Mereka jatuh di atas ribuan tengkorak manusia yang semuanya memiliki lubang kecil yang sangat rapi tepat di bagian tengah dahi.
"Inilah pemakaman rahasia bagi mereka yang jiwanya gagal dijahit dengan sempurna oleh para leluhur desa," bisik Sekar dengan suara yang sangat parau.
Aris berdiri dengan lutut yang gemetar, menatap deretan tengkorak yang seolah-olah sedang menertawakan nasib mereka berdua di dalam kegelapan tersebut. Di balik tumpukan tulang, ia melihat sebuah pintu besi tua yang di permukaannya terpahat sebuah simbol lingkaran yang sangat mirip dengan garis hitam di tangannya. Saat Aris mendekat, pintu itu mendadak mengeluarkan cahaya merah redup dan mulai terbuka dengan suara derit yang sangat memilukan hati.
Saat Aris mendekat, pintu itu mendadak mengeluarkan cahaya merah redup dan mulai terbuka dengan suara derit yang sangat memilukan hati.