Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2~ BUKANNYA KAMU BELUM MENIKAH?
"Stev, itu untuk siapa?" tanya Cinta ketika Stev kembali meracik kopi. Padahal semua pelanggan telah mendapatkan kopi pesanan mereka.
"Untuk kita berdua," jawab Stev tanpa melihat lawan bicaranya. Setelah selesai ia menyodorkan secangkir kopi latte buatannya itu ke hadapan Cinta.
Cinta tersenyum menatap desain art berbentuk hati di atas permukaan latte. Namun, sesaat kemudian keningnya mengkerut begitu menyadari Stev hanya membuat satu kopi latte.
"Katanya untuk kita berdua, tapi kok cuma secangkir?" tanyanya.
"Nanti kena marah Pak Bos kalau kita bikin banyak-banyak. Udah, ini secangkir aja untuk kita berdua." Stev mengulum senyum, itu hanya akal-akalannya saja. Kalaupun ia menghabiskan seluruh kopi di cafe itu, Sean tidak akan marah karena ia bisa menggantikan dua kali lipat dari itu.
Cinta terkekeh. "Ya udah, biar adil kita pakai sendok aja," putusnya kemudian. Selain tidak enak menolak kopi buatan Stev, ia juga tidak mungkin membiarkan pria itu meminum di cangkir bekasnya.
"Eh, jangan!" cegah Stev ketika Cinta hendak mengambil sendok. Ia menahan tangan wanita itu dan meminta duduk kembali. Kemudian mengambil secangkir kopi latte itu dan memberikannya pada Cinta. "Ayo di minum."
"Tapi ... beneran gak apa-apa nih, kamu minum bekas aku?" tanya Cinta.
"Ya memangnya kenapa kalau aku minum bekas kamu? Kamu gak ada penyakit menular, kan?" Bukannya menjaw, Stev justru balik bertanya.
Cinta mencubit pelan lengan pria itu sambil memasang ekspresi cemberut. "Ya gak ada lah. Aku sehat walafiat."
"Ya udah kalau gitu, ayo minum."
Cinta pun mengambilnya. Meminum dengan tampak ragu. Karena terus memperhatikan Stev dengan tatapan tak enak hati sambil minum kopi, ia sampai tak menyadari jika busa latte tersebut menempel di sekitar bibirnya.
Stev langsung bereaksi cepat menyeka bibir Cinta menggunakan ibu jarinya. Kemudian menghisapnya.
"Stev!" seru Cinta. Terkejut sekaligus tercengang melihat apa yang dilakukan pria itu.
Stev dengan santainya hanya tersenyum. "Manis, semanis cintamu," ucapnya sambil menunjukkan ibu jarinya yang telah bersih sehabis ia hisap.
"Modus ya!"
"Kok tahu." Stev tergeletak melihat Cinta melotot. "Kamu tambah cantik loh kalau lagi marah."
Cinta mendelik. Apakah semua laki-laki seperti itu, gombal.
Dering ponsel Stev menyita perhatian pria itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan langsung menjauh dair meja bar begitu melihat nama penelpon.
Cinta pun kembali meminum kopi latte buatan Stev sambil sesekali melirik pria itu. Entah telepon dari siapa, tapi sepertinya penting melihat ekspresinya sangat serius.
"Oke, saya akan ke kantor sekarang." Stev kemudian menutup sambungan teleponnya. Berdecak pelan, sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Baru saja sekretarisnya mengingatkan bahwa sebentar lagi ia ada pertemuan dengan pimpinan perusahaan yang sudah hampir dua tahun ini menjalin kerjasama dengannya.
"Telepon dari pacar ya?" tanya Cinta ketika Stev kembali.
Stev terkekeh. "Bukan," jawabnya. "Oh ya aku mau ke ruangan Pak Bos. Mau izin pulang, ada keperluan mendadak."
"Ya coba saja, semoga saja dikasih izin." Cinta merasa ragu. Ia saja pernah meminta izin pulang saat mbok Darmi menelpon dan bilang Laura sedang demam. Namun, tidak diizinkan pulang.
"Pasti diizinkan pulang kalau aku bilang, gajiku selama 3 bulan gak usah di bayar," kata Stev bercanda.
"Wow!" Cinta melongo. "Kamu yakin?"
"Yakinlah," ucap Stev kemudian melirik cangkir kopi latte di depan Cinta yang isinya tinggal sedikit sekali. "Wah, kayaknya kamu ketagihan nih sama kopi buatan aku."
"Hem, kebetulan aku haus."
Stev tersenyum. Ia meraih cangkir tersebut dan meminum habis sisanya.
Cinta hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Ketika akan meletakkan kembali cangkir kopi latte yang sudah kosong itu, tatapan Stev tak sengaja tertuju pada layar ponsel Cinta yang menyala. Kedua alisnya tebalnya hampir menyatu melihat foto balita yang kira-kira berusia satu tahun menjadi backgroundnya. Ia memang baru kali ini melihat layar ponsel Cinta.
"Itu, keponakan kamu?" tanyanya penasaran.
Cinta pun menatap layar ponselnya. Ia tersenyum menatap foto putri kecilnya itu. "Bukan, aku belum punya keponakan," jawabnya. Ia anak tunggal. Dan Indri saudari tirinya pun belum menikah.
"Terus, itu foto anak siapa?" tanya Stev lagi.
"Anakku, jawab Cinta.
"Anak? Bukannya kamu belum menikah?"
Cinta menghela nafas sambil mengangguk.
Stev tercengang, dalam beberapa saat ia kehilangan kata. Mengetahui ternyata Cinta telah memiliki anak membuatnya serasa kehilangan akal sehatnya.
Ia ingin bertanya lebih banyak lagi. Namun, mengingat ia ada pertemuan dan tidak bisa diwakilkan membuatnya harus menahan diri.
"Cin, aku pamit dulu ya." Stev buru-buru ke ruangan Sean.
Cinta menatap nanar kepergian pria itu. Ia yakin setelah ini Stev pasti akan menjauh darinya setelah mengetahui ia mempunyai anak tanpa suami. Sama seperti papanya yang berubah karena menganggap ia pembawa aib.
.
.
.
Di sisi lain. Indri menunggu dengan tak sabar. Sekarang sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan. Jika bukan karena memiliki niatan lain, ia pasti sudah memaki-maki pimpinan perusahaan yang bekerja sama dengannya karena bekerja dengan tidak profesional.
"Hei, kemari." Ia memanggil seorang wanita yang merupakan sekretaris Vano.
Wanita yang bernama Maura itu pun beranjak menghampiri Indri yang sejak tadi menunggu di sofa tak jauh dari meja kerjanya. "Apa Ibu butuh sesuatu?"
Indri mengulurkan ponselnya. "Berapa nomor telpon Bos kamu?"
"Maaf, Bu. Tadi saya sudah telepon Pak Vano, dan sekarang sedang dalam perjalanan kemari," jawab Maura. Sang bos sudah memperingati agar ia tidak sembarang memberi nomor telponnya pada siapapun. Jika ada keperluan, harus melalui dirinya.
Indri berdecak kesal. Namun, sekali lagi ia berusaha menahan diri. Sudah hampir dua tahun perusahaannya dan perusahaan Vano bekerjasama, tapi ia sama sekali tidak memiliki nomor telpon pria itu.
Ia sudah pernah meminta nomor telepon Vano pada pria itu langsung saat penandatanganan kontrak kerja sama. Tapi pria itu malah memberikan nomor telpon sekretarisnya, dan memintanya untuk menghubungi langsung sekretarisnya itu jika ada keperluan.
Ia pikir Maura akan memberikannya, tapi ternyata diluar ekpektasinya. Sepertinya Vano sudah mewanti-wanti sekretarisnya itu.
"Bu, itu Pak Vano sudah datang." Maura menunjuk ke arah bosnya yang berjalan tergesa-gesa.
Indri pun beranjak dari tempat duduknya.
"Maaf, sudah membuat Anda menunggu lama," ucap Stev alias Vano ketika telah berdiri di hadapan Indri.
Indri memasang senyum manisnya. "Gak apa-apa. Aku juga gak lagi terburu-buru, kok."
"Kalau begitu mari ke ruangan saya."
Indri pun mengikuti langkah Vano yang sudah berjalan lebih dulu.
"Tadi aja mukanya kusut banget. Giliran di depan Pak Vano sok kalem. Dasar!" Maura mengepalkan tinjunya dan mengarahkan pada Indri yang berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Vano.
tp semoga ceritanya lain dari yg lain..semoga prediksi ku meleset soalnya sudah banyak cerita novel tg seperti itu.....lanjuuut semangat thor..
awas kl kena jebakan ular 🐍🐍🐍🐍indri
dan sudah ketahuan sama mbok Darmi biar Vani terselamatkan dari rencana licik getuk lindri