Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"P-Papa?" Zavier membeo, sedangkan Elara membatu di belakang tubuh lelaki berjas abu tua itu.
"Hebaaaat!" Soni bertepuk tangan sambil berdiri dari kursi kebesaran yang biasanya diduduki oleh Zavier. "Baru saja semalam hubungan gelap kalian dibongkar oleh Zhea ... pagi ini kalian sudah berani berpegangan tangan. Kau benar-benar tak punya hati, Zavier! Memalukan!" geram Soni menggebrak meja membuat sepasang kekasih itu terlonjak di ambang pintu ruangan.
Keributan itu otomatis mengundang perhatian dari beberapa karyawan yang lalu lalang serta yang berada di dekat ruangan sang direktur utama.
"Papa!" Zavier meninggikan suara. Melangkah cepat masuk ke dalam ruangan sembari menarik Elara ikut bersamanya, menguak pintu lebar-lebar. "Papa, tolong jangan menghakimi aku dan Elara terus menerus. Aku dan dia saling mencintai ... dan minggu depan, aku akan menikahi Elara!"
Soni melebarkan mata, "KAU!" Telunjuk Soni mengacung ke wajah anak sulungnya. "Kau memang tak punya hati dan tak punya malu!" bentak Soni murka. "Bukannya minta maaf pada Zhea dan keluarganya. Kau malah sibuk mengurusi selingkuhanmu itu! Dasar anak tidak tahu diri! Mulai detik ini, kau tidak lagi menjabat sebagai direktur utama! Aku ambil lagi jabatan ini!" Gelegar suara Soni sampai terdengar ke luar ruangan.
"Papa!" Zavier terhenyak, begitu pun Elara yang syok tak terkira.
"Apa?! Kau mau protes?!" tantang Soni membusungkan dada.
"Tentu saja." Zavier membalas dengan suara tinggi. "Papa tidak bisa memberhentikan aku begitu saja. Itu namanya tidak profesional, Pa," protesnya kesal.
Soni tertawa sumbang. "Ini perusahaan milikku. Warisan dari orang tuaku. Kenapa aku tidak bisa memberhentikanmu?!"
Zavier terdiam. Ia kalah telak oleh perkataan ayahnya.
"Dan kau!" Kini Soni menunjuk ke arah Elara yang sejak tadi bersembunyi di balik tubuh anaknya. "Mulai detik ini ... kau kupecat! Kau bukan lagi sekretaris di perusahaan ini! Kemasi barang-barangmu dan pergi dari kantor ini!"
Elara membatu, jantungnya tersentak hebat.
"Papa! Ken-"
"Cukup Zavier!" potong Soni dengan cepat. "Bawa keluar wanita pelakor itu dari ruanganku!" Makian itu tentu saja mengundang riuh dari para karyawan yang sedari tadi menguping di sepanjang lorong.
Bisik-bisik pun saling bersahutan.
"Ternyata dugaanku selama ini benar. Jika Pak Zavier dan si Elara punya hubungan spesial."
"Ya emang punya hubungan spesial. Kalau enggak, mana mungkin hampir setiap malam mereka berduaan di dalam ruangan."
"Ho'oh ... bener banget itu. Malahan aku pernah tak sengaja memergoki mereka sedang berpelukan di halaman belakang kantor."
Ketika Zavier dan Elara keluar dari ruangan dirut, seketika semua bisik-bisik itu lenyap. Semua karyawan yang menyaksikan pertengkaran itu mengunci mulutnya rapat-rapat. Bukan karena takut oleh Zavier, tapi lebih ke menghormati keberadaan Soni.
"Ngapain kalian berkerumun di sini?!" bentak Zavier pada karyawan-karyawan itu. "Bubar! Bubar!" lanjutnya sambil menendang udara.
Spontan semua karyawan itu berhamburan kembali ke ruangannya masing-masing.
"Aarrgghh!" Zavier menggeram sambil meninju dinding berkali-kali, membuat Elara yang ada di sebelahnya memekik dan refleks menahan tinjuan itu.
"Babe, cukup. Jangan menyakiti dirimu sendiri. Tenangkan dirimu." Elara memeluk Zavier erat, menenangkan kekasihnya itu. "Aku ikhlas dipecat. Tapi sebisa mungkin ... meskipun Papamu menurunkan jabatanmu, kamu tidak boleh keluar dari kantor ini. Kamu harus tetap bertahan demi masa depan kita," bujuk Elara.
"Yang benar saja, Ela! Setelah Papa menghina dan merendahkanku, kenapa aku harus tetap bertahan di perusahaan ini? Aku pintar, dan aku akan buktikan pada Papa kalau aku bisa diterima kerja di tempat lain. Aku bisa sukses tanpa bantuan dia dan juga Mama!" desis Zavier angkuh.
Elara memegang pipi Zavier, mengarahkan untuk menatapnya. "Babe, dengerin aku," katanya penuh penekanan. "Aku ngerti kalau kamu sakit hati, merasa terhina, merasa dipermalukan dan merasa tidak dianggap, karena aku pun merasakannya. Tapi kalau kamu pergi dari kantor ini ... Zhea akan lebih leluasa masuk dan menghasut Papamu untuk memberikan semua hak warisanmu kepadanya dan juga bayinya. Dan akhirnya ... kamu tidak akan mendapatkan apa-apa. Kamu ngerti kan maksud aku?" bisik Elara berusaha memprovokasi Zavier.
Rahang Zavier yang tadinya mengeras, perlahan mengendor. Wajahnya yang tadi merah padam, kini berangsur kembali ke warna alami. "Kamu benar, Ela. Kalau aku keluar dari kantor ini, Zhea akan bahagia. Dia pasti akan mempengaruhi Papa dan Mama untuk tak memberikan secuil pun warisan kepadaku."
"Nah itu! Makanya aku menyuruhmu untuk tetap bekerja di kantor ini. Supaya si Zhea tidak bisa berbuat seenaknya."
Zavier akhirnya luluh. Dia mengikuti saran Elara. "Tapi kamu nggak akan ada di sisi aku, sayang. Aku pasti kesepian." Zavier memasang wajah memelas.
"Tapi kan kita sebentar lagi akan menikah. Kita akan tinggal serumah. Dan kita hanya berjauhan pas siang saja. Setelah pulang kantor ... kita akan bersama lagi."
"Baiklah, Ela. Ayo aku bantu kamu membereskan barang-barangmu."
"Makasih, Babe."
Keduanya berjalan menuju ruangan Elara.
Dari balik pintu ruangan, Soni mengamati interaksi itu, kepalanya bergerak ke kanan dan kiri secara pelan. "Ya Tuhan ... ampunilah dosa-dosa Zavier. Bukakan pintu hatinya dan berikanlah dia hidayah. Jangan buat dia tersesat lebih lama. Bimbinglah ia untuk kembali ke jalan-Mu." Soni memejamkan mata, berusaha menghalau air mata yang ingin tumpah.
_____
Langit tampak kelabu, seolah ikut merasakan beratnya hati Zhea. Di kursi kemudi, Rafly sesekali melirik kakaknya yang sejak tadi hanya memandang keluar jendela. Jemari Zhea menggenggam map cokelat berisi berkas gugatan, tangan itu bergetar, namun matanya tegas.
"Kak ... kalau Kakak belum siap, kita bisa putar balik dan kembali ke rumah. Daftarin gugatannya nggak usah hari ini."
Zhea menarik napas panjang. "Kakak siap Dek. Sangat siap!"
Mobil berhenti di depan Pengadilan Agama. Area parkir sudah mulai dipenuhi orang-orang ... istri yang menggugat suami, suami yang meminta hak asuh, pasangan yang berakhir diam-diam memendam luka masing-masing. Dan kini, Zhea menjadi bagian dari mereka.
Rafly turun lebih dulu dan membuka pintu untuk kakaknya, seolah Zhea adalah sesuatu yang harus dijaga dari dunia yang sudah menyakitinya.
Begitu kaki Zhea menjejak lantai paving halaman pengadilan, jantungnya mengetuk tulang rusuknya keras.
"Kak ... jalannya pelan-pelan aja. Aku ada di sini mendampingi Kakak.
Zhea mengangguk, menahan air mata yang nyaris tumpah. " Iya, Dek. Makasih."
Mereka melangkah memasuki gedung.
Antrean cukup panjang. Suara printer, ketukan keyboard, dan panggilan nomor antrean bercampur jadi satu. Zhea berdiri memeluk mapnya erat-erat.
Rafly memperhatikan wajah kakaknya yang pucat, bertanya pelan, "Apakah Kakak mau aku yang bicara pas nanti di loket?"
Zhea menggeleng. "Nggak usah, Dek. Biar Kakak aja. Ini tanggung jawab Kakak."
Tak berselang lama, nomor antrean mereka dipanggil.
Zhea melangkah maju ke loket, menaruh map cokelat di meja petugas.
"Selamat siang, Bu. Apakah Ibu mau menggugat cerai?"
Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa seperti palu godam yang menghantam hati Zhea. Tenggorokannya tercekat. Sesaat ia tak mampu menjawab. Hingga tiba-tiba tangan Rafly menggenggam pundaknya, kuat namun lembut, memberi kekuatan yang tak ia minta tapi ia butuhkan.
Dan di situlah Zhea akhirnya berkata. "Iya, Pak. Saya mau menggugat suami saya. Namanya Zavier Dinata." Suara itu gemetar, tapi jelas. Keputusan seorang perempuan yang akhirnya berhenti berharap pada lelaki yang mengkhianati pernikahan mereka dan milih orang lain.
Petugas mulai memeriksa berkas-berkas. Rafly memperhatikan setiap detail, memastikan tak ada yang terlewat.
Keluar dari ruang loket, langkah Zhea terasa ringan tapi getir.
Di teras pengadilan, ia berhenti, menatap langit yang masih mendung. "Kakak tidak pernah membayangkan jika pernikahan Kakak akan berakhir di tempat ini, Dek ..."
Rafly menatap kakaknya dengan mata memerah menahan emosi. "Sabar ya, Kak. Yang penting sekarang, Kakak keluar dari luka itu. Kakak dan Zheza berhak bahagia. Aku yakin, Allah akan membalas perbuatan menjijikan Zavier. Dia pasti akan mengalami sakit hati yang jauh lebih sakit daripada yang Kakak rasakan saat ini. Allah tidak pernah tidur, Kak. Semangat ya ..."
Zhea tersenyum kecil ... senyum yang lebih terlihat seperti luka yang sedang mencoba ia sembuhkan. "Terima kasih sudah selalu mendukung Kakak."
Rafly tersenyum kecil. "Aku adikmu. Jadi mendukungmu adalah kewajibanku."
Mereka berjalan menuju mobil, meninggalkan pengadilan bersama hela napas panjang dan secercah keberanian baru.
____
"Zheza ..." Turun dari mobil, Zhea langsung berseru memanggil putri kecilnya yang sedang digendong oleh sang ibu.
Segala rasa sakitnya seketika hilang melihat wajah Zheza yang menggemaskan.
"Kamu rewel nggak?" tanyanya sambil mengambil alih Zheza dari gendongan sang mama.
"Nggak, Mama. Aku anteng aja main sama Oma," jawab Zahrani menirukan suara bayi.
Zhea menciumi pipi Zheza, penuh cinta. "Masya Allah ... anak soleha. Makasih ya, sayang."
"Iya, Mama." Itu bukan suara Zahrani, melainkan Rafly yang ikut menirukan suara bayi.
"Ih, si Om ikut-ikutan ya, Dek," cibir Zahrani seraya menarik pipi anak bungsunya.
"Hehe ..." Rafly menyengir lucu.
"Kapan sidang perdananya dimulai, Zhea?"
Zhea mengalihkan pandangan dari wajah putrinya ke wajah sang ibu. "Kayaknya bulan depan, Ma. Tapi doakan saja ... semoga bisa secepatnya. Aku sudah ingin segera bebas dari ikatan pernikahan yang menyiksa ini."
"Iya, Nak. Mama akan selalu mendoakanmu."
"Nanti kalau Kakak udah jadi janda ... bantuin aku di pabrik lagi ya, Kak?" pinta Rafly sambil tertawa.
"Heh! Kakakmu butuh waktu menenangkan diri dulu. Ini malah disuruh langsung bantu-bantu," tegur Zahrani, matanya melotot yang dibuat-buat.
"Haha ..." Kedua anaknya tertawa lepas.
"Yuk ah masuk. Bi Dedah udah masakin menu enak untuk makan siang kita." Zahrani berseru dan disambut acungan jempol oleh kedua anaknya.
______
Gedung kantor Dinata Grup sudah lengang. Lampu-lampu koridor mulai dipadamkan, hanya tersisa cahaya dari ruang Direktur Utama yang masih menyala.
Zavier masuk tergesa, wajahnya masih menyisakan aroma Elara, namun kini dipenuhi kecemasan yang lain.
Di dalam ruangan, Soni berdiri membelakangi meja, menatap jendela besar yang menunjukkan gelapnya kota. Dia tahu anaknya akan datang.
Zavier mendorong pintu hingga terayun keras. "Pa ... kita harus bicara!"
Soni tak langsung berbalik. "Apalagi yang mau kamu bicarakan? Kalau soal jabatanmu ... Papa tetap pada keputusan Papa tadi siang," sahutnya datar.
Zavier mengepalkan tangan. "Pa, tolong jangan berhentikan aku jadi Dirut. Walau bagaimana pun juga, aku turut andil memajukan pamor perusahaan ini!"
Soni akhirnya berbalik menghadap ke Zavier, wajahnya tegas, dingin, dan penuh raut kecewa. "Papa tahu kalau kamu turut memajukan pamor perusahaan ini. Tapi perselingkuhan yang kamu lakukan dengan Elara ... sudah mencoreng nama baik perusahaan ini. Kamu pantas dihukum. Dan diberhentikan jadi Dirut adalah hukuman yang cocok untukmu!"
Zavier menegang. "Tapi ini masalah pribadi, Pa. Jangan bawa-bawa pekerjaan dan jabatan!" elaknya kesal.
Soni mengibaskan tangan, lalu tertawa sumbang. "Ini bukan masalah pribadi, Zavier. Kamu berselingkuh dengan sekretarismu di kantor ini. Dan kamu adalah seorang Dirut, tindakanmu itu memalukan! Semua karyawan tahu kamu mendua. Reputasi kantor ini tercoreng! Pun dengan nama baik keluarga kita! Pencopotan ini adalah balasan yang pantas!"
Zavier melangkah maju, suaranya naik. "Papa nggak tahu alasan aku selingkuh dengan Elara. Semua itu karena Zhea sendiri Pa, dia tid-"
Soni membentak semakin keras, "Cukup Zavier! Jangan terus membela diri dan melontarkan alasan-alasan menjijikan! Apa pun alasannya, selingkuh itu tidak dibenarkan! Yang jelas, kamu sudah mengkhianati istri yang selama ini menemanimu dengan setia, dan kamu sudah mempermalukan keluarga kita!"
Urat di leher Zavier tegang. Napasnya memburu. Hatinya digelayuti rasa bersalah, tapi egonya jauh lebih keras.
Soni berbalik lagi, membelakangi Zavier, ia berjalan pelan, hendak mengambil map di atas meja. "Mulai besok, kamu turun jabatan menjadi staf biasa. Papa sudah membicarakan ini dengan dewan direksi. Tidak ada bantahan dan protes lagi. Keputusan Papa sudah tidak bisa diganggu gugat!"
Seluruh darah Zavier seakan naik ke kepala.Wajahnya menggelap. Emosi menguasai nalarnya.
Dengan amarah membabi buta, Zavier melangkah cepat dan mendorong tubuh ayahnya.
Dorongan itu bukan dorongan ringan, itu dorongan penuh emosi yang meledak tanpa kendali.
BRAAAK!
Soni terjatuh ke depan. Kepalanya otomatis membentur ujung meja dengan keras, selanjutnya tubuh Soni terhempas ke lantai. Dan kini kepalanya membentur lantai marmer tak kalah keras juga.
Benturan itu terdengar jelas. Mematikan. Menghentikan napas.
Map dan kertas berhamburan.
Soni tergeletak tak bergerak. Darah tipis mulai mengucur dari pelipisnya.
Zavier membeku. Matanya membesar. Tubuhnya refleks mundur satu langkah. "Pa ...?"
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir