Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu pasti kuat, Nak.
Di lorong Rumah Sakit Permata Medika yang bersih dan dingin. Aroma antiseptik menusuk hidung.
Inara dan Bu Farida sudah tiba di Rumah Sakit. Daffa segera ditangani di Unit Gawat Darurat Anak. Inara duduk gemetar di kursi tunggu, sementara Bu Farida mencoba menenangkannya.
Tidak jauh dari sana, di sofa ruang tunggu pasien yang lebih nyaman, duduk Nyonya Martha, seorang wanita elegan dengan raut wajah lelah. Dan disampingnya adalah Rayyan, putranya yang sedang berbincang dengan seorang perawat. Rayyan baru saja menjalani pemeriksaan rutin pasca kecelakaan tiga tahun lalu, yang menyisakan masalah kesehatan serius, yakni disfungsi ereksi atau impoten.
Nyonya Martha termenung. Pandangannya kosong, memikirkan bagaimana cara agar Rayyan bisa pulih dan mendapatkan kembali kebahagiaannya. Tiba-tiba, ia tak sengaja melirik ke arah dua wanita yang sedang cemas di ujung lorong. Sosok yang satu, seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan wajah penuh kerutan telah menarik perhatiannya.
Nyonya Martha tiba-tiba saja bangkit sedikit, kedua matanya menyipit.
"Rayyan, Nak... coba lihat ke sana." Bu Martha menunjuk ke arah Bu Farida
Rayyan berbalik, bingung. "Ada apa, Bu? Ibu mau minum?"
"Bukan Nak. Wanita itu... yang sedang menenangkan gadis muda di sana... Coba kamu lihat itu baik-baik. Hijab instannya, cara duduknya... Ya Tuhan, benarkah itu...?"
"Siapa, Bu? Hanya ibu-ibu biasa yang sedang menemani anaknya."
Nyonya Martha lirih, hampir berbisik.
"Bukan 'ibu-ibu biasa', Rayyan. Itu... itu siluetnya tidak salah lagi. Bukankah selama ini Ibu berusaha mencarinya? Sahabat karib Ibu saat susah dan senang dulu, sahabat yang hilang kontak saat Ibu pindah ke luar kota sepuluh tahun lalu... Farida..."
Nyonya Martha tidak menunggu jawaban Rayyan. Ia bergegas berjalan, langkahnya cepat namun ragu. Semakin dekat, ia semakin yakin, wajah yang sudah dimakan usia itu memang wajah sahabatnya. Bu Farida, yang kini menjadi penghuni kawasan kumuh.
Nyonya Martha menghampiri Bu Farida dengan mata yang berkaca-kaca.
"Farida...? Benarkah ini kamu, Farida?"
Bu Farida menoleh, ia terkejut melihat wanita berkelas yang menyebut namanya. Butuh beberapa detik bagi Bu Farida untuk mengenali sosok di depannya saat ini
Bu Farida terkejut, setelah beberapa detik kemudian, ia baru tersadar.
"Martha...? Ya ampun, Martha! Kenapa kamu bisa ada di sini?"
Inara terdiam, kebingungan menyaksikan pertemuan tak terduga di tengah kecemasannya. Rayyan berdiri terpaku, memperhatikan ibunya yang menangis haru di pelukan seorang wanita yang sangat asing baginya, dan sekilas matanya melirik ke arah Inara.
Rayyan sempat berdehem dan menyadarkan ibunya serta Bu Farida.
" Oh iya aku hampir lupa memperkenalkan putraku satu-satunya, kamu pasti masih ingat dengan Rayyan putraku!" Nyonya Martha menyenggol lengang putranya untuk berjabat tangan dengan Bu Farida, dan ia sudah tahu kode tersebut, lalu Nyonya Martha mulai melirik ke arah Inara yang terlihat cemas dengan wajahnya yang pucat.
"Aku masih ingat dengan Putramu, Martha!"
"Syukurlah, Farida, siapa wanita cantik di sampingmu? Apakah dia putrimu? Eh... Setahuku kau cuma punya satu anak laki-laki, sama sepertiku!" Pandangan Nyonya Martha terfokuskan ke arah Inara, sedangkan Inara tersenyum tipis ke arahnya.
Kemudian Bu Farida memperkenalkan Inara kepada Nyonya Martha dan juga Rayyan di tengah kegundahan hatinya Inara akan kondisi putranya, tak lama Dokter yang telah memeriksa Baby Daffa memanggil Inara ke dalam ruangannya dan meninggalkan Bu Farida, Nyonya Martha serta Rayyan di koridor Rumah Sakit.
Udara di ruang praktik Dokter, yakni Dokter Reza terasa dingin, seolah ikut membekukan suasana hati Inara. Sudah dua minggu sejak Daffa, putra semata wayangnya, lahir. Kebahagiaan menjadi ibu sempat tercoreng oleh vonis Down Syndrome saat Daffa baru berusia beberapa hari.
Kini, Inara duduk berhadapan dengan dokter anak yang baru saja selesai melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Daffa. Bayi mungil itu terlelap pulas dalam dekapan Inara, tak menyadari betapa berat beban yang dipanggul ibunya saat ini.
Dokter Reza melepaskan kacamatanya, pandangannya teduh namun sarat akan kekhawatiran. Di atas mejanya, tergeletak beberapa lembar hasil pemeriksaan elektrokardiogram dan echocardiogram Daffa. Inara tahu, kabar yang akan disampaikan pasti jauh dari baik. Jantungnya berdebar kencang, menanti hantaman pahit yang sebentar lagi ia terima.
Dokter Reza menghela napasnya perlahan.
"Bu Inara setelah kami melakukan pemeriksaan mendalam, khususnya pada organ jantung Daffa, ada kabar yang harus saya sampaikan, seperti yang sudah kita diskusikan, kelainan bawaan pada jantung, atau yang dikenal dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB), memang sering sekali menyertai anak-anak dengan Down Syndrome."
Kemudian Inara menggenggam erat Daffa, suaranya bergetar.
"Iya, Dok... saya sempat membaca soal itu. Tapi, seberapa parah kondisinya, Dok?"
"Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya Defek Septum Ventrikel (VSD) atau kebocoran pada sekat bilik jantung, dan juga ada indikasi Defek Septum Atrium (ASD). Saat ini, kebocoran ini sudah mulai signifikan memengaruhi fungsi jantungnya, jantung Daffa harus bekerja lebih keras, dan ada risiko peningkatan tekanan darah di pembuluh darah paru-paru."
Inara terdiam, bola matanya memanas, namun ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan dokter.
"Maksud Dokter... jantung putra saya bermasalah... sekarang?"
"Benar, Bu Inara, kondisi ini perlu pemantauan ketat dan penanganan serius. Sebaiknya, Daffa segera mendapatkan perawatan medis intensif di rumah sakit agar kami bisa memantau kondisi jantungnya, memberikan obat-obatan penguat, dan mempersiapkan opsi terbaik ke depannya."
Kata-kata 'perawatan intensif' seolah telah menghantam Inara seperti sebuah palu, ia teringat akan tabungan yang ia miliki dari hasil penjualan cincin kawin miliknya, dan ia juga masih menyimpan kalung pemberian dari mantan suaminya, Hamdan! Pikirannya semoga sisa uang hasil penjualan cincin kawin miliknya serta kalung tersebut bisa ia gunakan untuk biaya pengobatan putranya selama beberapa waktu ke depan.
Inara menunduk, air mata akhirnya menetes membasahi pipi Daffa yang sudah tertidur lelap.
"Dokter... maafkan saya, jujur saja, saat ini saya terkendala biaya jika harus membawa Daffa dirawat intensif di rumah sakit dalam waktu yang lama. Apakah......apakah ada pilihan lain, Dok? Pengobatan rawat jalan, misalnya?"
Dokter Reza mengerti posisi serta kondisi Inara, ia menyandarkan punggungnya ke kursi dengan rasa prihatin.
"Saya mengerti, Bu Inara. Kondisi ini memang berat. Secara medis, idealnya adalah perawatan di rumah sakit. Namun, melihat tekad dan cinta kasih Anda..."
Dokter Reza mulai berpikir sejenak, lalu ia menatap Inara dengan tatapannya yang serius.
"Baiklah, saya akan berikan Anda waktu selama tiga bulan. Kita akan mencoba pengobatan berjalan di rumah dengan obat-obatan. Anda harus ketat mengawasi asupan nutrisi Daffa dan memastikan ia tidak mengalami infeksi pernapasan sedikit pun, saya juga akan menjadwalkan kontrol dan evaluasi setiap dua minggunya, bagaimana Bu Inara?"
Kemudian Inara menatap Dokter Reza penuh harap. "Tiga bulan, Dok? Terima kasih banyak."
"Namun, ada syarat mutlak Bu Inara, jika dalam tiga bulan kondisi Daffa tidak membaik, atau bahkan memburuk, misalnya berat badannya sulit naik atau ia mengalami sesak napas yang parah. Maka operasi jantung adalah satu-satunya jalan, operasi bertujuan untuk menutup kebocoran itu agar jantungnya bisa berfungsi dengan normal."
Inara terhenyak, operasi? Biayanya pasti sangat besar, pikirnya dalam hati.
"Operasi..."
"Iya , Bu Inara, anggaplah waktu tiga bulan ini adalah kesempatan Anda dan Daffa untuk berjuang. Saya akan memberikan resep dan panduan lengkap untuk perawatan di rumah. Ingat, Bu Inara, pantau perkembangannya dengan seksama, jangan pernah Ibu lewatkan jadwal kontrol untuk Daffa."
Kemudian Inara menghapus jejak air matanya, ia mengangguk mantap, meski hatinya remuk redam.
"Baik, Dok. Saya akan lakukan yang terbaik. Demi Daffa."
Akhirnya Inara keluar dari ruang praktek dokter dengan langkah gontai. Tangan kirinya memeluk Daffa, tangan kanannya menggenggam resep dan surat pengantar.
Vonis Down Syndrome sudah terasa menyakitkan, kini ditambah lagi kelainan jantung yang mengancam nyawa putranya, tiga bulan, hanya tiga bulan waktu yang ia miliki untuk mencari keajaiban, atau terpaksa menghadapi kenyataan pahit yakni operasi yang menelan biaya tak terbayangkan. Ia menatap wajah polos Daffa yang damai. Sebuah janji lirih terucap di hatinya,
"Mama akan berjuang, Sayang. Mama tidak akan menyerah." Beban di pundaknya terasa amat berat, tetapi cinta seorang ibu adalah kekuatan yang tak terhingga sepanjang masa.
Bersambung...