Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam-diam Cemburu
Pada akhirnya Ragnar membuka mulut, siap memberi jawaban. Namun sebelum kata-kata itu sempat meluncur, tirai tenda mendadak tersibak kasar.
Nateya sontak menoleh. Ragnar pun terkejut, refleks berdiri tegak dan memberi hormat.
“Jenderal Elias,” ucapnya lantang, nada suaranya tegas penuh disiplin.
Elias masuk dengan langkah panjang, wajahnya kaku. Sorot matanya tajam menusuk ke arah Nateya. Sejenak, udara dalam tenda seakan menegang.
“Apa yang kalian bicarakan berdua saja?” tanya Elias, suaranya dingin. “Kenapa kau tidak menungguku, Seruni?”
Nateya menegakkan tubuh, menatap Elias tanpa gentar. “Daripada menunggu seseorang yang tidak jelas kapan datangnya, lebih baik aku langsung bertanya pada Ragnar. Aku ingin tahu apakah ia bersedia menjadi ajudanku.”
“Dan apa jawabanmu, Ragnar?” tanya Elias dengan nada merendah, tetapi penuh tekanan.
“Jangan hanya karena merasa tidak enak hati pada Seruni, kau menerimanya. Pikirkan baik-baik. Kalau kau butuh waktu, kau bisa memberi jawaban dalam tiga hari ke depan.”
Di luar dugaan, Ragnar menatap lurus ke mata Elias lalu menjawab dengan suara mantap.
“Tidak perlu waktu lagi, Jenderal. Saya menerima permintaan Nyonya Seruni. Saya bersedia menjadi ajudannya, melindungi dan menjaganya.”
Nateya spontan menyunggingkan senyum. Berbeda dengan Elias yang justru tampak terkejut. Rahangnya mengeras, matanya menyipit seakan tak percaya.
“Kau yakin dengan keputusan itu, Ragnar?” tanyanya dengan nada yang lebih tajam.
“Kau sangat berprestasi menumpas para pemberontak. Aku sendiri sudah menyiapkan rekomendasi untuk kenaikan pangkatmu dalam waktu dekat. Jangan sampai kau menukar masa depanmu dengan sesuatu yang hanya tampak mulia di permukaan.”
Namun Ragnar mengulang dengan mantap, “Saya tahu semua itu, Jenderal. Tapi, saya lebih memilih mengabdi pada orang yang telah menyelamatkan nyawa saya. Sebagai prajurit, saya lebih mengutamakan sumpah setia daripada sekadar ketenaran dan kenaikan pangkat.”
Mata Nateya berkaca-kaca mendengar itu. Untuk pertama kalinya, ia merasakan ketulusan tanpa pamrih. Baru kali ini ada orang yang memilih dirinya, bukan karena kewajiban, bukan karena keterpaksaan, melainkan karena keikhlasan hati. Benar, ia tidak salah memilih Ragnar sebagai ajudan.
Elias terdiam cukup lama. Bahunya tegang, dan ada sesuatu yang bergejolak di balik sorot matanya.
“Baiklah, aku akan menerima keputusanmu, Ragnar,” ucapnya dengan suara berat.
“Tapi kau harus tahu, Ragnar… besok Seruni akan berangkat ke Gunung Arunika. Dia akan tinggal di sana. Tempat itu terpencil, bukan medan perang, bukan juga kota. Apa kau bersedia ikut? Apalagi kau sendiri masih dalam masa pemulihan," imbuh Elias memperingatkan.
Ragnar menoleh sekilas pada Nateya, lalu menjawab tegas, “Saya bersedia, Jenderal. Kondisi saya sudah jauh membaik.”
Nateya menimpali dengan cepat, mematahkan keraguan Elias. “Aku sendiri punya kemampuan pengobatan. Kau tidak perlu khawatir, Elias. Aku bisa merawat luka Ragnar sampai benar-benar pulih.”
Elias kembali membisu. Tatapan matanya menancap pada Nateya lama sekali, seolah ada ribuan kata yang ingin ia lontarkan, tetapi tertahan oleh gengsi seorang jenderal.
Bagi Nateya, sorot itu cukup aneh. Sekilas, ada rasa marah di sana, tetapi ada pula sesuatu yang samar, yang menyerupai kecemburuan seorang pria.
Tanpa membuang waktu, Nateya lantas berdiri dan menatap ke arah Ragnar.
“Terima kasih, Ragnar. Besok aku akan berangkat ke Gunung Arunika jam sembilan pagi, setelah mengantar Anelis ke sekolah. Kau bisa datang sebelum itu dan berangkat bersamaku.”
Ragnar menundukkan kepala hormat. “Baik, Nyonya. Saya akan berkemas malam ini. Besok pagi, saya sudah siap berangkat bersama Anda.”
“Kalau begitu, sampai jumpa besok,” ujar Nateya sambil tersenyum tipis. Ia melangkah keluar dari tenda, membiarkan Ragnar bersama Elias.
Begitu keluar, Nateya mencari Julian yang masih duduk di pinggir lapangan, menonton para serdadu berlatih. Wajah putranya tampak serius, seperti ingin mengikuti setiap gerakan.
“Julian,” panggil Nateya lembut sambil menyentuh bahu anaknya, “Mama sudah selesai bicara dengan Mayor Ragnar. Kau mau pulang sekarang? Mama harus berkemas.”
“Berkemas? Kita mau ke mana, Ma?” tanya Julian penuh rasa ingin tahu.
Nateya merunduk agar sejajar dengan putranya, sebelum menjawab.
“Besok Mama akan pergi ke Gunung Arunika. Ke rumah warisan kakek, untuk beristirahat di sana. Kalau kau mau, kau bisa ikut selama masa skorsing. Setelah kau kembali sekolah, kau harus pulang ke kota. Tapi kalau tidak mau ikut, kau bisa tetap tinggal di rumah bersama Papa dan Anelis."
Mata Julian membesar terkejut. “Berapa lama Mama akan tinggal di sana?”
“Paling lama dua bulan,” jawab Nateya jujur. “Mama ingin menurunkan berat badan dengan cara alami, jauh dari gangguan.”
Julian terdiam sejenak, lalu memegang lengan ibunya. "Aku ikut menemani Mama. Aku tidak mau Mama sendirian di tempat terpencil.”
Hati Nateya terasa disiram ribuan bunga. Hari ini, dia telah mendapat dukungan tulus dari dua orang sekaligus, yaitu Ragnar dan Julian. Ia segera memeluk putranya erat.
“Terima kasih, Sayang. Kamu benar-benar penopang Mama.”
Pelukan itu terhenti ketika terdengar suara deheman berat. Elias berdiri tak jauh dari mereka, dengan tatapan sulit ditebak.
“Jadi, keputusanmu sudah bulat, Seruni?”
Nateya menoleh, tetap memeluk Julian. “Iya. Besok aku akan berangkat. Oh ya, di mana Amara? Kenapa kau tidak menemaninya?” tanya Nateya balik.
“Aku sudah menyuruh Willem mengantarnya pulang. Sekarang, kau dan Julian pulang dulu diantar Arvid. Nanti malam aku akan pulang lebih awal," jawab Elias datar.
Nateya mengangguk singkat tanpa menambah kata lagi kepada sang suami. Ia menggandeng Julian menjauh, sementara Elias masih berdiri menatap punggung mereka. Sorot mata lelaki itu penuh gejolak, antara khawatir, berat melepas, dan rasa yang tak ingin ia ungkapkan.