Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa - 05
Siluet gedung-gedung pencakar langit memantulkan cahaya senja yang keemasan. Hiruk-pikuk lalu lintas di bawah sana terlihat sibuk, suara klakson bersahutan.
Siang ini Farah hendak mengunjungi Papanya di perusahaan, ia ingin membicarakan perihal studi yang akan ia lanjutkan di Venezia.
Gadis 22 tahun itu, berjalan tenang memasuki lobi perusahaan. Penampilannya yang kasual memancarkan rasa percaya diri tanpa berlebihan. Sejumlah eksekutif dan staf menyapanya dengan hormat. Meskipun jarang hadir di kantor ayahnya, Farah selalu meluangkan waktu untuk datang pada acara-acara penting. Tak mengherankan jika hampir seluruh karyawan mengenalnya.
Terdengar suara bisik-bisik dari para karyawan yang membicarakannya bahkan memuji kecantikannya bahkan tak banyak yang menjodoh-jodohkannya dengan Ceo Moonlight Corporation.
Seperti saat ini, ia sedang menunggu lift eksekutif, tanpa sengaja mendengar percakapan beberapa karyawan yang tengah menyebut namanya.Jarak antara lift eksekutif dan lift karyawan hanya beberapa langkah saja, tentu saja ia bisa mendengarnya dengan jelas.
“Masya Allah, Cantik banget ya.”
“Perfect sih kata aku. Cocok banget sama pemilik moonlight.”
“Moonlight …. Maksud kamu Pak Azzam, yang sering kesini itu kan?”
“Iya, Pak Azzam..”
“Ust.. nanti bu Farah denger loh, jangan buat cerita yang tidak-tidak,” tegur seorang pria yang juga menunggu lift yang sama.
Dentingan lift khusus untuk petinggi perusahaan membuat Farah masuk lebih dulu. Di Dalam lift Farah hanya seorang diri ia menekan nomor dimana ruangan Papanya berada.
Hanya beberapa menit pintu lift kembali terbuka, tanda lantai yang ia tuju sudah sampai.
Setelah keluar dari lift Farah berjalan di koridor menuju ruang yang akan ditujunya
Dari kejauhan Farah sudah melihat Sita — sekertaris Papanya, yang berjalan hendak menghampirinya. Farah melempar senyum pada Wanita yang dua tahun lebih tua darinya itu.
“Bu Farah,” sapa Sita saat keduanya saling bertemu di koridor.
“Mbak sita, Papa adakan?” Tanya Farah. Mereka berjalan beriringan menuju depan ruang kerja Danial.
“Ada Bu, tetapi Pak Danial lagi ada tamu,” jawab Sita.
“Tamu?Siapa Mbak?” Farah penasaran.
“Pak Azzam Bu, dari Moonlight.” Jawab Sita. “Silahkan duduk Bu.” Sita memepersilahkan Farah duduk di sofa depan ruangan Danial yang memang sudah tersedia untuk Tamu.
“Makasih, Tapi aku langsung masuk aja deh Mbak.” Perlahan Farah mendekati pintu Ruang kerja Danial, hendak membukanya tapi Sita menahannya.
Dengan cepat Sita berdiri didepan pintu. “Maaf Bu, tapi tadi pak Danial pesan kalau siapapun tidak boleh masuk, termaksud Bu Farah.” Imbuhnya.
“Ah … kok gitu, emang lagi ngomongin apa sih mereka.” Farah merasa heran . Ia mundur, dan memilih duduk disofa .
“Maaf Bu, saya juga tidak tahu, Pak Danial cuma berpesan seperti itu.”Jelas Sita.
Farah kembali menerka-nerka apa yang sedang Papanya dan Azzam bicarakan, sampai melarangnya untuk masuk.
Cukup lama Farah di sana, bahkan dua gelas jus jeruk yang di buatkan Sita habis tak tersisa.
Terdengar pintu ruangan Danial terbuka, menampilkan dua pria beda generasi sedang, berbincang ringan sembari keluar dari ruangan.
Tatapan mereka tertuju pada Farah yang juga sedang menatap kearah mereka.
“Loh … Fa, disini?” Tanya danial ,
“Hm ,dari tadi Pah, udah lumutan aku nunggunya.” Jawanya dengan wajah cemberut. “Ngomongin apa sih sampai nggak boleh ada yang masuk.” Sambungnya lagi.
Sementara Azzam pria itu hanya menatapnya datar, Tak ada sapaan bahkan seulas senyum di wajahnya.
“Urusan perusahaan sayang.” Jawab Danial ,sembari tanganya merangkul pundak putrinya.
Setelah itu Azzam pun pamit pada Danial, dengan Farah tentu tidak, pria itu hanya melirik sekilas dan berlalu begitu saja melewati Gadis itu.
Setelah kepergian Azzam, Danial mengajak putrinya masuk kedalam.
___
Di dalam Ruangan berlapis kayu mahoni dengan aroma kopi yang samar, suasana terasa tenang membuat betah jika berlama-lama.
Keduanya duduk disofa yang memang tersedia di sana.
“Tumben, kamu main kesini, sayang?” Tanya danial
Farah mengulas senyum. “Ada yang ingin aku bicarain sama Papa.”
Danial berdiri dan berpindah duduk di kursi kerjanya. “Papa juga punya kabar baik Buat kamu.”
Senyum di bibir Farah merekah sempurna. “Aku tebak ya Pah..” Sorot matanya berbinar. “Papa batalin perjodohan itu kan?”
Danial mengangguk, dengan wajah lesu ia mengiyakan ucapan putrinya.” Hm.”
Farah langsung berlari memeluk erat Danial dan memberi ciuman di pipi papanya, serta berucap.” Makasih Pah.” Farah melepas pelukan itu dan duduk di depan meja kerja Papanya.
Dengan wajah lesunya Danial berucap. “Gagal deh Papa punya mantu ganteng, tajir pula.”
“Ish.. apa sih Pah, Farah nggak nikah sama Bang Azzam pun Papa tetap kaya.” Celetuk Farah.
Dengan wajah melasnya Danial berucap.“Iya sih, nggak habis-habis uang Papa, tapi kalau kamu nikah sama Azzam kan harta kita makin banyak sayang, mana bibit unggul si Azzam itu, bisa ganteng dan cantik cucu Papa nantinya.” Imbuhnya.
Farah bergidik membayangkan menikah dengan Pria itu saja ia enggan, apalagi sampai memiliki anak. “Papa, kalau mimpi jangan ketinggian, entar jatoh sakit loh. Kayak sekarang kecewakan.”
Wajah pria paruh baya itu terlihat benar-benar kecewa, ia memang sangat menginginkan Azzam menjadi menantunya.
"Kenapa sih kamu menolak perjodohan dengan Azzam?” Danial masih gigih dengan keinginannya.
Farah memutar bola matanya jengah. "Apa harus Farah jelaskan lagi, Pah? Papa tahu sendiri alasannya."
Danial kembali membujuk putrinya. Ia berharap Farah berubah pikiran. "Papa tahu kamu trauma dengan pernikahan. Tapi kali ini, kalian bisa saling mengenal lebih dekat sebelum memutuskan. Papa cuma ingin yang terbaik untuk kamu, sayang dan Papa yakin Azzam adalah orangnya."
Rahang Farah mulai menegang, sekuat tenaga mencoba menahan agar tidak meledak.
Ia terkekeh sinis, kepalan jari-jarinya memutih.
Lagi-lagi nama itu. Seolah pria itu adalah dewa penolong yang dikirim untuk menyelamatkannya.
"Bang Azzam membenciku, Pah! Dan aku juga tidak ingin menikah! Aku menolak perjodohan ini!" suaranya naik, sangat jelas penolakan disana.
Danial masih bergeming.Atmosfer di ruangan ini mulai mencekam.Seolah siap terbakar kapan saja.
"Dengan siapa pun, Farah akan tetap menolak perjodohan. Farah sudah memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup!" Sambungnya lagi.
Ucapan itu membuat sesuatu di dalam hati Danial retak. Lelaki itu menatap putrinya, mengingat semua luka yang pernah ia torehkan dalam hidup gadis itu. Pernikahannya dengan Rina yang berantakan telah menghancurkan Farah lebih dari yang ia sadari. Gadis kecilnya yang dulu ceria kini penuh amarah dan ketakutan akan pernikahan.
Namun ia tidak bisa membiarkan putrinya terus seperti ini.
Pria itu menghela pelan, kini ia berjalan mendekati putrinya, merangkulnya sembari menenangkan gadis itu. Untuk saat ini ia harus menurunkan egonya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana ia bisa menghapus semua luka lama putrinya yang sudah ia torehkan hingga kini.
“Papa minta maaf sayang,” ucap Danial tulus.
Farah hanya mengangguk.Tak ada kata yang terlontar, masih terlihat jelas raut kecewa disana.
Danial mencoba mencairkan suasana, ia mengajak Farah duduk di sofa agar gadis itu bisa lebih nyaman. Setelah itu ia mengambil beberapa minuman dan cemilan yang memang tersedia di ruangan nya.
“Minum dulu Nak.” Danial menyodorkan sebotol air mineral yang sudah ia buka tutupnya.
Farah menerima pemberian Papanya meneguknya hingga menyisakan setengah.
Danial mengusap pelan kepala sang putri agar gadis itu bisa lebih tenang.
“Oh iya, Katanya tadi ada yang ingin kamu bicarain sama Papa?” Tanya Danial saat melihat gadis itu lebih terkontrol.
Farah mengembungkan pipinya seraya mengangguk. Ia terlihat tegang untuk memulai pembicaraan.
Danial menyadari hal itu dari putrinya. “Kenapa sayang?ngomong aja mungkin Papa bisa bantu.”
Farah terlihat ragu untuk memulai. Apakah pantas ia meminta sesuatu pada Papanya sementara ia baru saja menolak permintaan pria itu.
“Fa …” Danial penasaran.
Farah mengulas senyum samar, tapi senyuman itu hanya topeng kegugupannya. lalu ia berkata.
“Aku … Aku mau izin buat lanjut S2-ku di Venezia Pah.”
Danial bergeming. Sorotnya tajam.
Farah menunduk,ia tak berani menatap Papanya. Atmosfer ruangan itu tiba-tiba terasa sesak, membuatnya sulit mengatur napas.
Hening.Hingga seperkian detik menjadi menit hingga nyaris mencapai setengah jam berlalu.
“Papa tidak izinkan kamu ke Venezia.” Kini Danial membuka suara setelah saling diam.
“Pah …” Farah memelas.
“Kenapa harus Venezia, disini juga banyak kampus-kampus bagus, kalau kamu cuma mau lanjut S2,” tegas Danial.
“Venezia itu mimpi Farah Pah,” mohonnya. “ Disana Farah bisa banyak belajar tentang sejarah.” Sambungnya lagi.
“Papa tetap tidak izinkan kamu pergi sendiri kesana.” Tegas Danial ia bergegas kembali kemeja kerja hendak kembali bekerja.
Farah kini sudah berdiri di depan meja kerja Papanya. “ Aku nggak sendiri Pah, Zira juga melanjutkan S2-nya disana,”
Tidak ada respon dari Pria paruh baya itu, kini ia sudah membuka iPad bersiap untuk kembali bekerja.
“Pah..” Panggil Farah lirih
Danial tidak menggubris,ia hanya fokus pada iPadnya.
Sorot matanya berembun.“Pah.., Please izinin Farah pergi ya..”
Danial menghela pelan, kembali mengalihkan perhatiannya pada gadis itu.
“Untuk yang satu ini Papa tidak bisa mengizinkan. kamu di negeri orang sendiri tanpa mahram Nak, Papa nggak bisa nemenin kamu disana … Papa nggak mau ambil resiko. ” Imbuhnya.
“Aku bisa jaga diri Pah…” bujuk Farah, netranya terlihat berembun.
Danial menggeleng, helaan napasnya terdengar samar.
“Disana kamu nggak cuma seminggu atau dua minggu Nak, bahkan dua atau tiga tahun kamu disana. Mungkin saja lebih.”
“Pah … ini mimpi Farah … tolong ya … izinin Farah pergi.” Kini luruh sudah pertahanannya, cairan bening itu luruh begitu saja. Ia terisak.
Danial terdiam. Isakan Farah, cukup membuat hatinya terenyuh, tapi tetap saja ia tidak ingin mengambil keputusan yang cukup berisiko kedepannya.
Danial berucap pelan.“Kamu boleh pergi …”
seketika Farah menegakan kepalanya, ia usap cairan bening di pipinya, Netranya berbinar ia menatap Papanya dengan sorot bahagia.
Tapi Pria itu hanya menatapnya datar.
Lalu berkata. “Tapi setelah Menikah dengan Azzam.”
Farah membelalak. “Pah …” Ia tidak habis pikir dalam kondisi seperti ini saja Pria itu masih mempertahankan egonya.
Sekelebat tanya melintas di benaknya, menguasai seluruh pikirannya. Mengapa Papanya begitu menginginkan pria itu menjadi pendamping hidupnya?
Danial menatapnya dengan ekspresi dingin. Ia terpaksa mengambil langkah ini. Jika harus memilih antara melepas putrinya sendirian ke luar negeri atau menikahkannya dengan pria yang ia percaya, maka ia akan memilih yang terakhir.
Sebenarnya, jauh sebelum hari ini, Danial sudah tahu tentang rencana Farah melanjutkan S2 ke Venezia. Ia keberatan, sangat keberatan. Tapi ia juga tahu larangannya tidak akan menghentikan gadis itu. Maka ketika Arman, sahabat lamanya sekaligus ayah Azzam, menawarkan perjodohan, Danial setuju. Azzam pria yang baik. Danial yakin ia bisa menjaga Farah.
Farah kembali bersuara, kini wajahnya sudah basah oleh air mata."Pah...." Lirihnya.
Danial mengangkat tangannya, menghentikan protes putrinya. "Keputusan Papa sudah bulat. Jika kamu ingin melanjutkan S2 di Venezia, terima perjodohan ini dan menikah dengan Azzam."
Farah mengepal kuat jari-jarinya hingga memutih. Seringai sinis penuh amarah terlihat disana.. "Aku akan tetap ke Venezia. Dengan atau tanpa restu Papa.”
Tanpa berkata lagi, Farah berbalik dan melangkah hendak membuka pintu tapi suara Danial kembali mengalihkan atensinya.
"Baiklah. Jika itu keputusanmu," jeda pada kalimat Pria itu.
Farah terdiam di tempatnya.
“Lakukan apa yang menurutmu baik ,Farah. Tapi jangan pernah lupakan siapa Papa ini." Sambung Danial.
Deg.
Seketika hati Farah mencelos. Ia tahu betul siapa ayahnya. Danial bukan pria yang bisa dibantah dengan mudah.
***
Jingga sedikit lagi menembus cakrawala, langit berwarna keemasan. Farah berdiri di jembatan dengan baju dan hoodie yang masih basah akibat kehujanan, tubuhnya bersandar di pembatas jembatan, menatap air sungai yang cukup deras di bawah sana.
Sore itu, kendaraan cukup padat. Ibukota terlihat sibuk dengan aktivitas pulang kantor. Suara klakson, deru kendaraan yang melaju pelan memberi warna pada Jakarta yang tak pernah berhenti.
Farah mengarahkan pandangannya ke langit sore sehabis hujan. Ada pelangi di sana, menjulur di antara awan yang tampak semakin gelap. Ia membiarkan angin sore menerpa wajahnya hingga rambutnya bergerak liar oleh sapuan angin yang lembut.
Cukup lama Farah berdiri di sana, membiarkan angin sore menyapu lembut wajahnya. Cahaya matahari yang mulai redup memantulkan kilauan keemasan di permukaan sungai yang mengalir lambat di bawah jembatan ini.
Ucapan Papanya kembali mengiang di kepala.
"Baiklah, lakukan apa yang menurutmu baik, Farah... tapi jangan pernah lupakan siapa papamu ini."
Seperti gema yang berulang, kata-kata itu mengguncang batinnya. Ada sesuatu yang menekan dadanya, sesuatu yang sulit dijabarkan. Entah sebuah peringatan, atau justru ancaman terselubung.
Entah sejak kapan tempat ini menjadi favoritnya. Jembatan ini, dengan besi-besi tuanya yang mulai berkarat, dengan coretan-coretan pilu yang ditinggalkan oleh tangan-tangan yang mungkin memiliki kisahnya sendiri.
Di sinilah, ia bisa bernapas lebih lega. Ia berharap bertemu kembali dengan sosok yang pernah di temuinya lima tahun lalu di tempat ini.
Farah menutup matanya sejenak, membiarkan angin menari di rambutnya.
Mungkin, hanya di tempat ini ia bisa merasa lebih damai. Perlahan, kakinya satu persatu terangkat naik ke pembatas jembatan. Ia berdiri, membentangkan tangannya.Farah menutup matanya sejenak, menikmati angin sore yang semakin kencang menerpa wajahnya.
Cukup lama gadis itu berdiri di sana, hingga sesuatu menarik lengannya.
Farah menoleh, di belakangnya berdiri seorang Pria bersetelan Formal lengkap, tatapanya tajam.
Farah mendengus, ia kenal betul siapa Pria itu —-Azzam
“Turun …” Sentak Azzam.
“Nggak mau.” Tolak Farah mencoba menarik lengannya.
“Turun…” kali ini Azzam menarik lebih keras.
Dengan malas Farah turun dari pembatas jembatan. Kini mereka saling berhadapan
"Saya tidak tau seberat apa masalahmu.Setidaknya kamu punya banyak cara untuk menyelesaikannya . Bukan mengakhiri hidup seperti ini." Sarkas Azzam.
Mata dan mulut Farah membulat sempurna. "Siapa juga yang mau bunuh diri? Aku lagi menikmati angin sore!" jawabnya, sedikit kesal.
Azzam mendecit kesal. “Nggak usah naik-naik juga, kan? Siapa pun yang lihat kamu pasti mikirnya sama—nyusahin orang aja,” ujarnya dengan nada jengkel.
"Eh, nyusahin orang?" sahut Farah dengan nada sinis. "Emang yang nyuruh kamu kesini siapa? Bukan aku kan?" Sindir Farah.
“Terserah kamu. Sana, lompat.” Nada suara Pria itu datar. Tanpa menunggu reaksi Gadis itu, Azzam berbalik dan berjalan menuju mobilnya.
Farah mencibir kesal.
Sedetik kemudian, ia berlari mengejar Azzam hingga menarik lengan pria itu. Azzam, yang tengah hendak membuka pintu mobilnya, sontak menoleh dengan ekspresi terkejut.
“Kita nikah ya …” Ucap Farah sembari menaik turunkan kedua alisnya.
“Hah__
***
Jangan lupa tinggalin jejak ya...
Like, komen dan subscribe.
follow juga Authornya.
Kamshammida