Ariel tak menyangka pernikahannya dengan Luna, wanita yang sangat dicintainya, hanya seumur jagung.
Segalanya berubah kala Luna mengetahui bahwa adiknya dipersunting oleh pria kaya raya. Sejak saat itu ia menjelma menjadi sosok yang penuh tuntutan, abai pada kemampuan Ariel.
Rasa iri dengki dan tak mau tersaingi seolah membutakan hati Luna. Ariel lelah, cinta terkikis oleh materialisme. Rumah tangga yang diimpikan retak, tergerus ambisi Luna.
Mampukah Ariel bertahan ataukah perpisahan menjadi jalan terbaik bagi mereka?
Ikuti kisah mereka hanya di sini;👇
"Setelah Kita Berpisah" karya Moms TZ bukan yang lain.
WARNING!!!
cerita ini buat yang mau-mau aja ya, gaes.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6#. Masihkah ada harapan?
Seseorang menghampiri Ariel. Dia adalah Pak Ridwan pemilik warung kopi tersebut, seorang yang ramah dan bijaksana.
"Sendirian saja, Mas?" tanyanya ramah seraya menepuk pundak Ariel.
Ariel menoleh dan mengangkat kepalanya dan lalu mengangguk pelan. "Iya, Pak," jawabnya singkat.
"Kelihatannya lagi banyak pikiran ya, Mas?" tanya Pak Ridwan lagi. "Kalau butuh teman buat cerita, saya siap jadi pendengar. Syukur-syukur saya bisa bantu."
Ariel tersenyum, tetapi dia tak berniat menceritakan tentang masalahnya, walaupun sebenarnya dia merasa butuh seseorang untuk diajak bicara. Dia terdiam sejenak. Menimbang-nimbang apakah harus bercerita atau tidak. Hingga akhirnya. "Hanya masalah kecil, Pak. Salah paham, saya rasa itu hal biasa."
Pak Ridwan menatap Ariel. Pria paruh baya itu bisa melihat bahwa Ariel sedang tidak baik-baik saja, tetapi dia tidak berhak memaksa seseorang untuk menceritakan masalahnya kepada dirinya.
Pak Ridwan mengerti, dan dia pun hanya memberi nasehat sedikit. "Ya, memang benar, Mas. Salah paham itu bumbu dalam rumah tangga. Tapi jangan sampai salah paham itu menjadi bom waktu yang kapan saja bisa meledak," ujar Pak Ridwan sambil terkekeh pelan.
"Yang penting komunikasi, Mas. Bicarakan baik-baik, cari jalan tengahnya. Jangan membiarkan masalah kecil jadi besar karena ego masing-masing," sambungnya dengan bijak.
Ariel hanya tersenyum tipis, "Terima kasih nasehatnya, Pak," kata Ariel, lantas kembali menyesap kopinya, mencoba menenangkan pikirannya.
Pak Ridwan mengerti bahwa Ariel mungkin bukan tipe pria yang dengan mudah menceritakan masalah pribadinya pada orang lain. "Ya sudah, Mas. Saya tinggal dulu, ya. Kalau butuh apa-apa, panggil saja," ujarnya sambil tersenyum, lalu kembali menepuk pundak Ariel pelan, kemudian beranjak pergi.
Ariel mengangguk pelan, lalu kembali terlarut dalam pikirannya. Dia memandangi jalanan yang mulai sepi, lampu-lampu jalanan memantulkan cahaya di aspal yang basah setelah hujan sore tadi.
Dia kembali teringat pada Luna, Wajahnya yang ketus dan kata-kata yang menyakitkan. Ariel bertanya-tanya, apakah dirinya sudah salah memilih pasangan? Apakah kebahagiaan yang diimpikannya bersama Luna hanyalah ilusi belaka?
Semakin lama, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya, tanpa ada jawaban yang pasti. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
Ariel menghabiskan kopinya, lalu berdiri dan membayar. Dia memutuskan untuk pulang, meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setidaknya, dia akan mencoba untuk berbicara dengan Luna, mencari solusi terbaik untuk rumah tangga mereka.
Di dalam hatinya yang terdalam, Ariel sangat mencintai Luna. Dia bahkan rela melawan restu orangtuanya demi bisa hidup bersama dengan wanitanya. "Aku harus meminta maaf padanya. Aku yakin Luna akan luluh dan bisa merubah menjadi lebih baik," gumamnya dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.
*
Sesampainya di rumah, Ariel mendapati Luna baru saja selesai mengepak pakaian dan barang-barang lainnya ke dalam koper yang akan dibawanya. Ia tampak sangat fokus sehingga tidak menyadari kedatangan Ariel.
"Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Ariel, memecah kesunyian.
Luna menoleh, menatap Ariel sekilas, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. "Apa kamu lupa, kalau kantorku ngadain acara gathering?" jawabnya dengan nada datar.
Ariel menghela napas. "Aku nggak lupa. Tapi, bisa kita bicara sebentar?" pintanya.
Luna menghentikan gerakannya, lalu menatap Ariel dengan tatapan dingin. "Bicara apa lagi, Mas? Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan," jawabnya ketus.
"Ada, Sayang. Ini tentang kita. Aku minta maaf, soal tadi," kata Ariel, berusaha meraih tangan Luna.
Luna menarik tangannya, ia menatap kembali Ariel dengan pandangan tak terbaca. "Kalau kamu masih ingin ada tentang 'kita', harusnya kamu mengerti apa mauku, Mas," ujarnya.
"Aku ingin kamu menepati janjimu, dan bukan hanya pepesan kosong. Aku memilihmu karena aku pikir kamu bisa memberiku kebahagiaan, memenuhi semua kebutuhan aku... tapi ternyata aku salah. Kamu sama saja seperti laki-laki lain, bisanya cuma janji manis," lanjut Luna, dengan nada sinis.
Ariel terdiam. Dia merasa tertohok oleh kata-kata Luna. Dia memang merasa belum bisa memenuhi semua keinginan Luna, tetapi dia selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik.
"Aku tahu belum bisa menjadi sempurna, Sayang. Tapi aku janji, aku akan berusaha lebih keras lagi. Aku akan melakukan apa saja untuk membuat kamu bahagia," kata Ariel, dengan nada memohon.
Luna tertawa sinis. "Terlambat, Mas. Aku sudah capek menunggu. Aku sudah lelah dengan semua janji-janji kamu. Aku butuh bukti, bukan cuma omong kosong!"
"Aku tahu gathering ini penting buat kamu. Aku nggak akan ganggu kamu. Tapi, setelah acara ini selesai, bisakah kita seperti dulu....?" tanya Ariel, dengan harapan yang masih tersisa.
Luna menatap Ariel dengan tatapan dingin. "Tergantung. Kalau aku dapat apa yang aku inginkan di gathering ini, mungkin aku akan mempertimbangkannya. Tapi, kalau nggak...." Luna menggantungkan kalimatnya, memberikan tatapan yang sulit diartikan.
Ariel menelan ludah. Ia merasa takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
*
Pagi harinya, Luna berangkat pagi-pagi sekali bahkan di saat Ariel belum bangun dari tidurnya. Namun, itu tidak menghalangi niat Luna untuk tetap pergi.
"Aku pergi dulu," kata Luna, mencium kening Ariel sekilas, lalu berjalan menuju pintu dan keluar dari kamar.
Ariel membuka mata, lantas bangkit dari tidurnya, lalu berusaha mengejar istrinya, sayangnya Luna sudah pergi dengan taksi yang dipesannya. Ariel hanya bisa menatap kepergian Luna dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti orang bodoh yang telah dibutakan oleh cinta.
Setelah Luna pergi, Ariel terduduk lemas di sofa. Dia memijat pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya. Dia merasa sangat lelah dan putus asa. "Apa yang bisa aku lakukan ya, Tuhan? Masihkah ada harapan?" gumamnya dalam hati, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Ariel memandangi sekeliling rumahnya. Rumah yang dulu terasa hangat dan penuh cinta, kini terasa dingin dan kosong. Dia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Dia teringat kembali semua kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama. Bagaimana saat pertama kali mereka bertemu, saat menikah, dan membangun rumah tangga bersama.
Air mata mulai menetes membasahi pipinya. Ariel tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Luna.
"Aku sangat mencintaimu, Luna. Tapi kenapa kamu berubah?" bisiknya lirih, dengan suara yang bergetar.
Ariel terdiam, membiarkan air matanya terus mengalir. Dia merasa tidak berdaya dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia hanya bisa berharap, semoga setelah acara gathering itu tidak mengubah Luna menjadi sosok yang semakin jauh darinya.
Namun, apakah harapan Ariel sesuai kenyataan yang akan di hadapinya?
.
.
.
Jangan lupa like dan komennya ya gaes 🤗
tapi seru 😂👍