"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: MALAM PEMBALASAN
Pukul 03:00 pagi. Mansion Adipati Guntur.
Alex berdiri di luar pagar tinggi mansion mewah itu—tiga lantai, taman luas, pagar besi dengan penjaga bersenjata.
Michael ada di mobilnya, berkomunikasi via earpiece.
"Enam penjaga keliling. Dua di gerbang depan. Sistem CCTV aktif. Tapi aku sudah hack—sekarang mereka lihat rekaman loop," kata Michael.
"Adipati Guntur di mana?" tanya Alex sambil memuat pistolnya.
"Ruang kerjanya, lantai dua. Sendirian. Ini kesempatanmu."
Alex melompati pagar dengan mudah—tujuh tahun latihan membuat tubuhnya seperti bayangan.
Dua penjaga pertama—Alex patahkan leher mereka tanpa suara.
Empat penjaga berikutnya—satu peluru per kepala, peredam suara membuatnya hanya berbunyi seperti batuk pelan.
Alex masuk mansion, naik tangga marmer—lukisan mahal di dinding, karpet mewah, lampu kristal. Semua dibeli dengan darah rakyat.
Pintu ruang kerja terkunci.
Alex menendangnya—BRAK—pintu terbuka.
Di dalam, Adipati Guntur duduk di mejanya, membaca dokumen. Pria berusia enam puluh tahun dengan rambut putih rapi, jas mahal, wajah yang terlihat... lelah.
Ia mengangkat kepalanya perlahan, melihat Alex dengan pistol di tangan.
Tidak ada ekspresi kaget. Seolah ia sudah menunggu ini.
"Jadi... akhirnya ada yang datang," kata Adipati dengan suara tenang—terlalu tenang untuk orang yang akan mati.
Alex melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya.
"Kau... anak wartawan itu?" tanya Adipati, matanya menyipit, mencoba mengingat. "Jonathan Rafael?"
"Kau ingat?" desis Alex, pistolnya mengarah ke kepala Adipati. "Atau aku hanya salah satu dari ratusan keluarga yang kau hancurkan?"
Adipati tersenyum pahit. "Ratusan. Mungkin lebih. Aku sudah lupa menghitung."
Ia berdiri perlahan, tangan terangkat—tidak mencoba melawan.
"Ayahmu... idealis. Pikir dia bisa ubah sistem. Pikir kebenaran akan menang."
"Sistem?" Alex melangkah lebih dekat. "Ini bukan sistem. Ini pembantaian. Kau membunuh ibuku, adikku yang sepuluh tahun. Kau memperkos* mereka lalu bakar mereka hidup-hidup."
Untuk pertama kalinya, ada retakan di wajah Adipati—penyesalan yang terlihat nyata.
"Aku... aku tidak perintahkan itu. Aku hanya bilang 'pastikan Jonathan Rafael tidak bisa publish artikel'. Aku tidak tahu mereka akan—"
"BOHONG!" Alex menembak—peluru menembus bahu Adipati.
Adipati jatuh, merintih kesakitan.
"Kau tahu! Kau selalu tahu! Setiap kali kau kirim orang untuk 'bersihkan' masalah, kau tahu apa yang akan mereka lakukan!"
Alex berjongkok, menekan pistolnya ke dahi Adipati.
"Ibuku diperkos* lima orang lalu dibakar. Adikku yang polos diperkos* tiga orang lalu tenggorokannya dipotong. Ayahku dipaksa menonton semuanya sebelum ditembak di kepala. Dan aku... aku mendengar semuanya dari dalam lemari."
Air mata jatuh—untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun.
"Setiap malam aku dengar suara Elena teriak minta tolong. Setiap malam!"
Adipati menatapnya—ada air mata di mata lelaki tua itu.
"Maafkan aku," bisiknya. "Aku... aku tahu itu tidak cukup. Tapi maafkan aku."
"Maaf tidak mengembalikan mereka."
Alex berdiri, mundur selangkah.
"Aku punya anak perempuan juga," kata Adipati tiba-tiba. "Umur dua puluh empat tahun. Namanya Chelsea."
Alex membeku.
"Aku tidak pernah bisa mencintainya dengan benar. Karena setiap kali aku lihat wajahnya, aku ingat semua dosa yang aku lakukan. Aku tidak pantas jadi ayah."
Adipati tersenyum sedih. "Jadi bunuhlah aku. Aku sudah lelah hidup dengan dosa ini."
Alex mengangkat pistolnya—tangan gemetar.
Ini yang ia tunggu delapan tahun.
Tapi kenapa dadanya terasa sesak?
"Ini... ini untuk Papa, Mama, Elena."
BANG!
Peluru menembus kepala Adipati Guntur.
Tubuhnya jatuh—mata terbuka, darah menggenang.
Mati.
Tapi Alex tidak merasa apa-apa.
Tidak ada kepuasan.
Tidak ada lega.
Hanya... kosong.