Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Rasa Yang Belum Padam
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Hujan akhirnya turun malam itu — deras dan tak terduga.
Ardan baru tiba di rumah ketika jarum jam hampir menyentuh pukul sebelas.
Sepatunya basah, rambutnya sedikit lembap, dan pikirannya… kacau.
Di ruang tamu yang setengah gelap, hanya cahaya dari lampu dinding yang menyala lembut. Nayara masih terjaga, duduk di sofa dengan selimut di pangkuan. Tatapannya langsung terarah ke suaminya yang baru datang.
“Baru pulang?” tanyanya pelan, suaranya lembut tapi lelah.
Ardan mengangguk sambil melepas jasnya. “Macet. Acaranya molor.”
“Udah makan?”
“Udah, di sana.”
Hanya itu. Sederhana, singkat, seperti percakapan dua orang yang tahu banyak hal tapi memilih tidak menyentuhnya.
Nayara menatapnya lama. Ada sesuatu di cara Ardan berbicara—bukan nada, tapi nada di balik nada itu.
Dingin. Berjarak.
Dan anehnya, bukan karena lelah, tapi seperti seseorang yang pikirannya masih tertinggal di tempat lain.
Ia mencoba tersenyum, “Kamu capek banget, ya? Mau aku ambilin teh?”
Ardan menggeleng. “Nggak usah. Aku langsung mandi aja.”
Selesai berkata begitu, ia berjalan melewati Nayara tanpa menatapnya lebih lama.
Tapi ketika langkah itu terdengar menjauh di lorong, Nayara menunduk.
Dalam diam, air matanya menetes tanpa ia tahu alasan pasti.
Ia hanya merasa… kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Kamar mandi dipenuhi uap hangat. Ardan berdiri di bawah pancuran, menatap kosong dinding keramik.
Tetes air membasahi wajahnya, namun pikirannya jauh—terpaut pada satu tatapan yang tak seharusnya ia ingat lagi.
Mira.
Ia memejamkan mata, tapi bayangan perempuan itu muncul jelas di kepalanya:
gaun hitamnya, senyum samar di sudut bibir, dan caranya mengucapkan namanya dengan lembut seperti dulu.
“Aku masih di kota ini. Kalau semesta mau, kita pasti bertemu lagi.”
Kata-kata itu seperti gema yang terus berputar di pikirannya, menembus tembok kesadaran.
Ia menepuk wajahnya keras, berusaha menepis pikiran bodoh itu. Tapi semakin ditepis, semakin terasa nyata.
Ketika ia keluar dari kamar mandi, Nayara sudah tertidur di sisi tempat tidur—atau setidaknya berpura-pura.
Ia berbaring pelan di sampingnya, menatap punggung perempuan yang telah bersamanya selama delapan tahun.
Wajah itu begitu damai dalam gelap, tapi entah kenapa malam ini, Ardan merasa jarak di antara mereka seperti jurang yang tak bisa dijembatani.
Ia ingin mengulurkan tangan, memeluknya dari belakang.
Tapi tangan itu tak bergerak.
Karena hatinya… sudah goyah.
Keesokan paginya, rumah terasa sunyi.
Nayara menyiapkan sarapan seperti biasa: telur orak-arik, roti panggang, kopi hitam. Ia sudah hafal kebiasaan suaminya, bahkan tahu persis berapa banyak gula yang harus dimasukkan. Tapi pagi ini, Ardan tampak terburu-buru.
“Kamu ada meeting pagi?” tanya Nayara sambil menaruh piring di meja.
Ardan menatap jam tangannya. “Iya. Kayaknya agak lama, jadi jangan tungguin makan malam, ya.”
“Begitu, ya.”
Nayara berusaha tersenyum, meski hatinya dingin.
Suaminya tak pernah lupa sarapan dulu. Tapi sekarang, bahkan matanya tak sempat menatapnya lama.
“Dan…” Nayara memanggil lirih sebelum ia pergi.
Ardan berhenti sejenak, menatapnya. “Hm?”
“Kalau kamu capek… aku selalu di sini, ya.”
Ucapan sederhana itu justru membuat dada Ardan sesak. Ada sesuatu dalam tatapan Nayara yang membuatnya merasa bersalah—dan semakin ingin menjauh.
Ia hanya mengangguk singkat, lalu pergi.
Hari itu di kantor, Ardan tak bisa fokus. Ia menatap layar laptop berisi laporan proyek, tapi pikirannya melayang.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Mira: “Aku tadi lewat depan kantor kamu. Masih di tempat yang sama, ya. Dunia kecil sekali.”
Ardan menatap layar itu lama. Ia seharusnya tak membalas.
Ia tahu, cukup satu kata, satu respon—dan masa lalunya akan masuk lagi ke hidupnya.
Tapi jarinya bergerak sendiri.
Ardan: “Iya. Dunia memang kecil.”
Mira: “Atau mungkin… semesta memang lagi main-main.”
Ardan menarik napas dalam.
Ia mengetik balasan, tapi menghapusnya lagi. Namun rasa penasaran itu tumbuh pelan-pelan, seperti bara kecil di dasar abu.
Sore menjelang malam, Ardan kembali ke rumah lebih lambat dari biasanya.
Nayara sedang di dapur, menyiapkan makan malam. Ia mendengar suara mobil suaminya di halaman, dan jantungnya berdebar tanpa alasan.
Saat Ardan masuk, ia tampak sedikit berbeda. Entah lebih rapi, entah lebih hidup.
Tapi yang Nayara rasakan justru: jaraknya semakin jauh.
“Dapat proyek baru?” tanyanya mencoba hangat.
Ardan tersenyum kecil. “Lumayan. Ada kerja sama potensial dengan grup perusahaan besar. Kayaknya mereka mau ajak joint project.”
“Serius? Wah, seneng banget dengarnya. Siapa, Dan?”
“Lestari Group,” jawabnya cepat, hampir tanpa berpikir.
Nayara terdiam.
Nama itu… terdengar tak asing.
“Lestari? Yang… direkturnya perempuan muda itu?” tanyanya hati-hati.
Ardan berhenti mengunyah, lalu menjawab datar, “Iya. Mira Lestari.”
Sekejap saja, udara di antara mereka berubah. Bukan karena suara keras, bukan karena pertengkaran—tapi karena keheningan yang menggigit.
Nayara hanya menatap suaminya dalam diam, dan di matanya mulai muncul bayangan kecurigaan yang ia coba tolak sejak malam gala itu.
“Oh,” katanya pelan. “Jadi kamu… bakal sering ketemu dia, ya?”
Ardan meletakkan sendok. “Itu cuma urusan kerja, Nay. Jangan mikir aneh-aneh.”
“Tapi kamu kelihatan beda sejak acara itu.”
“Beda gimana?”
“Entahlah. Kamu… lebih jauh. Seperti sedang di tempat lain, bahkan waktu di rumah.”
Ardan terdiam lama, lalu menarik napas berat. “Nay, aku cuma capek. Jangan cari makna yang nggak ada.”
Tapi suaranya terdengar seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu.
Nayara tahu. Ia selalu tahu.
Malam itu, setelah Ardan tertidur lebih dulu, Nayara duduk sendirian di balkon kamar. Angin malam dingin menyentuh kulitnya, tapi pikirannya jauh lebih dingin dari itu.
Ia menggenggam cangkir teh yang mulai kehilangan panasnya.
Hatinya mulai penuh dengan pertanyaan yang tak bisa ia jawab.
Ia masih percaya, tapi kepercayaannya mulai retak di tepinya.
Dan entah kenapa, di antara suara jangkrik dan desiran hujan yang kembali turun, ia merasa sedang berdiri di tepi jurang — sementara suaminya, tanpa sadar, sudah melangkah beberapa langkah ke depan.
Di tempat lain, Mira berdiri di depan jendela kamarnya, menatap lampu kota.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Ardan: “Besok kita bahas soal proyek itu. Aku free jam dua.”
Mira tersenyum samar, lalu meletakkan ponselnya di meja.
Ia menatap bayangannya di kaca — wajah perempuan yang dulu kalah, kini berdiri di atas panggung baru.
“Selamat datang kembali, Ardan,” bisiknya pelan.
“Permainan baru sudah dimulai.”
Bersambung....