Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Alena or Arum?
Aroma kopi hitam dan roti panggang seharusnya memenuhi ruang makan besar keluarga Argantara dengan kehangatan. Namun yang terasa hanyalah dingin, dingin yang berasal dari tatapan-tatapan tajam, dari kata-kata yang tak pernah diucapkan tapi terasa menggantung di udara.
Meja makan panjang dengan taplak putih dan vas mawar merah di tengahnya tampak begitu rapi dan mewah. Pelayan berdiri di sisi dinding, siap melayani, tapi tak satu pun berani bersuara.
Arum duduk di samping Reghan, menjaga jarak yang sopan. Dia menunduk, sibuk dengan piringnya, mencoba tidak memperhatikan suasana tegang di sekeliling.
Sementara di seberangnya, Alena duduk di sisi Elion tangan mereka bersentuhan, namun pandangan mata Alena bukan untuk Elion, melainkan untuk Reghan. Tatapan itu dingin, tapi penuh gejolak. Dia seperti berusaha mencari sesuatu di wajah Reghan mungkin perhatian, mungkin sisa rasa yang dulu pernah ada. Namun pria itu tak menoleh sedikit pun, hanya sibuk dengan sendok sup di tangannya.
Alena lalu melirik Arum. Senyum tipis terukir di bibirnya senyum yang lebih mirip ejekan. Arum sempat mengangkat wajah, membalas senyum itu dengan sopan. Tapi balasan Alena hanyalah helaan napas malas dan tatapan merendahkan. Keheningan itu akhirnya pecah ketika suara berat Tuan Argantara menggema di ujung meja.
“Sebelum kalian semua pergi, ada hal yang ingin aku bicarakan.”
Maya menegakkan duduknya, Elion mengangkat kepala, sementara Reghan hanya diam, rahangnya mengeras. Tuan Argantara meletakkan sendoknya, menatap ke arah Reghan dan Elion bergantian.
“Perusahaan kita sedang dalam masa penting. Aku tidak bisa terus menunggu pemulihanmu, Reghan,” katanya pelan namun tajam. “Untuk sementara waktu, aku memutuskan menunjuk Elion menggantikan posisimu sebagai CEO.”
Suara sendok Reghan terhenti di udara, ruangan mendadak hening. Elion menunduk pura-pura sopan, tapi senyum tipis di sudut bibirnya tak bisa disembunyikan. Maya menatap suaminya dengan ekspresi yang sulit ditebak antara puas dan khawatir.
Sementara Alena, yang duduk di samping Elion, hanya memandang Reghan dengan tatapan yang samar-samar seperti ingin tahu reaksi yang akan muncul. Reghan perlahan menatap ayahnya.
“Jadi, begitu mudahnya janji itu dilupakan?” suaranya pelan, tapi dingin dan tajam. “Dulu, Ayah sendiri yang bilang … apa pun yang terjadi, perusahaan itu akan tetap di tanganku.”
Tuan Argantara menatapnya dengan ekspresi datar. “Kau tidak bisa memimpin dari kursi roda, Reghan. Perusahaan butuh pemimpin yang kuat, bukan seseorang yang terus terjebak masa lalu.”
Nada itu, bagi Reghan, terdengar seperti cambuk di wajahnya sendiri. Tangan kirinya mengepal, sendok sup di tangan kanannya bergetar keras.
“Jadi ini maksud kalian?” gumamnya dengan suara berat. “Menghapusku perlahan, satu per satu, mulai dari meja ini?”
Oma Hartati yang duduk di sisi kiri Arum mulai menegakkan tubuhnya. “Argantara, tidak seharusnya hal seperti ini dibahas saat sarapan,” katanya tegas. “Kau tahu betapa sensitifnya hal ini bagi Reghan.”
Namun sudah terlambat, Reghan mengangkat tangan, dan dalam satu gerakan tiba-tiba, mangkuk sup ayam di depannya terlempar ke lantai. Cairan panas tumpah, piring-piring berderak, suara benturan memenuhi ruangan. Semua pelayan terpaku, Maya menjerit pelan. Alena justru tersenyum, senyum tipis, penuh kepuasan. Arum terlonjak, segera mendekat.
“Tuan, tolong tenangkan diri dulu,” bisik Arum lirih, mencoba menahan tangan Reghan yang bergetar di atas meja. Namun tatapan mata pria itu dingin, sangat dingin sehingga membuat darah Arum seolah berhenti mengalir.
“Jangan sentuh aku.” Suaranya datar, tapi tajam, seperti pisau. Arum sontak menunduk, melepaskan genggamannya perlahan.
Reghan menatap ayahnya dengan napas tersengal. “Jadi, semua ini rencana kalian? Meniadakan aku pelan-pelan, menjadikanku tamu di rumah sendiri?”
Tuan Argantara tidak menjawab. Hanya diam, dan itu jauh lebih menyakitkan daripada kata apa pun. Maya berdeham pelan, berusaha mencairkan suasana.
“Kau tidak perlu berpikir sejauh itu, Reghan. Elion hanya sementara menggantikanmu. Kau harusnya berterima kasih karena adikmu bersedia membantu.”
Nada lembutnya terdengar menenangkan di permukaan, tapi di telinga Reghan, itu hanyalah racun yang dibungkus madu.
Elion tersenyum kecil, berusaha tampak tulus. “Benar, Kak. Aku hanya ingin membantu. Semua orang tahu kau lebih berpengalaman, tapi sementara kau fokus pemulihan...”
“Diam!”
Bentakan Reghan memecah udara. Tangan kirinya menghantam meja hingga gelas bergetar. Arum refleks menarik tangannya ke pangkuan, jantungnya berdegup kencang. Suasana membeku, tak seorang pun berani bergerak. Hanya Oma Hartati yang bersuara, tenang tapi tegas.
“Cukup, Argantara, aku mohon, jangan bahas hal ini lagi. Aku tidak ingin melihat cucuku kehilangan harga dirinya di depan banyak orang.”
Tatapan tajam wanita tua itu menembus ke arah Tuan Argantara. Tuan Argantara akhirnya menunduk sedikit, mencoba mengendalikan situasi.
“Baiklah, kita bicarakan nanti di ruang kerja.”
Tapi Reghan sudah lebih dulu menggerakkan kursi rodanya, menabrak kaki meja tanpa peduli, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
“Reghan!” panggil Oma Hartati dengan nada cemas.
Arum yang duduk di sampingnya langsung berdiri, mengikuti pria itu.
“Arum, biarkan saja,” kata Maya, suaranya tenang tapi matanya menyipit sinis. “Dia hanya butuh waktu sendiri.”
Namun Arum tidak mendengarkan. Ia sudah melangkah cepat, mengejar Reghan yang meluncur ke arah taman belakang dengan wajah kelam. Begitu mereka berdua menghilang di balik pintu kaca, Alena bersandar di kursinya, senyum samar muncul di bibirnya. Dia menyendok sedikit sup yang tersisa, lalu menatap ke arah pintu keluar itu lama.
“Elion,” katanya pelan, “kau yakin dia hanya butuh waktu?”
Elion menoleh, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Kau tak perlu mencemaskan Reghan. Tapi jangan coba-coba bermain api di depannya.”
Senyum Alena melebar, penuh arti. “Kau lupa, aku pernah terbakar olehnya.”
Oma Hartati memejamkan mata, menahan napas panjang. Ia tahu, pagi ini hanyalah awal dari badai besar yang belum reda. Sementara di taman belakang, Arum menemukan Reghan berhenti di bawah pohon kamboja tua. Pria itu memandangi bunga-bunga putih yang gugur di tanah, bahunya tegang, matanya gelap.
“Reghan…” panggil Arum pelan.
Pria itu tak menoleh.
“Pergilah,” ucapnya dingin. “Kau tidak perlu pura-pura peduli.”
“Aku tidak pura-pura,” jawab Arum lembut. “Aku hanya tidak ingin orang-orang melihatmu hancur.”
Kata itu membuat Reghan menoleh, menatapnya dengan pandangan tajam yang bergetar di tepi emosi. “Aku sudah hancur sejak lama, Arum. Dan kau … hanya bagian dari reruntuhannya.”
Arum terdiam, angin pagi meniup rambutnya, membuat helai-helai hitam itu menari di depan wajah. Ia tahu, cinta tak bisa tumbuh dari luka yang belum sembuh. Tapi di balik kemarahan Reghan, ia juga merasakan sesuatu yang lain sebuah kesepian yang sangat dalam, seperti jiwa yang terperangkap di antara harga diri dan rasa sakit.
Dengan suara nyaris berbisik, Arum berkata,
“Kalau begitu, biarkan aku bantu kau berdiri … meski hanya satu langkah.”
Reghan menunduk, tidak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, tangannya yang dingin tak menepis tangan Arum ketika menyentuh bahunya. Dari kejauhan, Alena yang berdiri di balkon lantai dua memandangi mereka dengan mata berkilat. Dan senyum di wajahnya perlahan memudar, berganti dengan tatapan iri yang menusuk.