Elma merasa, dirinya bukan lagi wanita baik, sejak sang suami menceraikannya.
Tidur dengan pria yang bukan suaminya, membuat Elma mengandung benih dari atasannya yang seorang playboy, Sean Andreas. Namun, Sean menolak bertanggung jawab dengan alasan mereka melakukannya atas dasar suka sama suka.
Beberapa bulan kemudian Elma melahirkan bayi perempuan dengan kelainan jantung, bayi tersebut hanya bisa bertahan hingga berusia satu tahun.
Disaat Elma menangisi bayi malangnya, Sean justru menyambut kehadiran seorang bayi dari rahim istrinya, sayangnya istri Sean tak bisa bertahan.
Duka karena kehilangan anak, membuat Elma menjadi wanita pendendam. Jika ia menangisi anak yang tak pernah diinginkan papanya, maka Sean juga harus menangisi anak yang baru saja dilahirkan istrinya.
Apa yang akan Elma lakukan pada anak Sean?
Tegakah Elma menyakiti bayi malang yang baru saja kehilangan Ibunya?
Bagaimanakah hubungan Elma dan Sean selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Donor ASI
#5
Dua hari kemudian, masih di rumah sakit yang sama tapi ruangan berbeda.
“Bu, Ibu sudah bangun?” Pertanyaan Suster Nia langsung terdengar, begitu Elma membuka kedua matanya.
Elma masih berusaha menyesuaikan pandangan matanya yang masih tertutup kabut, “Suster Nia, di mana aku?” tanya Elma dengan suara nyaris berbisik.
“Ibu— di ruang perawatan.” Jawaban Suster Nia terdengar ragu-ragu.
Elma terus berusaha mengumpulkan kembali kepingan ingatannya, ingatannya berhenti ketika ia berteriak dan meraung di depan ruang ICU setelah mendengar penuturan dokter. “Evelyn!” Elma langsung duduk tegak, kepalanya berputar karena ia bangun secara tiba-tiba.
“Bu, ikhlaskan Eve, ya.”
“Mana anakku?” tanya Elma, wajahnya masih pucat dengan kepala yang pening berputar, tapi ia tak menghiraukan kondisinya, justru langsung menanyakan dimana anaknya.
“Proses pemakamannya berlangsung kemarin,” ujar seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruang perawatan Elma.
“A-Apa?” ranya Elma lemah dengan suara terbata. “Kenapa Ibu buru-buru memakamkannya? Aku Ibunya, kenapa tak meminta persetujuanku dulu?!” jerit Elma marah pada Bu Kartika.
“Ibu pingsan selama 2 hari.” Suster Nia menambahkan, agar Elma tak lagi menyalahkan Bu Kartika.
Elma memegang kedua bahu Suster Nia. “Bohong! Kamu bohong, kan? Kamu sudah pastikan Eve benar-benar meninggal?”
“Sudah, Bu.”
Elma meraung, “Huaaaaa!! Kenapa kalian buru-buru memakamkan bayiku? Hah! Bagaimana bila jantungnya kembali berdetak, huaaaaa— bayiku yang malang,” raung Elma dengan tubuh kembali lemas tak bertenaga.
“Aku bahkan belum melihatnya untuk yang terakhir kali.”
Bu Kartika melangkah cepat menghampiri Elma, wanita itu mencengkeram dagu Elma.
“Jangan jadi lemah hanya karena anakmu meninggal! Hal baik yang kini harus kamu lakukan adalah, jalani hidupmu kembali, karena anakmu sudah menyelesaikan takdir hidupnya! Allah menyayangi anakmu, tak ingin dia merasakan derita lebih lama lagi, karena itulah Dia memanggil anakmu kembali,” tutur Bu Kartika tegas.
“Tapi dia masih sangat kecil, Bu. Kenapa Tuhan tak memanggilku saja,” rintih Elma putus asa.
“Karena Tuhan masih ingin melihatmu bertaubat, melihatmu berjuang memperbaiki masa lalumu yang suram,” imbuh Bu kartika.
“Hua … Ibu, maafkan aku, aku pasti sudah banyak menyusahkan Ibu selama ini.” Elma memeluk erat Bu Kartika, memohon maaf atas semua perbuatannya yang sudah membuat malu keluarga.
“Ibu sudah memaafkan, Ibu senang, karena kamu menyadari semua kesalahanmu, bahkan bertanggung jawab penuh atas anakmu. Sekarang fokus untuk melanjutkan hidup, dan terus berbuat kebaikan dimuka bumi.”
Ibu dan anak itu saling berpelukan dalam tangis, Suster Nia dan Alya pun ikut menangis karena tahu betapa kerasnya perjuangan Elma dalam membesarkan Eve seorang diri. Elma punya kesempatan untuk menggugurkan kandungannya, tapi Elma tak mau melakukannya, tak lari dari tanggung jawabnya sebagai ibu.
•••
Keesokan harinya.
Elma merasakan kedua dadanya penuh dengan ASI yang seharusnya menjadi nutrisi untuk Eve, sayang sekali jika harus dikeluarkan dan pada akhirnya hanya akan dibuang ke selokan.
Elma terisak sendiri di ruang perawatannya, Ibu dan adiknya pulang, karena mereka harus buka toko, jadi Elma berada di rumah sakit bersama Suster Nia, sampai dokter mengizinkannya pulang.
“Bu, kenapa?” tanya Suter Nia, wanita itu baru selesai mengurus administrasi.
“Suster, apa yang harus kulakukan dengan ini?” Elma memperlihatkan bagian depan tubuhnya yang sudah basah, karena ASI yang terus mengucur.
“Dipompa saja, Bu. Biar tidak nyeri.” Suster Nia buru-buru menghampiri tas yang berisi peralatan pumping ASI milik Elma.
“Lalu dibuang?”
Suster Nia terdiam, “Ibu maunya gimana?”
Elma kembali menangis, “Harusnya Eve yang menikmatinya.” Elma mengingat stok ASI yang ada di freezer rumah, penuh karena Eve tak bisa minum dalam jumlah banyak sekaligus.
Suster Nia mengusap punggung Elma, “Bagaimana jika di sumbangkan saja, Bu. Banyak bayi yang pasti membutuhkan ASI karena kondisi tertentu.”
“Apa mereka mau menerimanya?”
“Pasti, Bu. Ayo kita keluar, dari pada terus menerus sedih di sini.”
Elma hanya menurut, sejenak keluar dari kamar bukan ide buruk, lagipula sebentar lagi ia akan meninggalkan rumah sakit. Sebelum keluar ruangan, Elma menutupi bagian depan tubuhnya dengan cardigan, agar pakaiannya tak terlihat lusuh.
Suster Nia membawa Elma ke ruang neonatus, tempat para bayi berada. Belum sampai mereka masuk dan bertanya, di depan ruang neonatus ada seorang baby sitter yang tengah kewalahan menenangkan bayi.
“Mbak, dedek bayinya, kenapa?” tanya Suster Nia.
“Dia sedang lapar,” jawab sang baby sitter, wajahnya terlihat ingin ikut menangis.
“Hah! Lapar! Lalu di mana ibunya?”
“Mamanya baru saja meninggal, dan sekarang Papanya sedang mencari pendonor ASI.”
“Di ruangan bayi, tidak ada stok ASI?” sambung Suster Nia.
“Katanya sedang habis, karena tak ada pendonor.”
Elma dan Suster Nia saling pandang. “Bolehkah aku susui?” tanya Elma tanpa pikir panjang, mendengar jerit tangis bayi itu, membuat naluri keibuannya kembali tumbuh. Elma seperti melihat Eve yang sedang menangis histeris, padahal suara tangis Eve tak pernah sekeras bayi itu.
kerren
semangat terus nulisnya yaaa 😍