Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Kerumah
Siang itu, Marsha memutuskan untuk bolos kuliah. Ia merasa kepalanya terlalu penuh dengan banyak hal yang terjadi belakangan ini—kehadiran ibu Sean, pertemuannya dengan Lidya, dan kekecewaan yang ia rasakan terhadap sikap Sean. Semua itu membuatnya ingin pergi ke satu tempat di mana ia merasa nyaman: rumahnya sendiri.
Saat taksi yang ditumpangi berhenti di depan rumah masa kecilnya, perasaan hangat menyelimuti hatinya. Sudah lama ia tidak pulang. Ia melangkah masuk ke dalam rumah yang tidak terlalu besar tetapi penuh dengan kenangan. Begitu melewati ambang pintu, suara ibunya terdengar dari dalam.
“Marsha?”
Marsha menoleh dan mendapati ibunya berdiri di ruang tamu dengan ekspresi terkejut.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya sang ibu, jelas tak menyangka melihat putrinya tiba-tiba pulang.
Marsha tersenyum kecil. “Jadi aku nggak boleh pulang mengunjungi rumah sendiri?” ia mencoba bercanda, tetapi ibunya tampak tidak terhibur.
Ibunya menutup pintu di belakang Marsha, lalu mengamatinya dengan tatapan penuh perhatian. “Bukan gitu. Tapi bukannya kamu sekarang tinggal di rumah suami kamu? Apa Sean tahu kamu ada di sini?”
Marsha menunduk, menggigit bibirnya sejenak sebelum menggeleng. “Aku cuma ingin pulang, Ma. Nggak ada salahnya, kan?”
Ibunya menghela napas panjang, lalu menarik tangan Marsha untuk duduk bersamanya di sofa.
“Ada masalah, Nak?” tanyanya dengan lembut.
Marsha diam sejenak. Ia ingin menyangkal, mengatakan semuanya baik-baik saja, tetapi ada sesuatu di dalam hatinya yang ingin berbagi. Ia rindu kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh ibunya.
“Mama tahu,” lanjut ibunya, meremas tangan Marsha pelan. “Sejak kecil, kalau kamu diam seperti ini, itu berarti ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu.”
Marsha tersenyum tipis. Ia lupa betapa ibunya selalu bisa membaca pikirannya.
“Aku cuma merasa lelah, Ma,” akhirnya ia mengakui. “Banyak hal yang terjadi… dan aku merasa sendirian.”
Ibunya menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Sean tidak menjagamu dengan baik?”
Marsha menggeleng. “Bukan begitu… hanya saja, aku merasa nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sekitarku. Ada banyak hal tentang Sean yang aku tidak tahu, dan sekarang keluarganya mulai ikut campur…”
Sang ibu terdiam sejenak sebelum berkata, “Pernikahan bukan hanya tentang kamu dan dia, Marsha. Keluarga selalu akan menjadi bagian dari itu.”
Marsha mendesah. “Tapi rasanya seperti aku harus berjuang sendiri, Ma. Aku bahkan nggak tahu apakah aku benar-benar bagian dari hidupnya atau hanya seseorang yang dia nikahi karena alasan lain.”
Ibunya menatap putrinya dengan sedih. “Kamu mencintainya?”
Marsha terdiam. Pertanyaan itu begitu sederhana, tetapi jawabannya terasa begitu rumit.
“Aku nggak tahu,” akhirnya ia menjawab pelan. “Aku nggak mau peduli, tapi rasanya… ada sesuatu di dalam hati yang mulai menginginkannya.”
Ibunya tersenyum samar. “Cinta itu tumbuh, Nak. Kadang kamu tidak menyadarinya sampai semuanya terasa begitu nyata.”
Marsha menatap ibunya dalam diam. Mungkin ibunya benar. Tapi apakah Sean juga merasakan hal yang sama?
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara dering ponselnya mengalihkan perhatiannya. Ia mengambilnya dari dalam tas dan melihat nama Sean tertera di layar. Jantungnya berdebar. Apakah Sean menyadari ia pergi?
Ibunya ikut melihat layar ponsel itu dan tersenyum kecil. “Jawablah,” katanya lembut.
Marsha menatap layar ponsel sejenak sebelum akhirnya menggeser ikon hijau.
“Halo?”
Suara berat Sean terdengar dari seberang, terdengar sedikit dingin tetapi juga… khawatir?
“Kamu di mana?” tanyanya tanpa basa-basi.
Marsha menggigit bibirnya. “Di rumah.”
Keheningan mengisi sambungan selama beberapa detik sebelum akhirnya Sean berkata, “Aku jemput kamu.”
Marsha terkejut. “Nggak perlu, aku bisa pulang sendiri nanti.”
“Tunggu di sana,” kata Sean tegas sebelum sambungan terputus.
Marsha menatap ponselnya dengan bingung. Sean akan menjemputnya?
Ibunya hanya tersenyum penuh arti. “Sepertinya kamu tidak sendirian, Nak.”
Marsha tidak menjawab. Ia hanya menatap pintu depan, menanti kedatangan suaminya dengan perasaan campur aduk.
...***...