Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 - Menguji Kemampuan
Eleanor bangun lebih awal dari biasanya. Setelah beberapa hari memperbaiki pola makannya, tubuhnya mulai menunjukkan sedikit perubahan. Meski masih terasa lemah, setidaknya dia tidak lagi merasa pusing setiap kali bergerak.
Hari ini, dia memutuskan untuk mencoba kegiatan lain—sesuatu yang lebih praktis.
"Apa di kediaman ini tidak ada tempat latihan?" gumamnya pelan saat berjalan di lorong yang luas.
Dalam kehidupan sebelumnya sebagai Siena, dia terbiasa berlatih bela diri, menyesuaikan strategi, bahkan berlatih dengan berbagai senjata. Jika ingin bertahan di lingkungan ini, dia harus memastikan tubuhnya bisa menyesuaikan diri.
Eleanor berjalan menuju halaman belakang. Tempat itu cukup luas, dengan pepohonan rindang yang menciptakan bayangan panjang. Beberapa pelayan melintas, meliriknya sekilas, tapi mereka terlalu takut atau tidak peduli untuk bertanya apa yang dia lakukan di sana.
Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya secara langsung, Eleanor mulai melakukan peregangan ringan. Otot-ototnya masih kaku, tapi dia harus memaksa tubuh ini untuk terbiasa.
Setelah itu, dia mengambil ranting kayu yang cukup panjang—tidak lebih dari tongkat sederhana, tapi cukup untuk mensimulasikan sebuah belati. Dengan posisi bertahan, dia mencoba beberapa gerakan dasar, menusuk dan mengayunkan ranting itu seperti sedang menghadapi lawan.
"Masih kaku... tapi setidaknya aku masih ingat tekniknya."
Ketika Eleanor tengah fokus berlatih, suara langkah kaki yang mendekat membuatnya menghentikan gerakannya.
"Nyonya, apa yang sedang Anda lakukan?"
Eleanor menoleh. Seorang pelayan berdiri dengan ekspresi terkejut—Maria, pelayan pribadinya yang baru.
Eleanor hanya tersenyum kecil. "Aku hanya ingin meregangkan tubuhku."
Maria menatap Eleanor penuh kebingungan, seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Sejak kapan nyonya rumah mereka menunjukkan ketertarikan pada hal semacam ini? Biasanya, Eleanor akan menghabiskan waktu di kamar atau bersikap pasif terhadap apa pun yang terjadi di sekitarnya.
Namun, Maria tidak berani mempertanyakan lebih jauh. Dia hanya menunduk sedikit dan berkata, "Jika Anda ingin meregangkan tubuh, mungkin lebih baik berjalan di taman, Nyonya. Berlatih seperti ini… mungkin tidak cocok untuk Anda."
Eleanor tersenyum tipis. "Begitukah? Akan kupertimbangkan."
Saat Maria pergi, Eleanor kembali menatap ranting di tangannya.
"Aku tidak bisa menarik perhatian terlalu banyak… Tapi aku juga tidak bisa hanya berdiam diri."
Dia harus menemukan cara lain untuk memperkuat tubuhnya—tanpa menimbulkan kecurigaan.
Sementara itu, dari jendela lantai atas, Cedric kembali mengamati istrinya dengan tatapan dalam.
"Apa yang sebenarnya dia rencanakan?"
Eleanor Roosevelt yang dia kenal tidak pernah tertarik pada hal-hal seperti ini. Namun, wanita di hadapannya tampak begitu berbeda… dan itu mulai membuatnya penasaran.
...***...
Setelah berlatih sejenak, Eleanor memutuskan untuk kembali ke dalam kediaman Duke. Tubuhnya masih perlu penyesuaian, dan dia tidak ingin menarik perhatian lebih banyak. Namun, langkahnya terhenti saat seorang pelayan datang tergesa-gesa.
"Nyonya, Yang Mulia Duchess Rosamund ingin bertemu dengan Anda di ruang teh."
Eleanor menatap pelayan itu tanpa ekspresi. Dari ingatan Eleanor yang sebelumnya, dia tahu bahwa mertuanya ini bukanlah seseorang yang akrab dengannya. Duchess Rosamund tidak menyetujui pernikahan ini sejak awal. Eleanor hanya menjadi istri Cedric karena keputusan Duke sebelumnya—ayah Cedric—dan di dalam keluarga ini, keputusan pria adalah segalanya.
Namun, tetap saja, kedatangan sang Duchess di waktu seperti ini terasa aneh.
"Baiklah," jawab Eleanor akhirnya.
Saat dia memasuki ruang teh, Duchess Rosamund sudah duduk dengan anggun di kursinya. Wanita itu masih memiliki kecantikan yang kuat meskipun usianya telah bertambah, dengan mata tajam yang selalu memancarkan otoritas. Gaun mewahnya yang penuh detail menunjukkan statusnya sebagai wanita bangsawan kelas tertinggi.
Eleanor dengan sopan menundukkan kepala sebelum duduk. Dia belum tahu harus bersikap seperti apa. Lebih baik diam dan mengamati dulu.
Duchess Rosamund menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara, "Eleanor, kau benar-benar menyulitkan orang lain."
Eleanor mengangkat alisnya sedikit, tapi dia tetap diam, membiarkan wanita itu melanjutkan.
"Apa yang membuatmu belum juga memberikan izin untuk pernikahan Cedric dan Carolet? Kau hanya memperlambat sesuatu yang sudah jelas."
Jadi ini alasannya memanggilku, pikir Eleanor.
"Aku tidak mengerti, Yang Mulia. Apa maksud Anda?" Eleanor berpura-pura tidak tahu.
Duchess Rosamund menghela napas dengan kesal. "Jangan berpura-pura bodoh, Eleanor. Kau tahu betul bahwa Carolet adalah wanita yang jauh lebih pantas untuk Cedric dibandingkan dirimu. Kau bahkan tidak bisa memenuhi tugasmu sebagai seorang istri. Cedric tidak mencintaimu. Satu-satunya alasan kau berada di sini adalah karena keputusan ayahnya. Jika kau memiliki sedikit harga diri, seharusnya kau sudah memberikan izin sejak dulu."
Nada suara wanita itu penuh dengan penghinaan. Siena—dalam tubuh Eleanor—hanya menatapnya dengan tatapan datar.
"Lalu, jika aku memberi izin, apa yang akan terjadi padaku?"
Duchess Rosamund menatap Eleanor dengan sinis. "Tentu saja kau masih bisa tinggal di sini. Tapi, sebagai istri pertama yang hanya ada dalam nama. Kau tidak perlu lagi mengurus Cedric atau ikut campur dalam hidupnya. Biarkan Carolet yang mengambil peran itu."
Eleanor menundukkan kepalanya, berpura-pura berpikir.
Siena sudah banyak melihat situasi seperti ini di kehidupan sebelumnya. Manipulasi, tekanan psikologis, dan intimidasi halus. Jika ini adalah dirinya dulu, mungkin dia sudah tertawa di depan wajah wanita ini.
Namun sekarang, dia memiliki peran yang harus dimainkan.
Akhirnya, Eleanor mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil. "Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan mempertimbangkannya."
Duchess Rosamund tampak sedikit terkejut dengan respons yang begitu tenang itu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Baiklah, pastikan kau membuat keputusan yang tepat. Aku tidak ingin ada masalah lebih lanjut. Sekarang kau boleh pergi."
Eleanor berdiri, memberi hormat dengan anggun, lalu berjalan keluar dari ruangan itu.
Begitu dia keluar, dia menarik napas panjang.
"Menarik... Jadi, begini cara mereka memperlakukanku selama ini?"
Jika ini adalah Eleanor yang lama, mungkin dia akan menangis dan merasa tertekan. Tapi sekarang, Siena yang berada dalam tubuh ini.
Dan dia tidak akan membiarkan siapa pun merendahkannya tanpa konsekuensi.
...***...
Eleanor melangkah keluar dari ruang teh dengan ekspresi datar. Dia masih mencerna percakapan barusan dengan Duchess Rosamund. Seperti yang sudah diduganya, Eleanor yang lama benar-benar tidak memiliki pendukung di dalam rumah ini. Namun, itu bukan masalah baginya.
Baru saja dia hendak berjalan menuju kamarnya, seseorang menghadangnya di tengah koridor.
Carolet.
Wanita bangsawan itu berdiri dengan angkuh, kedua tangannya disilangkan di depan dada, dan senyum penuh kemenangan tersungging di bibir merahnya. Gaun biru keunguan dengan hiasan permata memperlihatkan betapa mahalnya pakaian yang dikenakannya.
"Jadi, kau baru saja bertemu dengan Duchess?" suara Carolet terdengar meremehkan. "Aku yakin kau pasti meminta belas kasihan agar tetap dipertahankan di sini, bukan? Kau benar-benar tidak tahu malu."
Eleanor tetap diam, mengamati wanita itu dari kepala hingga kaki.
"Kenapa diam? Ah, aku mengerti. Kau pasti sedang berpikir keras bagaimana caranya agar bisa tetap berada di sisi Cedric, ya?" Carolet tertawa kecil sebelum mendekatkan wajahnya ke arah Eleanor, menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan. "Dengar, Eleanor. Kau tidak akan bisa menghalangi jalanku. Jelas aku lebih unggul daripada dirimu dalam segala hal. Aku lebih cantik, lebih cerdas, dan lebih berpengaruh."
Eleanor masih tidak merespons, tapi dia memperhatikan setiap detail ekspresi Carolet.
"Lihat dirimu," lanjut Carolet dengan suara yang lebih pelan, penuh ejekan. "Bahkan untuk mendapatkan dukungan keluarga pun, kau harus meminta-minta seperti pengemis. Menyedihkan sekali."
Eleanor menatap Carolet dengan mata dingin, tapi bibirnya melengkung sedikit. Siena tidak asing dengan orang seperti Carolet—terlalu percaya diri, menganggap dirinya sudah menang sebelum pertempuran bahkan dimulai.
Eleanor akhirnya membuka mulut. "Dan kau berpikir sudah menang hanya karena mendapat dukungan dari Duchess?" suaranya tenang, hampir terdengar santai.
Carolet sedikit tersentak, jelas tidak menyangka Eleanor akan berbicara seperti itu.
Eleanor melanjutkan, "Sungguh menarik, Carolet. Kau bilang aku menyedihkan karena harus meminta dukungan... tapi bukankah kau juga melakukan hal yang sama? Apa bedanya dirimu denganku? Atau mungkin... kau sebenarnya takut bahwa aku tidak semudah itu disingkirkan?"
Mata Carolet membelalak sebelum dia segera mengembalikan ekspresinya menjadi sombong lagi. "Omong kosong! Aku tidak perlu takut pada seseorang sepertimu!"
"Benarkah?" Eleanor tersenyum kecil. "Kalau begitu, kau tidak perlu repot-repot menghadangku dan mengatakan semua ini. Lagipula, jika kau benar-benar lebih unggul dariku, kenapa kau masih merasa perlu membuktikan sesuatu di hadapanku?"
Carolet terdiam.
Eleanor meliriknya sebentar sebelum berjalan melewatinya tanpa berkata apa-apa lagi.
Carolet mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam karena marah. Untuk pertama kalinya, dia merasa seolah Eleanor yang biasanya lemah dan mudah diremehkan... kini berubah menjadi seseorang yang tidak bisa dipermainkan begitu saja.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor