Nathan Hayes adalah bintang di dunia kuliner, seorang chef jenius, tampan, kaya, dan penuh pesona. Restorannya di New York selalu penuh, setiap hidangan yang ia ciptakan menjadi mahakarya, dan setiap wanita ingin berada di sisinya. Namun, hidupnya bukan hanya tentang dapur. Ia hidup untuk adrenalin, mengendarai motor di tepi bahaya, menantang batas yang tak berani disentuh orang lain.
Sampai suatu malam, satu lompatan berani mengubah segalanya.
Sebuah kecelakaan brutal menghancurkan dunianya dalam sekejap. Nathan terbangun di rumah sakit, tak lagi bisa berdiri, apalagi berlari mengejar mimpi-mimpinya. Amarah, kepahitan, dan keputusasaan menguasainya. Ia menolak dunia termasuk semua orang yang mencoba membantunya. Lalu datanglah Olivia Carter.
Seorang perawat yang jauh dari bayangan Nathan tentang "malaikat penyelamat." Olivia bukan wanita cantik yang akan jatuh cinta dengan mudah. Mampukah Olivia bertahan menghadapi perlakuan Nathan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA YANG TAK BOLEH TUMBUH
Setelah obrolan itu berakhir dengan tawa yang agak dipaksakan, Erick melirik jam di pergelangan tangannya dan berdiri pelan.
“Aku harus kembali ke kantor, masih ada beberapa hal yang harus kukerjakan,” katanya sambil merapikan bajunya. “Kalau butuh sesuatu, kabari saja, ya.”
Nathan mengangguk pelan. “Terima kasih, Erick.”
Erick menepuk pundak Nathan sebelum melangkah keluar dari kamar. Pintu tertutup kembali dengan suara lembut, meninggalkan Nathan sendirian dalam keheningan yang perlahan menyergap.
Nathan menatap ke arah jendela, membiarkan pikirannya mengembara entah ke mana. Kata-kata Erick tadi masih terngiang di kepalanya tentang Olivia, tentang kemungkinan perasaannya, tentang... kehilangan.
Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
“Apa aku punya hak untuk berharap...?” gumamnya lirih.
Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi oleh keheningan yang terasa berat. Nathan bersandar di kursi rodanya, menatap kosong pada langit senja yang beranjak redup. Ada rasa ragu, takut, dan diam-diam... harapan kecil yang belum ia berani akui sepenuhnya.
Haruskah ia jujur pada dirinya sendiri, atau tetap menyimpannya?
Nathan memejamkan matanya sejenak, berusaha menenangkan riak emosi yang bergejolak di dalam dadanya. Ia tahu, Erick bukan sekadar sahabat atau rekan kerja. Erick adalah satu-satunya orang yang tetap bertahan di sisinya saat dunia seperti runtuh di hadapan. Saat yang lain menjauh, Erick tetap tinggal, membantu dan menjaga nama baiknya, bahkan ketika ia sudah tidak punya daya untuk berbuat apa-apa.
Dan sekarang, pria setia itu mulai menaruh hati pada Olivia, gadis yang dalam diam, mulai mengisi ruang kosong dalam hati Nathan.
“Aku bukan siapa-siapa sekarang...” gumamnya lirih. “Dan Erick... dia pantas mendapatkan seseorang seperti Olivia.”
Nathan membuka matanya perlahan. Pandangannya kosong, tapi dalam hati ia sedang menggenggam keputusan yang sangat berat. Ia ingin merelakan. Ia ingin mendukung. Kalau memang Erick bisa membahagiakan Olivia, jika itu bisa membuat Erick semakin bahagia, maka mungkin... itu yang seharusnya terjadi.
“Aku akan bantu mereka...,” bisiknya, nyaris tanpa suara.
Ada perih yang menyesak dalam dadanya. Namun, Nathan tahu, ia harus kuat. Ia tidak ingin menjadi penghalang bagi dua orang yang mungkin bisa saling melengkapi. Dan seperti biasa, ia memilih diam... menyimpan perasaannya sendiri rapat-rapat.
___
Olivia pulang dengan langkah tergesa. Hujan tipis mengiringinya keluar dari gerbang kampus, sementara ransel berat di punggungnya tak sebanding dengan beban di dadanya. Hari ini kuliah benar-benar menyita waktu dan tenaga. Tugas-tugas menumpuk, diskusi kelompok berlangsung hingga malam, dan pikirannya terus-menerus melayang pada satu nama yaitu... Nathan.
Di sela-sela waktu istirahat tadi, Olivia sempat beberapa kali mencoba menghubungi Nathan. Tapi tak satu pun panggilannya diangkat. Pesan yang ia kirim pun hanya centang satu. Hatinya mulai resah. Biasanya, Nathan akan langsung menjawab, walau hanya dengan pesan singkat.
Tak tenang, ia akhirnya menghubungi Charlotte. Suara lembut ibu Nathan terdengar di seberang.
"Nathan sudah tidur, Nak. Dia tadi bilang ingin istirahat lebih awal. Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja di sini."
Olivia mengangguk pelan, meski suara hatinya menolak percaya sepenuhnya. Ada nada yang berbeda. Tapi ia tidak ingin mendesak. Ia memilih percaya.
Yang tidak ia tahu, Nathanlah yang meminta Charlotte untuk berkata seperti itu. Bukan karena ia benar-benar ingin tidur lebih awal, melainkan karena ia mulai menjalankan keputusan berat yang telah ia buat, menjaga jarak dari Olivia. Ia tidak ingin perasaannya tumbuh semakin dalam, tidak ingin menjadi beban, dan ia berpikir menjauh adalah cara terbaik untuk mendukung kebahagiaan Olivia, terutama jika bersama Erick adalah takdir yang lebih layak.
Namun, bagi Olivia, ketidakhadiran Nathan justru meninggalkan ruang kosong yang sulit dijelaskan... dan rasanya mulai menyakitkan.
Saat Olivia sampai di rumah Nathan, langkahnya tak lagi tergesa, tapi hatinya masih penuh tanda tanya. Belum sempat ia menyimpan tas, perhatiannya langsung tertuju pada kamar Nathan. Ada sesuatu yang terasa berbeda sejak tadi siang. Tanpa menunda, ia mendekat ke pintu kamar Nathan dan membukanya perlahan, berusaha tak menimbulkan suara.
Cahaya lampu redup menerangi kamar itu. Nathan terlihat sudah berbaring di tempat tidurnya, tubuhnya diam seolah benar-benar tertidur. Olivia melangkah masuk perlahan, lalu duduk di tepi ranjang, di sisi Nathan. Ia menatap wajah pria itu tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tapi di mata Olivia, ketenangan itu justru menyimpan banyak hal yang tak terucap.
Dengan suara lirih, ia mulai berbicara, seperti sedang menyampaikan kata-kata pada seseorang yang mungkin mendengarkan, meski matanya terpejam.
"Nathan... maafkan aku, ya. Seharian ini hatiku nggak tenang karena kamu nggak angkat teleponku. Aku kira ada sesuatu terjadi. Tapi setelah lihat kamu di sini, aku lega... kamu baik-baik saja."
Ia menarik napas pelan, menunduk sejenak.
"Tapi... kenapa kamu tidur cepat sekali? Biasanya kamu masih terjaga saat jam segini. Atau kamu sengaja?" Ia tersenyum tipis, meski bibirnya terasa getir. "Aku cuma ingin ngobrol sedikit... sejujurnya, aku rindu."
Tak ada respons dari Nathan. Tapi entah mengapa, Olivia tetap merasa nyaman melanjutkan kata-katanya dalam keheningan itu.
Nathan ternyata belum benar-benar tidur. Sejak Olivia membuka pintu dan melangkah masuk, ia sudah menyadari kehadirannya. Suara langkah pelan itu, aroma lembut yang khas dari tubuh Olivia semuanya membuat Nathan tak tega untuk membuka mata dan menyapanya. Ada keraguan, ada pergolakan batin yang belum selesai dalam dirinya.
Tapi saat Olivia mulai berbicara, menyuarakan isi hatinya dengan lirih dan tulus, dada Nathan terasa sesak. Setiap kalimatnya menusuk pelan, namun pasti. Ia mendengar permintaan maafnya, mendengar kekhawatiran dan rindunya. Dan Nathan... semakin bingung dengan perasaannya sendiri.
Ia ingin membalas. Ingin membuka mata dan mengatakan, “Aku juga merindukanmu.” Tapi ia tidak bisa. Ia hanya mampu diam dan pura-pura tertidur, karena ia merasa tidak pantas.
Namun, di balik kelopak mata yang tertutup, sudut bibirnya tak bisa sepenuhnya menahan senyum. Senyum yang samar tanda bahwa hatinya perlahan mulai terbuka, meski ia belum tahu ke mana harus melangkah.
Sementara itu, Olivia perlahan bangkit dari duduknya. Ia menatap Nathan sekali lagi, lalu merapikan selimutnya dengan lembut. Sebelum beranjak pergi, ia berbisik pelan di dekat telinga Nathan, “Selamat malam...semoga mimpimu indah.”
Dan saat pintu kamar itu kembali tertutup, Nathan membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit kamar dalam diam, lalu menarik napas panjang. Satu kalimat terlintas jelas di benaknya
"Bagaimana mungkin aku menjauh dari seseorang yang justru membuatku ingin hidup kembali?"
Suara bisikan Olivia masih terngiang jelas di telinganya. Lalu bibirnya bergerak perlahan, menggumam hampir tanpa suara,
"Olivia... sikapmu terlalu manis."
Gumaman itu lebih seperti keluhan pada dirinya sendiri, bukan pada Olivia. Karena sikap manis itu perhatian, kelembutan, dan ketulusan Olivia justru membuat benteng yang susah payah ia bangun mulai rapuh.
Ia menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya. "Aku sudah memutuskan... aku harus menjauh. Aku tidak boleh egois. Dia pantas mendapat seseorang yang utuh, yang bisa menggenggam tangannya tanpa ragu."
Namun, semakin ia meyakinkan dirinya, semakin berat rasanya. Hatinya seperti dikhianati oleh pikirannya sendiri. Ia sadar... kehadiran Olivia adalah satu-satunya hal yang membuat harinya terasa lebih terang. Tapi justru karena itu, ia merasa harus lebih kuat menjaga jarak.
"Aku tidak boleh lemah karena dia," bisiknya pelan, "Aku harus tegas... demi kebaikan."
Tapi dalam hati kecilnya, Nathan tahu... itu akan menjadi hal paling sulit yang pernah ia coba lakukan.
Olivia hanya anggap erick sekedar tmn dan nathan berusaha mendekatkan erick sm olivia....
Olivia tidak akan bahagia bersama erick cintanya hanya tuk nathan pria sangat dikagumi dan dicintainya...
Lanjut thor💪💪💪💪💪
Jason sangat iri sm erick sangat sipercaya sm nathan ketimbang jason dan nathan pasti tahu mana yg jujur dan tidak....
Tunggu aja sampai bukti2 kuat terkumpul pasti tamat riwayatmu jason dan nathan tidak akan mengampuni seorang pengkhianat...
tp nathan merasa tidak pantas buat olivia krn lumpuh olivia mencintai nathan sangat tulus gimanapun keadaan nathan...
lanjut thor💪💪💪💪💪
Semenjak kehadiran olivia nathan kembali semangat lagi dan hidupnya penuh warna...
Tp nathan memendam rasa cintanya kpd olivia dan merasa tidak pantas buat olivia krn lumpuh....
lanjut thor...
semangat selalu💪💪💪💪💪
Ada mom carrolotte dan olivia sll kasih dukungan dan semangatnya.....
lanjut thor💪💪💪💪💪
Nathan sangat merasa minder/tidak pantas buat olivia dan ungkapan aja nathan perasaannya pd olivia....
krn olivia jg merawat nathan dangat tulus dan ikhlas nathan bisa bangkit dr keterpurukan hrs berusaha tuk sembuh dengan terapi pasti bisa jalan lagi....
lanjut thor....
semangat selalu...
sehat selalu.....