Cinta yang terhalang restu dan rasa cinta yang amat besar pada kekasihnya membuat Alea Queenara Pradipta mau menuruti ide gila dari sang kekasih, Xander Alvaro Bagaskara. Mereka sepakat untuk melakukan hubungan suami istri di luar nikah agar Alea hamil dan orangtua mereka mau merestui hubungan mereka.
Namun di saat Alea benar-benar hamil, tiba-tiba Xander menghilang begitu saja. Bertemu lagi lima tahun kemudian, tetapi Xander telah menikah.
Lalu bagaimana nasib Alea dan anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang Ingatan
Alea menangis di sepanjang jalan menuju rumah sakit. Bukan hanya karena mendengar kabar tentang Axelio, tetapi juga atas tuduhan dan penghinaan yang orang-orang lontarkan terhadap dirinya.
Sudah beberapa kali Alea mengusap cairan bening yang jatuh di pipinya, tetapi air matanya belum menunjukkan tanda untuk berhenti.
Di sampingnya ada Brian yang sedang mengemudi, sesekali laki-laki itu melihat ke arah Alea. Ia merasa menyesal memaksanya untuk datang ke acara itu.
"Alea, aku minta maaf," ucap Brian. "Harusnya aku tidak memaksamu untuk datang ke acara itu," sesal Brian.
Alea tidak langsung merespon perkataan Brian. Lagi pula itu bukan sepenuhnya salah pria di sampingnya itu. Brian sudah mengajaknya kembali, tetapi karena merasa penasaran dengan Xander membuatnya lupa segalanya.
"Kenapa dia hanya diam saja, Brian?" tanya Alea tanpa menoleh ke arah Brian. "Dia tidak membelaku saat mereka menghinaku."
"I don't know, Alea. Jujur aku juga heran," jawab Brian.
"Dia benar-benar berubah. Dia seperti tidak mengenaliku lagi," sambung Alea.
"Aku akan cari tahu tentang hal ini," janji Brian dibalas gelengan oleh Alea.
"Itu tidak perlu, Brian," larang Alea.
"Why?" tanya Brian dengan kening yang mengerut bingung.
Alea mengusap cairan bening yang ada di pipinya, menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan rasa sesak di dadanya.
"Dia sudah memiliki perempuan lain, Brian. Apalagi yang mau aku harapkan darinya," jawab Alea.
"Lalu bagaimana dengan Axel, Alea? Putramu butuh ayahnya," tanya Brian.
"Ada aku," balas Alea. "Selama ini kami juga tinggal berdua. Aku bisa menjadi ibu juga ayah baginya," balas Alea.
"Baiklah, sesuai keinginanmu saja, Alea," ucap Brian. "Aku akan tetap mendukung apapun yang menjadi keputusanmu," imbuh Brian.
Tidak lama mereka sampai di rumah sakit. Brian menghentikan laju mobilnya di depan lobby, membiarkan Alea turun lebih dulu. Setelah itu, Brian kembali pergi, mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya.
Alea sendiri berjalan ke ruang IGD. Di tengah jalan bertemu dengan Nino. Asisten pribadi Romi sedang mengurus administrasi untuk Axelio. Pria itu mengatakan jika Axelio sudah ditangani, kondisinya juga sudah membaik. Bocah itu juga sudah dipindahkan ke ruang rawat.
Alea merasa lega mendengar kabar itu. Setelahnya Alea pergi bersama Nino menuju ruang rawat Axelio.
"Axel." Alea masuk ke dalam ruang rawat Axelio. Ia menangis melihat Axelio terbaring dengan selang infus terpasang di salah satu tangannya dan selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Alea berdiri di samping tempat tidur, membungkuk untuk mengecek suhu badan Axelio. Hawa panas masih terasa di kulit Alea.
"Kau jangan khawatir, Alea. Axel baik-baik saja. Dia tidur karena efek obat." Nina berucap sembari mengusap rambut Alea.
"Kalian pulanglah! Papi, mami, dan Nino yang akan menjaga Axel," suruh Romi.
"Aku mau di sini saja, Pi," tolak Alea. "Kalau aku pulang terus mencariku bagaimana?"
"Aku juga, Pi," sambung Lena.
"Baiklah. Kita semua akan tetap di sini sampai kondisi Axel pulih," ucap Nina disambut anggukkan setuju oleh semua orang.
Alea memilih duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Axelio. Tangannya mengenggam erat tangan kecil bocah itu. Sesekali mencium punggung tangannya. Rasa cemas dan khawatir mulai mereda saat suhu tubuh Axelio mulai turun.
TOK TOK TOK
Semua orang menoleh ke arah pintu, mereka melihat Brian muncul dari balik pintu. Alea terus menatap pergerakan Brian, sampai pria itu berada di samping tempat tidur, bersebrangan langsung dengan dirinya.
"Bagaimana keadaan Axel?" tanya Brian.
"Demamnya sudah turun," jawab Alea.
"Syukurlah," balas Brian tangannya terulur untuk mengusap kening Axelio.
Suasana menjadi hening setelah itu, hingga Romi bicara, mengatakan hal yang membuat semua orang tercengang.
"Kalian sebaiknya menikah!" perintah Romi pada Brian.
Seketika semua orang melihat ke arah Romi. Alea tidak suka dengan pembahasan itu di saat situasinya sedang tidak memungkinkan.
"Pi —" Ucapan Alea langsung dipotong oleh Romi.
"Apa kau masih mengharapkan laki-laki berengsek itu?" tukas Romi.
"Maaf, Om. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal ini," sambung Brian.
"Yang Brian katakan itu benar, Pi," sambung Nina.
Dttttt...
Ponsel Brian berdering, membuat pembahasan itu tertunda. Brian melihat nomor salah satu temannya muncul di layar ponsel miliknya. Tidak menunda lagi Brian menerima panggilan itu. Laki-laki sedikit menjauh untuk bicara dengan orang yang ada di seberang sana.
"Halo," sapa Brian.
"..."
"Aku ke sana sebentar lagi," ucap Brian. Setelah itu memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Brian kembali ke dekat tempat tidur, meminta izin untuk pergi. Ada urusan yang harus ia selesaikan. Setelah mendapatkan izin, Brian pergi dari rumah sakit, kembali ke hotel tempat diselenggarakannya acara reuni itu. Ada yang harus ia selesaikan dengan Xander. Ia sengaja meminta salah satu temannya untuk mempertemukan dirinya dengan Xander berdua saja.
Brian sampai di parkiran hotel, ia melihat Xander berada tidak jauh dari tempat mobilnya terparkir. Terlihat temannya itu sedang duduk di kup depan salah satu mobil yang terparkir di sana. Brian keluar dari mobil, mengayunkan langkah mendekati Xander. Lalu...
BUGH
Tanpa aba-aba dan izin, Brian mencengkram jas Xander, lantas mendaratkan pukulan di rahang laki-laki itu, membuatnya terpelanting.
"Damn!" umpat Xander.
Brian kembali menarik kemeja Xander dengan mengangkat kembali tangannya, ia ingin memukul Xander, tetapi kali ini Xander bisa menangkap kepalan tangan Brian.
"What are you doing?" tanya Xander dengan tatapan tidak bersahabat.
"Kau berengsek! Bagaimana bisa kau melakukan ini pada Alea?" Brian menarik tangannya dan kembali menarik kerah kemeja Xander.
"Lepas! Jauhkan tanganmu dariku!" Xander mendorong Brian, menjauh dari dirinya.
BUGH
Brian kembali memukul rahang Xander, tetapi kali ini temannya itu tidak bergeming sama sekali. Xander masih berdiri di tempat yang sama.
"Sudah? Hanya segitu tenagamu?" ejek Xander.
"Dengar, ban*sat!" Brian kembali mencengkeram kerah jas yang Xander kenakan. "Aku tidak menduga dengan apa yang kau lakukan kepada Alea. Bagaimana bisa kau menikah dengan perempuan lain? Dia menunggumu selama lima tahun, hidup dengan menanggung beban sendiri dari kesalahan yang kalian lakukan."
Xander berdiri dalam diam, dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana, ekspresi wajahnya datar, seolah tidak peduli dengan tindakan dan juga perkataan Brian.
"Dan sekarang kau bahkan membiarkan dia dihina oleh orang banyak," geram Brian. "Tidak tahu 'kah kau? Anak yang tadi mereka hina adalah anakmu. Axel itu bukan anakku dengan Alea, tapi anakmu dengan dia!" ungkap Brian. "Apa kau lupa kalian pernah melakukan berhubungan terlarang itu demi mendapatkan restu dari orang tua kalian?" imbuh Brian. "Anak itu, anak itu juga selalu mempertanyakan dirimu! Asal kau tahu juga, sekarang anak itu sedang dirawat di rumah sakit."
Xander masih diam dengan posisi yang sama.
"Jika aku tahu kau akan berbuat seperti ini pada Alea, aku akan menerima tawaran orang tua Alea untuk menikahinya dan juga memaksanya untuk mau menikah denganku!" sergah Brian.
Kali ini Xander mulai bereaksi, mata tajamnya mengarah pada Brian, menatap sahabatnya dengan tatapan membunuh.
"If you do that, i will kill you!" ancam Xander. Suaranya pelan tapi penuh penekanan dan ancaman.
"Do it!" Brian mendorong kedua bahu Xander, ia kembali ingin melayangkan pukulan, tetapi gerakan Brian terhenti oleh suara seseorang.
"Hai, apa yang kau lakukan pada suamiku?" Dania berjalan mendekati kedua laki-laki itu lantas berdiri di tengah, antara Xander dan Brian.
"Kau pergilah! Ini urusanku dengan dia," perintah Xander pada Dania.
"Tidak, Sayang," tolak Dania lantas mengarahkan pandangannya ke arah Brian. "Dengar! Jika kau memiliki masalah dengan suamiku, tolong selesaikan nanti. Jika suamiku sudah ingat semuanya."
Mata Brian terbelalak mendengar perkataan Dania. "Apa maksudmu dengan ingat semuanya? Jangan katakan jika dia hilang ingatan?" tanya Brian.
"Ya," jawab Dania.
"Are you sure?" tanya Brian dengan ekspresi terkejut.
"Ya?" jawab Dania membuat Brian menggeleng tidak percaya.
Entah kenapa Brian tidak percaya jika Xander hilang ingatan.
astaga kapan dapat karma dia
penasaran dengan ortu Xander saat tau ada cucu nya
pasti seru