sinopsis:
Nama Kania Abygail tiba tiba saja terdaftar sebagai peserta Olimpiade Sains Nasional.
Awalnya Kania mensyukuri itu karna Liam Sangkara, mentari paginya itu juga tergabung dalam Olimpiade itu. Setidaknya, kini Kania bisa menikmati senyuman Liam dari dekat.
Namun saat setiap kejanggalan Olimpiade ini mulai terkuak, Kania sadar, fisika bukan satu - satunya pelajaran yang ia dapatkan di ruang belajarnya. Akan kah Kania mampu melewati masa karantina pra - OSN fisikanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zuy Shimizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Chapter 17: Debaran Lama Untuk Rasa Baru
"Aku ada disini untuk membuatmu tersenyum, membuatmu kuat. Jadi tolong, jangan pernah lari lagi."
INI hari yang menyebalkan bagi Sabiru.
Bagaimana tidak, diantara 30 orang siswa di kelasnya, hanya ia yang remed ulangan harian pada mata pelajaran fisika.
Sabiru semakin menyesal memilih jurusan MIPA. Kini ia benar-benar sadar bahwa jiwanya berada di jurusan IPS. Otaknya sendiri begitu lancar saat membahas soal ekonomi dan sosiologi milik Axel.
Sial, sial, sial.
Sabiru terus mengumpati soal yang ada dihadapannya. Seharusnya, ia sudah pulang sedari tadi. Namun gara-gara remed sialan ini, Sabiru masih harus mendekam di perpustakaan untuk mengerjakan soal itu.
Brak
Sabiru tersentak kecil dan reflek menoleh pada setumpuk kertas yang tiba-tiba saja diletakkan secara kasar di sampingnya.
Sabiru mendongak.
"Daftar siswa yang ikut eliminasi perserta OSN," jawab Harka dengan tatapan datarnya seperti biasa tepat sebelum Sabiru bertanya. "Liat baik-baik."
Sabiru pun meraih kertas itu dan membacanya dengan teliti. Gadis itu kini mengesampingkan soal menyebalkan yang ada dihdapannya.
Beberapa detik menatap daftar yang diberikan Harka itu, Sabiru mengerutkan dahinya. "Ini..."
"Iya, kayak yang lo liat." potong Harka. "Kania Abygail nggak terdaftar. Artinya, adek lo itu emang nggak pernah ikut seleksi."
Seketika bulu kuduk Sabiru berdiri. Ada rasa terkejut, amarah, sedih, dan khawatir yang bergabung menjadi satu saat itu juga. Jantungnya berdebar hebat, kondisi Kania kini jadi satu yang amat dipikirkan Sabiru
"terus.... terus gimana, Harka? kok adek gue bisa ikut?" tanya gadis itu dengan mulut bergetar hebat
Harka menghela nafasnya panjang.
"Masalahnya itu, Sabiru. Karena lo tau sendiri, sekolah kita punya sistem seleksi. Sekali pun nilai rapot dan nilai hariannya tinggi dan stabil, harus tetap ada seleksi untuk ikut olimpiade. Sekolah nggak bakal sembarangan ngebiarin siswanya ikut."
Tubuh Sabiru kian gemetar. Gadis itu menatap benar-benar daftar keramat itu.
Kini nyata sudah kecurigaannya. Sabiru sudah sadar ada yang aneh sejak mendengar masa karantina yang amat janggal itu. Sabiru tahu, Sabiru paham, dan kini ia berusaha keras untuk menahan air matanya di ekor mata.
Harka meraih pundak Sabiru yang bergetar hebat, lalu mengelusnya perlahan.
"Sabiru..."
Air mata Sabiru akhirnya jatuh.
Gadis itu berusaha sekeras mungkin untuk tidak terisak. Namun ia tidak bisa menahan rasa hampa, khawatir, dan bersalahnya.
Sabiru tahu jelas, ia bukan kakak yang baik.
"Gue tau lo khawatir, Sabiru. Nggak apa-apa. Kita cari jalannya pelan-pelan, ya...?" ujar Harka lembut. Pedih hatinya saat melihat Sabiru berlinang air mata.
"Harka...."
"Iya, gue disini. Gue nggak pergi."
Sabiru merasakan hatinya mulai menghangat. Namun tidak, tetap tidak. Ia sudah bertekad untuk tidak akan goyah lagi. Baginya, semua yang berakhir tak perlu dilanjutkan kembali.
Di saat yang sama, Harka mengambil sebuah kursi dan duduk di sebelah Sabiru. Pemuda itu pun meraih pundak Sabiru dan membiarkannya masuk ke dalam dekapannya.
Harka tak berharap lebih. Ia hanya ingin Sabiru menjadi gadis tegar, seperti biasanya.
"Kita cari jalannya sama-sama, Sabiru."
---- Olimpiaders ---
Ruang belajar 237 begitu hening. Soal IPHO tahun 2023 dihadapan para siswa membuat mereka lebih berkutat dengan lembaran kertas itu ketimbang dengan sesama peserta tim.
Namun, yang membuat Liam tidak tenang adalah Kania.
Ralat, mungkin dirinya sendiri.
Sejak reflek mencium kening Kania pada malam itu, Liam jadi kacau sendiri. Untung saja saat itu Kania tidak sadarkan diri.
Kalau saja Kania tahu soal itu, Liam bisa tambah canggung dibuatnya. Beberapa kali siku Liam bersenggolan dengan Kania, terkadang juga kulit mereka bersentuhan selama mengerjakan soal.
Dan sialnya, hal itu sudah membuat Liam berdebar hebat.
Liam benar-benar tidak paham lagi dengan dirinya sendiri. Pemuda itu seolah sedang di mabuk cinta.
Eh, jadi Liammenyukai Kania?
"Kenapa, Liam?"
Liam tersentak kecil. Dengan wajah memerah hebat, Liam reflek memalingkan wajahnya yang sedari tadi mencuri pandang dari Kania.
"Liam...?"
Liam menggeleng cepat. Tidak, jangankan bicara, menatap setiap garis wajah Kania saja sudah membuat jantung Liam berdebar hebat.
Kania pun menghela nafasnya lemah. Padahal Kania merasa begitu bersemangat menunggu Liam mengatakan sesuatu padanya.
Kania tidak tahu, bahwa Liam sedang mengalami apa yang Kania alami saat pertama mengangumi indahnya senyuman Liam, dulu.
Di titik ini, Kania sedang menanti Liam mengungkapkan sesuatu. Dan di titik yang sama pula, Liam sedang mengumpulkan keberaniannya.
Ah, ini pelik.
✩₊̣̇. To Be Continue