Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gugatan Cerai
Dominic duduk di ruang kerjanya, menatap selembar dokumen yang baru saja diberikan oleh pengacaranya.
Surat gugatan cerai. Satu langkah terakhir yang akhirnya akan mengakhiri pernikahannya dengan Rina.
Di seberangnya, seorang pria paruh baya dengan jas rapi duduk dengan wajah serius. "Saya sudah mengurus semua berkas yang dibutuhkan, Tuan Lancaster. Setelah ini, kami hanya perlu menunggu tanggapan dari pihak istri Anda. Jika dia tidak keberatan, prosesnya bisa berjalan lebih cepat."
Dominic mengangguk, matanya masih terpaku pada berkas itu.
"Saya ingin ini selesai secepat mungkin," suaranya dalam, tanpa keraguan.
Pengacara itu menghela napas. "Saya mengerti, tapi Anda tahu bahwa ini tidak akan mudah. Nyonya Rina mungkin akan memberikan perlawanan, apalagi jika ini menyangkut hak asuh Dion."
Dominic tersenyum miring. "Dion sudah dewasa. Dia bisa memilih sendiri. Lagipula, ini bukan tentang hak asuh anak. Ini tentang mengakhiri sesuatu yang sudah lama mati."
Ponselnya bergetar. Nama Rina muncul di layar.
Dominic mengambil napas panjang sebelum menjawab. "Ada apa?"
"Apa maksudnya ini, Dominic?! Aku baru saja menerima surat cerai dari pengacaramu! Kamu serius ingin mengakhiri semuanya?!" suara Rina terdengar marah, penuh emosi.
Dominic bersandar di kursinya, menutup matanya sesaat. "Aku sudah memutuskan, Rina. Kita tidak bisa terus seperti ini."
"Apa ini semua karena Hana?" suara Rina mulai bergetar, antara marah dan terluka.
Dominic membuka matanya. "Ini tentang kita, Rina. Kita sudah lama tidak lagi menjadi suami istri yang sebenarnya. Kamu tahu itu."
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja! Aku tidak akan membiarkan Hana merebut segalanya dariku!" bentaknya.
Dominic mengusap wajahnya dengan lelah. "Ini bukan soal Hana. Aku ingin kita berpisah dengan baik. Kamu berhak bahagia, Rina. Aku juga."
"Hah! Bahagia?" Rina tertawa sinis. "Kamu pikir aku bisa bahagia setelah ini? Kamu ingin aku menjadi janda, sementara kamu dengan santainya membangun hidup baru dengan wanita yang jauh lebih muda?!"
Dominic menutup matanya sejenak, mencoba meredam emosinya. "Aku tidak ingin bertengkar, Rina. Aku hanya ingin ini berakhir dengan cara yang baik."
"Tidak ada cara baik untuk ini, Dominic," suara Rina melemah, nyaris seperti bisikan. "Aku mencintaimu... selalu mencintaimu... Tapi kamu membuang semuanya."
Dominic terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku minta maaf, Rina."
Sambungan terputus.
Dominic meletakkan ponselnya di meja, kepalanya terasa berat.
Pengacaranya menatapnya dengan penuh pengertian. "Sepertinya ini akan menjadi proses yang panjang, Tuan."
Dominic menghembuskan napas. "Aku siap."
Lalu, ia mengambil pulpen dan menandatangani surat cerai itu tanpa ragu.
Dominic duduk di ruangannya, menatap kosong ke luar jendela. Hujan turun perlahan, menciptakan suara menenangkan di balik kaca. Tapi hatinya tidak tenang. Percakapan dengan Rina tadi masih terngiang di kepalanya.
Dulu, ia mencintai Rina dengan segenap jiwa. Sama besarnya dengan cintanya pada Hana sekarang. Bahkan mungkin lebih. Ia rela melakukan apapun demi wanita itu, membangun hidup mereka dari nol, memastikan Rina dan Dion tidak kekurangan apa pun.
Tapi suatu hari, semua yang ia yakini hancur dalam sekali pukul.
Flashback - Bertahun-tahun lalu
Malam itu Dominic pulang lebih awal dari biasanya. Ia ingin memberikan kejutan kecil untuk istrinya, makan malam romantis, hanya mereka berdua.
Dion sedang menginap di rumah kakek-neneknya, jadi ini adalah momen yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama.
Tapi langkahnya terhenti di depan pintu kamar mereka.
Ada suara asing.
Suara seorang pria.
"Aaah! Nikmat sekali sayang... Teruslah bergoyang diatas milikku!"
"Aaahh!"
"Ashh!"
Darah Dominic mendidih seketika. Dengan jantung berdebar kencang, ia membuka pintu dengan keras dan di sanalah Rina, dengan pria lain.
Dominic tidak bisa berkata-kata. Tubuhnya kaku, matanya menatap dengan nanar pada pemandangan yang merobek hatinya.
"Dom… aku bisa jelaskan!" Rina buru-buru menarik selimut, wajahnya panik.
Tapi Dominic tidak ingin penjelasan. Tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi.
"Aku sudah memberikan segalanya untukmu, dan ini yang kau lakukan?" suaranya bergetar, matanya dipenuhi kemarahan dan kepedihan.
Pria itu buru-buru mengenakan pakaiannya dan pergi tanpa sepatah kata pun. Dominic tidak peduli siapa dia. Matanya hanya tertuju pada wanita yang dulu ia anggap sebagai dunia.
Rina menangis. "Aku khilaf, Dom! Aku… aku akan berubah! Aku bersumpah!"
Dominic mengepalkan tangannya, berusaha menahan gejolak di dadanya.
"Berubah?" Ia tertawa pahit. "Kamu sudah menghancurkan semuanya, Rina."
"Aku melakukannya karena aku merasa kesepian! Kamu selalu sibuk! Aku butuh seseorang… aku butuh perhatianmu!" Rina menjerit, air matanya jatuh deras.
Dominic menggeleng. "Jadi ini salahku?"
Rina terisak. "Aku hanya ingin kamu melihatku lagi seperti dulu…"
Malam itu, Dominic pergi dari rumah mereka. Ia tidak sanggup tidur di bawah atap yang sama dengan wanita yang telah menghancurkan kepercayaannya.
Tapi ketika pagi datang, Rina mendatanginya dengan wajah penuh air mata.
"Aku tidak bisa kehilanganmu, Dom… aku akan berubah, aku janji. Demi Dion," bisiknya.
Dion.
Hanya karena putra kecil mereka, Dominic memutuskan untuk bertahan. Tapi setelah itu, segalanya tidak pernah sama lagi. Cintanya memudar, berganti dengan rasa hampa yang semakin besar seiring waktu berjalan.
Kembali ke masa sekarang
Dominic mengusap wajahnya dengan lelah. Semua ingatan itu kembali, dan ia sadar… ia seharusnya mengakhiri semuanya sejak dulu.
Kini, ia sudah menemukan kebahagiaannya bersama Hana.
Dan kali ini, ia tidak akan membuat kesalahan yang sama.
Dominic berdiri di depan jendela apartemennya, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang masa lalu, tentang kesalahan yang tidak akan pernah ia lupakan.
Ia sudah berusaha melupakan semuanya, tapi Rina kembali mengungkit sesuatu yang sudah seharusnya berakhir.
Tadi, saat mereka menelfon untuk membahas perceraian, Rina menangis. Seperti dulu. Seperti saat ia tertangkap basah.
"Kamu serius mau bercerai, Dom?" suara Rina bergetar.
"Aku sudah mengatakannya berkali-kali, Rina. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini."
"Karena Hana?"
Dominic menatapnya tajam. "Bukan hanya karena Hana. Ini karena kamu juga. Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan bertahun-tahun lalu?"
Rina terdiam. Matanya membulat, tapi tidak bisa menyembunyikan ketakutan di dalamnya.
"Kamu selingkuh, Rina. Dan bukan sekali. Lebih dari dua kali."
Air mata Rina mengalir lebih deras.
"Aku tahu semuanya," lanjut Dominic, suaranya dingin. "Aku diam karena Dion. Aku tetap tinggal karena dia. Tapi aku mati rasa padamu sejak lama."
Rina menutup mulutnya, tubuhnya bergetar.
"Apa aku harus mengatakan semuanya pada Dion? Tentang bagaimana ibunya mengkhianati ayahnya lebih dari satu kali? Apa aku harus membiarkan dia tahu betapa aku sudah mati rasa sejak dulu?"
Rina menjerit. "Jangan!"
Dominic mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan emosinya.
"Dion berhak tahu ibunya seperti apa."
"Dia akan membenciku, Dom! Tolong, jangan lakukan itu…"
Dominic menggeleng. "Aku tidak peduli lagi, Rina. Aku hanya ingin semua ini berakhir. Aku ingin hidupku kembali. Dan yang pasti, aku tidak akan meninggalkan Hana."
Dominic menghela napas panjang. Tangannya mengepal di jendela, dan dalam kepalanya, bayangan Hana muncul.
Wanita itu adalah awal yang baru untuknya.
Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan itu.
Dion berdiri di ambang pintu ruang tamu, menatap ibunya yang merobek-robek kertas di tangannya. Napas Rina memburu, wajahnya merah padam, dan matanya sembab.
"INI SEMUA SALAH DOMINIC!" teriaknya, melemparkan vas bunga ke dinding hingga pecah berkeping-keping.
Dion memejamkan mata sesaat. Hatinya terasa sesak melihat ibunya yang selama ini selalu berusaha tegar, kini hancur berantakan.
"Bu, tolong tenang dulu..." katanya, mencoba mendekati Rina.
Namun, wanita itu menepis tangannya dengan kasar. "TENANG? KAMU MEMINTAKU UNTUK TENANG, DION? LIHAT INI!"
Dengan tangan gemetar, Rina mengangkat lembaran kertas yang tadi dirobeknya, surat gugatan cerai dari Dominic.
Dion merasakan amarah membakar dadanya. Ia tahu ayahnya serius kali ini. Tak ada lagi keraguan dalam keputusan itu.
"Dia benar-benar akan meninggalkan kita...Dan semua ini karena perempuan itu! Hana!" bisik Rina lirih, sebelum kembali menatap Dion dengan mata merah.
Dion mengepalkan tangannya. Hana. Nama itu kini terasa seperti racun di telinganya.
"Dia telah mengambil segalanya dariku..." gumam Dion, suaranya dingin.
"Dia mengambil ayahmu! Dulu aku bersumpah untuk mempertahankan keluargaku, tapi lihatlah, Dion! Aku kalah! Aku kalah dari perempuan itu!" seru Rina penuh dendam.
Dion menatap ibunya yang terduduk di lantai, menangis tak terkendali. Hatinya terasa tercabik.
Dalam pikirannya, hanya ada satu hal yang terus berputar, Hana harus pergi.
Ia harus membuat Hana merasakan kehancuran yang sama seperti yang dialami ibunya.
Hana baru saja keluar dari kelas ketika tiba-tiba lengannya ditarik dengan kasar.
"Ikut gue!" suara Dion terdengar penuh amarah.
Hana tersentak, menoleh dan melihat wajah Dion yang memerah, rahangnya mengeras, dan matanya menyala penuh kemarahan.
"Dion! Apa-apaan ini?! Lepasin aku!" Hana berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Dion begitu kuat.
"Hey! Lo kenapa sih?!" Marini yang berjalan di sampingnya segera menepis tangan Dion.
Dion menoleh tajam ke arah Marini. "Ini bukan urusan lo! Gue cuma mau bicara sama Hana!"
Hana menggeleng. "Aku gak ada urusan sama kamu, Dion! Lepas!"
Namun, Dion tak peduli. Ia menarik Hana semakin kuat, membuatnya terseret beberapa langkah.
"Dion, lo udah gila?!" Marini berteriak, menarik perhatian beberapa mahasiswa di sekitar mereka.
Hana merasakan ketakutan menjalari tubuhnya. Dion bukan seperti ini sebelumnya. Pria yang dulu pernah ia cintai kini terlihat seperti seseorang yang tidak ia kenal.
"Gue cuma mau bicara!" desis Dion sambil terus menyeret Hana ke sudut lorong yang lebih sepi.
"Bicara apa?!" Hana berusaha melepaskan diri, tapi Dion semakin mempererat genggamannya.
Dion mendorong Hana ke dinding, menatapnya dengan mata penuh luka dan kebencian.
"Kenapa, Hana? Kenapa lo harus hancurin keluarga gue?!"
Hana terperanjat. "Apa? Aku gak ngerti maksud kamu!"
Dion mencibir. "Jangan pura-pura polos! Karena lo, nyokap gue sekarang hancur! Karena lo, ayah gue ninggalin kita! Lo puas, hah?!"
Air mata Hana menggenang di matanya. "Aku gak pernah mau merusak keluarga kalian, Dion. Aku hanya mencintai Dominic... Itu salah?"
Dion tertawa sinis. "Cinta? Lo pikir lo siapa? Lo cuma cewek murahan yang udah ngerusak semuanya!"
Tamparan keras mendarat di pipi Dion.
Hana menatapnya dengan napas memburu, air mata mengalir di pipinya. "Jangan pernah bilang aku murahan, Dion. Aku mencintai Dominic bukan untuk menghancurkan siapapun!"
Dion terdiam, memegang pipinya yang panas karena tamparan itu.
Marini yang sejak tadi berlari menyusul, akhirnya sampai dan menarik Hana menjauh. "Hana, udah! Jangan dengar omongannya!"
Hana masih menatap Dion dengan mata berkaca-kaca.
"Aku harap suatu hari kamu sadar, Dion. Bahwa yang menghancurkan keluarga kamu bukan aku, tapi kebencian kamu sendiri."
Dion hanya bisa berdiri diam, menatap punggung Hana yang perlahan menjauh.
"Sinting!" Marini menatap Dion penuh amarah.
Bersambung...