NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balkon

Acara reuni sudah berjalan hampir dua jam. MC sedang mengumumkan games untuk menebak foto masa SMA siapa yang paling berubah, siapa yang masih sama, siapa yang dulu culun sekarang jadi sukses. Tawa riuh memenuhi ballroom, diikuti sorak-sorai dan tepuk tangan.

Tapi Indira merasa... bosan.

Bukan bosan dalam artian tidak senang. Ia senang bertemu teman-teman lama, senang mendengar cerita mereka, senang tertawa bersama. Tapi setelah dua jam terus-menerus berbincang, berfoto, menyapa orang demi orang, Indira merasa butuh udara segar. Butuh ketenangan sejenak.

Ia menoleh ke Rani yang sedang asyik bercanda dengan teman-teman satu geng dulu, lalu perlahan berdiri dari kursinya.

"Ran," bisiknya, "aku ke balkon sebentar. Butuh udara."

Rani melirik dengan wajah khawatir. "Kamu oke?"

"Iya, cuma butuh sepi sebentar. Aku balik nanti."

"Oke. Jangan lama-lama, nanti ada pengumuman door prize," Rani tersenyum.

Indira mengangguk, mengambil clutch-nya, lalu berjalan menuju pintu kaca besar di sisi ballroom yang menuju ke balkon outdoor. Beberapa orang melirik saat ia lewat, wanita cantik dalam gaun hijau zamrud yang berjalan dengan anggun tapi tidak ada yang mengikuti.

Pintu kaca terbuka dengan geseran lembut. Udara malam Jakarta langsung menerpa wajahnya, udara yang lebih dingin dari dalam ballroom ber-AC, tapi segar. Balkon hotel di lantai dua ini cukup luas, dengan pagar besi tempa yang elegan dan beberapa pot tanaman hias. Pemandangan kota Jakarta di malam hari terbentang, gedung-gedung tinggi dengan lampu berkelap-kelip, jalan raya yang ramai dengan lalu lintas.

Indira berjalan ke tepi balkon, bersandar di pagar, menatap keluar dengan pikiran yang melayang. Angin malam berhembus lebih kencang di sini, membuat rambutnya yang tergerai berkibar sedikit, membuat kulitnya merinding.

Ia memeluk dirinya sendiri dengan tangan, mencoba menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan. Gaun one shoulder ini memang cantik tapi tidak terlalu praktis untuk cuaca dingin.

Tapi Indira tidak mau kembali ke dalam. Belum. Ia butuh momen ini, momen kesendirian di tengah keramaian, momen untuk bernapas dan berpikir.

Suara pintu kaca yang terbuka membuat Indira menoleh sedikit. Seseorang keluar ke balkon. Dan jantung Indira langsung berdegup lebih cepat saat ia mengenali siluet yang familiar.

Adrian.

Ia berjalan mendekat dengan langkah santai tanpa Raka asistennya kali ini. Hanya Adrian sendirian, dengan tangan yang memegang jas hitamnya yang sudah ia lepas.

"Kedinginan?" tanya Adrian sambil berhenti di samping Indira.

Sebelum Indira bisa menjawab atau bahkan bereaksi, Adrian sudah meletakkan jasnya di pundak Indira dengan gerakan yang sangat natural, sangat familiar. Seperti sesuatu yang sudah ia lakukan ribuan kali dulu.

Kehangatan jas itu masih menyimpan kehangatan tubuh Adrian, langsung membungkus tubuh Indira yang kedinginan. Aroma cologne Adrian yang maskulin dan lembut tercium samar, aroma yang entah kenapa membuat Indira merasa... aman.

Indira menoleh menatap Adrian dengan mata terbelalak, terkejut dengan gesture tiba-tiba itu. "Adrian, kamu tidak usah..."

"Aku tidak kedinginan," potong Adrian sambil tersenyum. "Kemeja lengan panjang cukup hangat untukku. Lagipula, aku tidak bisa membiarkan kamu kedinginan sendirian di sini."

Jantung Indira menghangat. Bukan hanya karena jas yang membungkus tubuhnya, tapi karena... Adrian. Adrian yang masih sama perhatiannya seperti dulu. Adrian yang masih ingat bahwa Indira selalu kedinginan kalau ada angin.

Mereka berdiri dalam keheningan, keheningan yang tidak awkward, tapi justru nyaman. Sama-sama menatap pemandangan kota, sama-sama menikmati udara malam yang segar.

Detik berlalu. Menit berlalu.

Akhirnya Indira yang membuka suara pelan, hampir tertelan angin.

"Adrian," panggilnya tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan di depan. "Aku... minta maaf."

Adrian menoleh, menatapnya dengan kerutan di dahi. "Maaf untuk apa?"

"Untuk dulu," Indira akhirnya menatapnya, mata bertemu mata. "Untuk cara aku putus dengan kamu. Untuk cara aku pergi tanpa benar-benar memberikan kesempatan untuk long distance relationship. Untuk... menyakitimu."

Adrian diam sejenak, mencerna kata-kata itu. Lalu ia tersenyum lembut tanpa dendam.

"Wah," ucapnya dengan nada bercanda, "tumben ada wanita yang mau minta maaf duluan. Biasanya kan ego wanita tinggi, susah minta maaf."

Indira tersentak, lalu tiba-tiba ia tertawa. Tertawa yang lepas, yang tulus, yang membuat seluruh beban di dadanya terasa ringan seketika. Dan tanpa sadar, refleks yang dulu selalu ia lakukan, tangannya terayun dan memukul lengan Adrian dengan ringan.

"Dasar!" ucapnya sambil masih tertawa. "Aku serius di sini!"

Begitu menyadari apa yang baru saja ia lakukan, refleks memukul lengan Adrian seperti dulu saat mereka pacaran, Indira langsung membeku. Tangannya berhenti di udara, wajahnya memerah.

"Maaf," ucapnya cepat sambil menarik tangannya. "Maaf, aku tidak bermaksud, itu refleks...aku..."

"Hey," Adrian menangkap tangannya yang mau ditarik, genggaman yang hangat, yang lembut. "Tidak apa-apa. Serius. Aku tidak keberatan."

Ia melepaskan genggamannya perlahan, memberikan ruang untuk Indira. Tapi senyumnya bertahan, senyum yang penuh dengan... kehangatan. Nostalgia. Dan mungkin hanya mungkin sedikit harapan.

"Aku senang," ucap Adrian sambil bersandar di pagar, menatap Indira dengan tatapan yang lembut. "Senang melihat kamu tertawa seperti itu lagi."

Indira mengernyit sedikit. "Seperti apa?"

"Lepas," jawab Adrian. "Tulus. Bahagia. Tidak seperti tadi di dalam ballroom, senyum yang sopan, tawa yang dibuat-buat. Tapi tawa barusan... itu tawa yang tulus. Tawa yang aku rindukan."

Indira menatapnya dengan bingung. "Bagaimana kamu tahu? Bagaimana kamu tahu kalau tadi aku tidak benar-benar tertawa?"

Adrian menatapnya intens, yang membuat Indira tidak bisa mengalihkan pandangan.

"Dari matamu," jawabnya dengan simpel. "Aku selalu bisa lihat dari matamu, Dira. Mata adalah jendela jiwa, kan? Dan matamu... tidak bohong. Tadi di dalam, kamu tersenyum tapi matamu tidak ikut tersenyum. Matamu terlihat... lelah. Sedih. Seperti ada beban berat yang kamu tanggung sendirian."

Indira terdiam. Karena Adrian benar. Sangat benar. Dan itu membuat dadanya sesak, sesak karena ada orang yang masih bisa membacanya dengan sempurna setelah hampir sepuluh tahun tidak bertemu.

"Tapi barusan," lanjut Adrian dengan senyum, "saat kamu tertawa dan mukul lengan ku, matamu ikut tertawa. Matamu terlihat hidup. Itulah Indira yang aku kenal. Indira yang ceria, yang spontan, yang tidak takut menunjukkan perasaannya."

Indira merasakan matanya mulai memanas. "Adrian..."

"Aku tidak minta penjelasan," Adrian mengangkat tangannya. "Apapun yang kamu hadapi sekarang, apapun yang membuat matamu terlihat sedih seperti itu, itu urusanmu. Aku tidak akan maksa kamu untuk cerita. Aku cuma mau kamu tahu... aku senang bisa lihat kamu tertawa lagi. Meskipun hanya sebentar."

Indira tersenyum, senyum yang kali ini tulus, hangat. "Terima kasih."

"Sama-sama."

Mereka kembali menatap pemandangan kota dalam keheningan yang nyaman. Angin masih berhembus, tapi Indira tidak kedinginan lagi, jas Adrian dan kehangatan percakapan mereka sudah cukup.

"Dira," Adrian berbicara lagi setelah beberapa menit. "Boleh aku minta nomor ponselmu?"

Indira menoleh. "Untuk apa?"

"Untuk... tetap kontak?" Adrian tersenyum yang sedikit gugup, seperti remaja yang minta nomor gebetannya. "Aku ingin kita tetap berkomunikasi. Sebagai teman. Catch up sesekali. Minum kopi bareng. Atau sekedar chat. Kalau kamu tidak keberatan."

Indira memikirkannya sejenak. Apakah ini ide yang baik? Menjalin pertemanan dengan mantan yang dulu ia cintai? Sementara hidupnya sekarang sedang kacau dengan drama Rangga dan Ayunda?

Tapi kemudian ia melihat mata Adrian, mata yang tulus, yang tidak menuntut apapun, yang hanya menawarkan... pertemanan. Dan Indira menyadari ia butuh ini. Butuh teman. Butuh seseorang yang bisa membuatnya tertawa lepas tanpa beban. Butuh kenyamanan yang bahkan ia sendiri belum sadari.

"Oke," akhirnya Indira mengangguk. "Boleh."

Wajah Adrian langsung cerah. Ia mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Indira. "Ketik nomormu di sini. Nanti aku akan save dan SMS kamu."

Indira mengambil ponsel itu, mengetik nomornya dengan jari yang sedikit gemetar bukan karena dingin, tapi karena... nervous. Setelah selesai, ia mengembalikan ponsel itu pada Adrian.

"Done," ucapnya.

Adrian menatap layar ponselnya, tersenyum puas saat melihat nomor Indira tersimpan dengan nama "Indira Zamora" dan emoji bintang di sampingnya. "Perfect. Nanti aku SMS ya, jadi kamu punya nomor ku juga."

"Oke," Indira tersenyum.

"Oh ya," Adrian menatapnya lagi. "Kamu pulang naik apa nanti? Aku bisa antar kalau kamu mau."

"Tidak perlu," Indira menggeleng. "Ada supir yang antar aku tadi. Dia akan tunggu sampai acara selesai."

"Oh," Adrian terlihat sedikit kecewa, hanya sedikit. "Oke. Aku tidak mau maksa."

"Terima kasih sudah menawarkan," ucap Indira tulus.

Adrian menatapnya, tatapan yang panjang, yang penuh dengan emosi yang tidak terucapkan. Lalu ia tersenyum lembut yang membuat hati Indira menghangat.

"Aku senang bisa bertemu dan ngobrol dengan kamu lagi, Dira," ucapnya dengan suara yang lembut. "Sangat senang. Bahkan hanya ini saja sudah cukup membuatku bahagia."

Indira merasakan dadanya sesak tapi bukan sesak yang menyakitkan. Sesak yang hangat. Sesak yang... membuat ia merasa hidup lagi.

"Aku juga senang," jawabnya jujur. "Senang bisa bertemu kamu lagi, Adrian."

"Bagus," Adrian tersenyum lebar. "Kalau begitu, mari kita masuk lagi sebelum Rani mencari-cari kamu dan mengira aku menculikmu."

Indira tertawa, lagi-lagi tertawa yang tulus. "Rani pasti sudah curiga sekarang."

"Biarkan dia curiga," Adrian bercanda sambil membukakan pintu kaca untuk Indira. "Itu membuat hidup lebih menarik."

Mereka masuk kembali ke ballroom yang masih ramai dengan games dan tawa. Beberapa orang melirik saat melihat Indira memakai jas pria dan mata mereka langsung tertuju pada Adrian yang berjalan di sampingnya dengan kemeja tanpa jas.

Rani langsung menyeringai dari mejanya, senyum yang mengatakan "AKU TAHU APA YANG TERJADI DI LUAR SANA."

Tapi Indira tidak peduli. Ia merasa... ringan. Lebih ringan dari sebelumnya. Ada sesuatu tentang percakapan dengan Adrian tadi, tentang cara ia bisa tertawa lepas, tentang cara Adrian masih bisa membacanya dengan sempurna yang membuat ia merasa... seperti dirinya sendiri lagi.

Bukan CEO Zamora Company yang tegas dan dingin.

Bukan istri yang dikhianati yang penuh dendam.

Tapi Indira. Hanya Indira. Wanita yang bisa tertawa, yang bisa merasa hangat, yang bisa merasakan kenyamanan di samping seseorang.

Dan kenyamanan itu... bahkan ia sendiri belum sadari adalah sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Sesuatu yang mungkin, hanya mungkin ia butuhkan untuk menyembuhkan luka-lukanya yang dalam.

1
rian Away
awokawok Rangga
Ariany Sudjana
itu hukum tabur tuai Rangga, terima saja konsekuensinya. Indira kamu sia-siakan demi batu kerikil
yuni ati
Menarik/Good/
Ma Em
Alhamdulillah Indira sdh bisa keluar dari rumahnya, Rani emang sahabat terbaik , pasti Rangga kaget pas buka kamar Indira sdh pergi .
Wulan Sari
ceritanya semakin kesini semakin menarik lho bacanya, seorang istri yg di selingkuhi suami,bacanya bikin greget banget semoga yg di aelingkuhi lepas dan cerita akhirnya happy end semangat 💪 Thor salam sukses selalu ya ❤️👍🙂🙏
Wulan Sari
suka deh salut mb Indira semangat 💪
Ma Em
Makanya Rangga jgn sok mau poligami yg akhirnya akan membawamu pada penyesalan , kamu berbuat sesuka hati membawa istri keduamu tinggal bersama Indira istri pertamamu dan mengusirnya dari kamarnya dan malah tinggal dikamar tamu kan kamu gila Rangga , emang Indira wanita hebat dimadu sama suami tdk menangis tdk mengeluh berani melawan berani bertindak 👍👍💪💪
Nany Susilowati
ini novel tahun berapakah kok masih pake SMS
Ariany Sudjana
Rangga bodoh, apa dengan mengunci Indira di kamar tamu, maka Indira akan berubah pikiran? justru akan membuat Indira semakin membenci Rangga
Ma Em
Semoga Indira berjodoh dgn Adrian setelah cerai dgn Rangga .
Ariany Sudjana
Indira harus bercerai dari Rangga, ngapain juga punya suami mokondo, dan juga kan Rangga sudah punya Ayunda. lebih baik Indira kejar kebahagiaan kamu sendiri, apalagi kamu perempuan yang mandiri. masih ada Adrian, yang lebih pantas jadi suami kamu, dan yang pasti lebih berkelas dan bertanggung jawab
Dew666
🥰🥰🥰
Mundri Astuti
mending kamu pisah dulu Dira sama si kutil, biar ga jadi masalah ntar klo sidang cerai
Wulan Sari: iya cerai saja buat apa RT yang sudah ada perselingkuhan sudah tidak kondusif di teruskan juga ga baik mana ada seorang wanita di selingkuhi mau bersama heee lanjut Thor semangat 💪
total 1 replies
Ariany Sudjana
Rani benar Indira, jangan terus terpuruk dengan masalah rumah tangga kamu. kamu perlu keluar dari rumah toxic itu, perlu waktu untuk menyenangkan diri kamu sendiri. kamu tunjukkan kamu perempuan yang tegar, kuat dan mandiri
Ma Em
Rangga lelaki yg banyak tingkah punya usaha baru melek saja sdh poligami , Indira saja sang istri pertama tdk pernah dikasih nafkah eh malah mendatangkan madu yg banyak maunya yg ingin menguasai segalanya , Ayunda kira nikah dgn Rangga bakal terjamin hidupnya ga taunya malah zonk
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas sama itu pelakor. urusan rumah tangga dan cari pembantu bukan urusan kamu lagi, tapi urusan Ayunda, yang katanya ingin diakui jadi nyonya rumah 🤭🤣
Ma Em
Indira hebat kamu sdh benar kamu hrs berani melawan ketidak Adilan dan mundur itu lbh baik serta cari kebahagiaanmu sendiri Indira daripada hidupmu tersiksa 💪💪💪
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas dan tetap berdiri tegak, di tengah keluarga yang mengagungkan nama baik, tapi tingkah laku keluarga itu yang menghancurkan nama baik itu sendiri. sudah Indira, tinggalkan saja Rangga, masih banyak pria mapan yang lebih bertanggung jawab di luar sana dan tidak sekedar menghakimi kamu
Ariany Sudjana
itulah hukum tabur tuai, Rangga sudah memilih Ayunda jadi istrinya, ya terima semua kelebihan dan kekurangannya, jangan mengeluh dan jangan berharap Indira akan berubah pendirian
Dew666
😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!