Ava Seraphina Frederick (20) memiliki segalanya kekayaan, kekuasaan, dan nama besar keluarga mafia. Namun bagi Ava, semua itu hanyalah jeruji emas yang membuatnya hampa.
Hidupnya runtuh ketika dokter memvonis usianya tinggal dua tahun. Dalam putus asa, Ava membuat keputusan nekat, ia harus punya anak sebelum mati.
Satu malam di bawah pengaruh alkohol mengubah segalanya. Ava tidur dengan Edgar, yang tanpa Ava tahu adalah suami sepupunya sendiri.
Saat mengetahui ia hamil kembar, Ava memilih pergi. Ia meninggalkan keluarganya, kehidupannya dan juga ayah dari bayinya.
Tujuh tahun berlalu, Ava hidup tenang bersama dengan kedua anaknya. Dan vonis dokter ternyata salah.
“Mama, di mana Papa?” tanya Lily.
“Papa sudah meninggal!” sahut Luca.
Ketika takdir membawanya bertemu kembali dengan Edgar dan menuntut kembali benihnya, apakah Ava akan jujur atau memilih kabur lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Aroma antiseptik yang tajam menusuk indra penciuman, seolah mempertegas batas antara hidup dan mati. Di depan ruang laboratorium, dokter keluar dengan selembar kertas yang akan menentukan masa depan keluarga kecil itu.
"Hasil tes HLA sudah keluar. Hanya ada satu kecocokan yang sempurna. Tuan Edgar Anderson, sumsum tulang belakang anda adalah pasangan yang tepat untuk Luca. Kita akan melakukan prosedur transplantasi malam ini juga karena kondisi Luca terus menurun."
Ava yang duduk di kursi tunggu langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air matanya pecah seketika.
Perasaan bersalah, lega, dan takut bercampur menjadi satu pusaran emosi yang menyesakkan dada.
Pria yang selama tujuh tahun ia benci, pria yang ia anggap sebagai pengkhianat, justru menjadi satu-satunya malaikat pelindung bagi putranya.
Edgar berdiri tegak. Tidak ada keraguan di wajahnya.
"Lakukan apa pun yang harus dilakukan. Ambil apa pun dari tubuhku, asal Luca selamat," ucapnya tegas. Tatapannya beralih pada Ava, sejenak ia melihat kerapuhan wanita yang biasanya begitu keras kepala itu.
Persiapan operasi dilakukan dengan sangat cepat. Luca sudah dipindahkan ke brankar, wajahnya pucat pasi, hampir transparan di bawah lampu rumah sakit yang terang.
Lily berdiri di samping brankar, memegang erat jari-jari mungil kembarannya.
"Luca, jangan takut ya," bisik Lily, suaranya bergetar menahan tangis. "Papa akan memberikan super power-nya padamu. Nanti kalau Luca bangun, Luca akan jadi kuat seperti pahlawan di buku cerita."
Luca hanya mampu mengangguk lemah, matanya yang sayu menatap Lily dengan sisa-sisa tenaga.
"Lily... jangan menangis. Nanti mukamu jadi jelek," lirih Luca, masih sempat menunjukkan sisi dingin namun pedulinya.
Ava mendekat, mencium dahi Luca lama sekali. "Mama di sini, Sayang. Mama akan menunggumu di depan pintu ini. Jangan lepaskan tangan papamu di dalam sana, ya?"
Di sisi lain ruangan, Edgar sedang dipersiapkan untuk prosedur pengambilan sumsum tulang. Ia mengenakan baju operasi hijau. Sebelum perawat membawanya masuk, ia menyempatkan diri mendekati Ava.
"Ava," panggil Edgar.
Ava menoleh. Matanya sembab. Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun, tembok pertahanan Ava runtuh di depan Edgar.
"Kenapa kau melakukan ini? Kau bahkan baru tahu dia anakmu hari ini," bisik Ava dengan suara parau.
Edgar menatap Ava dalam-dalam. "Karena tanpa tes itu pun, darahku sudah mengenalinya. Aku tidak perlu waktu tujuh tahun untuk tahu bahwa dia adalah bagian dari diriku, Ava. Maafkan aku karena terlambat hadir di hidup kalian."
Ava tidak menjawab, namun ia membiarkan Edgar menggenggam tangannya sejenak sebelum perawat mendorong brankar Edgar menuju ruang operasi.
Pintu ruang operasi tertutup dengan bunyi berdebam yang berat. Lampu merah di atas pintu menyala, menandakan perjuangan hidup dan mati sedang berlangsung di dalam sana.
Ava ambruk di kursi tunggu. Lily langsung memeluk pinggang ibunya, menyembunyikan wajahnya di pangkuan Ava. Keduanya terisak dalam keheningan koridor yang mencekam.
"Ma, apakah Papa akan sakit setelah ini?" tanya Lily pelan.
"Tidak sayang. Papa hanya sedang berjuang untuk Luca, Lily. Kita harus berdoa supaya mereka berdua selamat," jawab Ava sambil mengelus rambut Lily.
Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ava menatap jarum jam di dinding yang bergerak lambat. Pikirannya melayang pada malam tujuh tahun lalu.
Jika saja ia tidak lari, jika saja ia jujur, apakah Luca harus menderita seperti ini?
Ava merasa menjadi ibu yang gagal karena tidak bisa memberikan kesehatan pada anaknya. Namun, di tengah kesedihan itu, terselip rasa syukur yang aneh. Ia melihat bagaimana Edgar tanpa ragu mempertaruhkan nyawanya sendiri demi anak yang belum pernah ia timang.
Edgar, pria yang ia anggap tak punya hati, kini sedang memberikan sumsum tulang belakangnya, inti dari kehidupannya untuk Luca.
"Ma, lihat," Lily menunjuk ke arah jendela besar di ujung koridor. Bintang-bintang tampak bersinar terang di langit malam yang pekat.
"Bintangnya banyak sekali. Luca bilang, kalau kita melihat banyak bintang, artinya malaikat sedang menjaga kita," ucap gadis itu lagi.
Ava tersenyum getir, memeluk Lily lebih erat. "Iya, Sayang. Malaikat sedang bekerja di atas sana."
Malam itu menjadi malam terpanjang bagi Ava. Antara rasa takut kehilangan dan harapan baru, ia menyadari bahwa takdir telah mengikatnya kembali dengan
Edgar melalui cara yang paling menyakitkan namun sekaligus paling indah. Mereka bukan lagi dua orang asing dengan masa lalu yang kelam, melainkan dua orang tua yang sedang bersatu demi nafas anak mereka.
"Semoga kalian baik-baik saja, Luca dan juga... Edgar." doa Ava dalam hati.
Operasi diperkirakan akan memakan waktu berjam-jam.
Ava dan Lily terus terjaga, menanti kabar yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
lanjut kak sem gat terus💪💪💪
apa² jgn² kamu menyukai ivy...
kl iya tamat lah riwayat mu jeremy
untung edgar cocok y coba kl ava ataupun edgar tidak cocok... pastinya mereka disuruh memilik anak lagi🤔
lanjut thor semngat💪💪💪