Bagaimana rasanya satu sekolah dengan pembunuh berantai? Ketakutan? Tentu nya perasaan itu yang selalu menghantui Shavinna Baron Maldives. Anak perempuan satu-satu nya dari keluarga mafia terkenal. Mungkin ini akan terdengar cukup aneh. Bagaimana bisa anak dari seorang mafia ketakutan dengan kasus pembunuhan anak SMA?
Bukan kah seharus nya ia sudah terbiasa dengan yang nama nya pembunuhan? Pasti begitu yang kalian semua pikirkan tentang Shavinna. Memang benar dia adalah anak dari seorang mafia, namun orang tua nya tak pernah ingin Shavinna tahu tentang mafia yang sebenarnya. Cukup Shavinna sendiri yang berfikir bagaimana mafia dari sudut pandang nya. Orang tua nya tak ingin anak mereka mengikuti jalan mereka nanti. Lalu bagaimana nya cara Shavinna menghadapi kasus pembunuhan yang terjadi di sekolah nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iqiss.chedleon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIMULAI
Saat Glori tiba di UKS, ternyata Sebastian dan Riki sudah tiba lebih dulu. Dan ternyata Shavinna juga sudah bangun dari tidurnya.
“Eh, Shavinna? Gimana badan mu? Udah enakan belum?” tanya Glori yang khawatir.
“Iya, aku udah mendingan kok. Makasih ya udah jagain aku, Glor,” ucap Shavinna dengan senyum manis nya.
“Itu ga seberapa. Aku malah kasian sama Riki yang udah gendong kamu kesini,” tambah Glori.
“Hah? Iya kah? Ih maaf ya aku nyusahin kalian. Aku berat ya Riki?” tanya Shavinna sambil melihat ke Riki.
“Uh, eh. Ga, ga berat,” balas Riki yang langsung mengalihkan pandangan nya.
Glori tersenyum puas melihat ekspresi Riki. Sudah jelas bahwa Riki sedang salting saat ini. Sedangkan Shavinna tertawa melihat muka Riki yang mulai memerah.
Di satu sisi Sebastian dan Seanna sibuk dengan dunia mereka sendiri.
“Diminum aja napa sih. Ga aku racunin juga kok. Kemarin aku dikasih tau, kata nya kalau makanan atau minuman rasa mint choco tuh menghambat perkembangan otak,” jelas Sebastian dengan wajah sok tahu.
“Dih, emang iya? Boong, ga ada bukti sama dengan boong. Ga mau minum, kamu aja yang abisin sana. Huh,” balas Seanna dengan raut wajah kesal.
“Ih sumpah, ini beneran. Yang ngomong orang terpecaya loh,” tambah Sebastian yang terlihat serius.
“Hah, emang iya? Pasti yang ngomong diri kamu sendiri, hih,” namun Sebastian malah menggeleng sehingga membuat Seanna penasaran.
“Yang bilang itu,” semua orang jadi fokus mendengar kan jawaban Sebastian.
“Ezra, hehe,” raut wajah semua orang langsung kesal mendengar jawaban Sebastian.
“HIH, STRESS. Jadi kalian ngatain perkembangan otak ku lambat gitu?” ucap Seanna yang bertambah kesal.
“Kan bukan aku yang bilang, tapi Ezra. Salahin dia lah,” bantah Sebastian.
Karena kesabaran Seanna sudah melampaui batas, ia menginjak pelan kaki Sebastian.
Semua orang sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Mereka sangat suka bertengkar di mana pun dan kapan pun. Walau akhirnya mereka berbaikan lagi, tapi Glori sudah cukup muak melihat tingkah mereka.
“Hih, orang gila. Ya kan Shav?” tanya Glori dengan tatapan geli.
Namun ketika ia melihat ke arah Shavinna, ternyata Shavinna sedang bercanda dengan Riki. Glori senang bisa melihat Shavinna tertawa lepas bersama Riki. Tapi di satu sisi Glori menyadari satu hal. Glori hanya menjadi nyamuk di tengah dua pasangan bahagia. Ia mulai merasa merinding berada di tengah-tengah mereka.
“Eh kamu bilang apa tadi, Glori?” tanya Shavinna.
“Ga, ga jadi. Aku mau beli minum dulu,” balas Glori yang tiba-tiba teringat sesuatu.
“Eh ga usah, Glor. Ini tadi Sebastian beli dua. Kamu mau yang mana? Ambil aja,” tawar Seanna.
“Ga, rasa stroberi kan itu? Aku ga suka. Lagian dia beliin buat kamu, habisin aja. Kasian loh udah ngantri buat beliin kamu es,” Sebastian merasa senang mendengar ucapan Glori yang berusaha membantu nya.
“Oke lah. Eh, bukan nya kamu tadi jajan ya? Kok ga dibawa ke sini? Apa kamu makan disana?” tanya Seanna pada Glori.
Sebastian awal nya ingin menjelaskan kejadian tadi. Namun tiba-tiba Glori memotong nya.
“Gapapa, tadi aku ga jadi ke kantin. Cuma muter-muter aja nyari udara segar,” balas Glori sambil memberi kan kode pada Sebastian.
“Kata Seanna tadi kamu pucet. Kamu gapapa kan, Glori?” tanya Shavinna yang merasa khawatir pada Glori.
“Ah, itu tadi udah mendingan. Aku udah minum obat kok,” jawab Glori.
“Kapan? Kok aku ga liat? Kamu dapet obat dari mana kalau ga dari UKS?” Seanna ikut khawatir pada Glori.
“Tadi kamu kemana habis dari kantin? Kok ilang gitu aja?” celetuk Riki tiba-tiba.
“Aih, apa sih kalian. Tadi pas aku ketemu Sebastian sama Riki di depan kantin, aku di ajak ngomong sama Evan. Terus aku di kasih obat deh sama dia. Udah ya, aku pergi dulu,” ucap Glori yang terlihat buru-buru pergi.
“Dia kenapa sih? Kok kaya nyembunyiin sesuatu gitu?” Shavinna benar-benar khawatir pada Glori saat ini.
“Udah deh, ga usah di perpanjang. Paling kecapean.” sahut Sebastian yang gantian membela Glori.
Disisi lain Jovan merasa frustasi di dalam kelas nya. Bel masuk sudah berbunyi dari tadi, namun Jovan tak melihat Sebastian masuk ke kelas. Jovan yakin Sebastian dan Riki pasti bolos dan menjenguk Shavinna di UKS.
“Cih, gara-gara cewe itu. Kenal aja ngga gue. Ish ngapain gue belain dia tadi? Gue kan cuma mau main-main. Napa si Glori jadi marah beneran, bikin stress aja.” Gumam Jovan sendiri. Teman-teman di sekitar Jovan berfikir bahwa ia sudah gila, karena berbicara sendiri. Karena sudah tak tahan lagi, Jovan memutuskan untuk izin keluar sebentar dari kelas nya. Ia melewati UKS untuk mengecek Glori. Namun hanya ada Shavinna, Seanna, Riki, dan Sebastian di dalam UKS itu. Jovan ingin bertanya, namun ia gengsi. Akhirnya Jovan mencari Glori sendirian.
Sayang nya Jovan sudah mencari Glori kemana-mana tapi tidak ketemu juga. Ia mulai khawatir, Jovan takut Glori pingsan entah dimana karena ia sangat pucat tadi. Jovan benar-benar putus asa, karena ia sudah mencari Glori di segala sudut sekolah. Jovan duduk di tangga dekat perpustakaan dan Lab IPA. Ada satu hal yang membuat Jovan terganggu. Mengapa ada bau yang sangat menyengat dari Lab IPA? Padahal saat Jovan melewati Lab IPA tadi, tak ada bau aneh dan Lab nya terkunci rapat.
“AHK!” tiba-tiba terdengar suara teriakan yang sangat kencang dari dalam Lab IPA.
Jovan langsung tahu itu suara siapa, yaitu Glori. Tanpa pikir panjang Jovan langsung masuk ke dalam Lab IPA.
“Glori?” sahut Jovan yang merasa khawatir.
Di dalam Lab IPA itu sangat gelap, Jovan mencoba menghidup kan lampu namun saklar nya seperti tak berfungsi. Ia menghampiri Glori yang terduduk lemas di bagian belakang Lab.
“Glori? Kamu kenapa? Glori?” ucap Jovan, namun tak ada reaksi dari Glori.
Glori seperti termenung melihat sesuatu di depan nya. Setelah Jovan perhatikan, ternyata itu adalah mayat yang di masukan ke dalam plastik besar. Dengan spontan Jovan menarik Glori menjauh. Karena teriakan Glori tadi, ada beberapa guru dan siswa yang datang ke Lab untuk mengecek apa yang terjadi. Dan tiba-tiba saja lampu hidup saat semakin banyak orang masuk kedalam Lab IPA. Terlihat jelas banyak darah yang menempel di rok Glori, karena ia terduduk di atas darah mayat itu. Bahkan tangan Glori juga dipenuhi darah. Dengan spontan para guru menyuruh murid-murid nya keluar dari Lab itu. Semua tatapan mata hanya tertuju pada Glori. Guru-guru menghampiri Jovan dan Glori, mereka bertanya apa yang terjadi sebenar nya. Melihat tatapan para guru kepada Glori, membuat diri nya tambah ketakutan.
“Bukan, bukan aku. Aku juga gatau, bukan aku. Bukan aku,” Glori berkali-kali mengulangi ucapan nya.
Glori takut orang-orang salah paham pada dirinya. Melihat Glori yang ketakutan membuat Jovan kesal dan menutupi Glori dengan kain penutup manekin. Jovan langsung menggendong Glori pergi. Meski sudah di hentikan oleh para guru, Jovan tetap tak peduli dan pergi begitu saja sambil membawa Glori. Ia menerobos kerumunan para siswa, tak ada yang berani mengikuti mereka karena tatapan mata Jovan yang mengerikan.
Jovan membawa Glori ke taman belakang. Ia melepaskan sepatu Glori yang dipenuhi darah. Lalu membasahi kain tadi untuk membersihkan rok Glori.
“Bukan aku, bukan aku. Aku ga tau kenapa ada mayat disitu,” ucap Glori dengan mata berkaca-kaca.
“Iya aku percaya. Udah ga usah dipikirin,” Jovan masih saja sibuk membersihkan tangan dan rok Glori.
Glori akhirnya menangis karena masih terkejut melihat mayat tadi. Sangat banyak bekas luka di mayat itu, yang jelas pembunuh nya sangat lah sadis. Tiba-tiba terdengar suara sirine yang masuk kedalam sekolah. Glori semakin khawatir, begitu pula Jovan. Jovan berusaha menenangkan Glori dengan menutup telinga nya Glori. Tubuh Glori benar-benar terasa dingin saat ini. Dan tangan Jovan yang hangat membuat Glori merasa cukup nyaman.