Berawal dari kematian tragis sang kekasih.
Kehidupan seorang gadis berparas cantik bernama Annalese kembali diselimuti kegelapan dan penyesalan yang teramat sangat.
Jika saja Anna bisa menurunkan ego dan berfikir jernih pada insiden di malam itu, akankah semuanya tetap baik-baik saja?
Yuk simak selengkapnya di novel "Cinta di Musim Semi".
_Cover by Pinterest_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon seoyoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 {Pertemuan pertama}
Di mobil yang dikendarai oleh Kayle Johansen.
“Ada tempat yang ingin kak Anna kunjungi lebih dulu sebelum pulang?
Barangkali kak Anna rindu makanan favorite kak Anna, atau mau ku rekomendasikan resto yang enak-enak masakannya,” seru Kayle penuh antusias, sementara Anna hanya terdiam sembari memandangi jalanan dari balik jendela dengan pandangan sendunya.
“Boleh, tapi sebelum itu, tolong antarkan aku dulu ke pemakaman xxx, aku akan memasukan alamatnya,” timpal Anna yang langsung memasukan alamat pemakaman tujuannya ke GPS mobil Kayle.
“Makam Bennedict?” tebak Kayle seraya melirik sesaat ke arah Anna yang kembali mengarahkan atensinya ke luar jendela.
“ya,” jawab Anna dengan nada datarnya.
“Hmmp … baiklah,” timpal Kayle setelah menghela nafas kasar mewakili rasa keberatannya lantaran Anna masih saja tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu yang hanya bisa menyesakan dadanya, dan tentunya akan membawanya kembali ke titik terlemah dalam penyesalan yang tiada akhir.
Setibanya mereka di tempat tujuan setelah menempuh kurang lebih 2 jam perjalanan.
Kayle memarkirkan mobilnya di area parkir, kemudian dilanjut dengan Anna yang melepas sabuk pengamannya tanda jika dirinya telah siap turun dari mobil.
“Tunggu disini aja Kay, (tahan Anna ketika ia melihat Kayle hendak melepas sabuk pengaman begitu mematikan mesin mobilnya) aku gak mau kau melihat sisi lemahku,” tambah Anna diiringi senyum getir kemudian lanjut mendorong pintu mobil.
“Tapi kak Anna,” kekeuh Kayle yang keberatan dengan keinginan Anna untuk pergi sendiri, ia khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada Anna, mengingat fakta yang disebutkan Brian sehari sebelumnya mengenai kelemahan Anna yakni buta arah. Terlebih pemakaman tersebut memang cukup luas dengan pepohonan besar yang menjulang tinggi, semakin membuat dirinya cemas.
“Aku gak akan lama kok, hanya ingin menyapa aja,” Anna tak kalah konsiten dengan keinginannya untuk pergi sendiri dan tak ingin di temani oleh Kayle.
“Tapi kak Anna bawa ponsel kan?” Kayle kembali memanggil Anna untuk memastikan wanita buta arah itu memiliki ponsel yang bisa berguna disaat darurat.
“Ya, ada disini,” ujar Anna seraya menunjukan tas kecil yang diselempangkannya, ia pun lantas pergi setelah menutup pintu mobil dan meninggalkan Kayle yang masih memperhatikan langkahnya dari dalam mobil.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Ahh iya, aku lupa, mungkin ponselku mati karena tak pernah aku charger,” gumam Anna di tengah perjalanannya yang mulai memasuki area pemakaman xxx.
Meski mengetahui jika ponsel nya mati, tak lantas membuatnya kembali memutar balik dan memberitahukannya pada Kayle, ia lebih memilih tetap melanjutkan tujuannya.
Bertemu dengan sang kekasih yang kini telah terbaring kaku di dalam peti, tenggelam dalam gundukan tanah merah serta rerumputan hijau yang menghiasi permukaan tempat tinggal abadinya.
Setelah kurang lebih 40 menit mencari, akhirnya Anna sampai juga di depan makam kekasihnya, Bennedict Von Herdhardt.
“Hai! Anak itik, (sapa Anna dengan panggilan yang biasa meraka lontarkan ketika hubungan asmara mereka masih baik-baik saja) bagaimana kabarmu?
Maaf, butuh waktu lama untuk aku bisa menemuimu, (ungkap Anna yang mulai tak kuasa menahan tangis pedih bercampur dengan penyesalannya, ia pun luruh dan bersimpuh di hadapan nisan Bennedict bersamaan dengan bulir air mata yang merembes dari kedua sudut matanya)
Maafkan aku Benn, maafkan aku sayang … hiksss!” Anna terduduk dengan posisi kedua kakinya yang ditekuk kemudian dipeluknya erat, ia menangis sejadi-jadinya, ketika cuplikan masa-masa bahagianya bersama Bennedict terus berputar tanpa henti layaknya radio rusak.
Terlebih ketika ingatan itu kembali pada momen dirinya menyaksikan sendiri bagaimana kekasih yang dicintainya itu terjatuh dan menghembuskan nafas terakhir di depan matanya, tanpa ada yang bisa ia lakukan.
Andai saja ia memiliki sebuah alat yang dapat memutar waktu, ia ingin kembali ke saat dimana kesalahpahaman itu bermula.
Sehingga insiden tragis ini tak akan menimpa pria nya. Pria yang selalu berusaha menjadi yang terbaik untuknya. Pria yang selalu memberikan dukungan moril dan suntikan semangat dengan raut wajah ekspresif nya. Kehadirannya sudah seperti bunga yang bermekaran di taman yang gersang.
Berkat kehangatan serta ketulusan Bennedict dalam mencintainya, Anna sudah tak lagi merasa sendiri dan kesepian.
Hari-harinya hanya dipenuhi limpahan kebahagiaan serta keceriaan semenjak kemunculan Bennedict di musim semi kala itu.
Sementara itu jauh di ujung sana, terlihat sesosok pria bertubuh tinggi besar tengah berdiri di samping sebuah pohon besar sembari terus memperhatikan gadis malang yang tengah bergelut dengan tangisan pedihnya.
Bukan rasa simpati atau iba yang dipasang oleh pria bersetelan jas lengkap itu, melainkan perasaan murka serta dendam yang begitu mendalam sampai membuat darahnya mendidih, dan kedua tangannya mengepal erat seolah ingin menghantam siapapun yang kini ada di hadapannya.
“Rencananya sudah rampung, (ujar karibnya Matthias yang tiba-tiba muncul di sampingnya) hanya tinggal menunggu mangsa masuk ke dalam umpan,” tambahnya yang kini ikut memperhatikan Anna dari kejauhan.
“Ya,” jawab pria yang memiliki mata setajam elang itu, ia hanya merespon seadanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari Anna.
“Tapi kalau di pikir-pikir, apa lo ga keterlaluan, gadis malang itu udah cukup menderita mendekam di penjara, dan sekarang baru aja keluar dari penjara, udah lo incar aja, seenggaknya kasih ruang dikit kek buat dia menikmati hidupnya,” celetuk Matthias, meski sebenarnya dia enggan menuruti keinginan Bastian untuk membalas dendam pada gadis malang tersebut, namun mau bagaimana lagi, keputusan dan tekad Bastian sudah bulat, ia hanya bisa pasrah dan mengikuti permainan Bastian.
“Tak perlu ikut campur,” timpal Bastian sarkas.
“Hmmp, (Matthias menggelang kepala di tengah tarikan nafas pasrahnya) sory aja nih, tapi menurut gue sebaiknya lo pertimbangin lagi dah! Memberikan gadis itu untuk menjadi santapan pria tua bangka menjijikan seperti pak Bromo, bukankah hanya akan merepotkan diri lo sendiri. Secara, kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang cukup berpengaruh, kau tidak bisa sembarangan mengusiknya,” Matthias mencoba membujuk Bastian sekali lagi sebelum terlambat bagi Bastian untuk menyesal.
“Jika kedua orang tuanya perduli, bukankah seharusnya mereka akan berusaha membebaskan putri kesayangannya? Bagaimana pun caranya.
Jelas, dia bukanlah putri kandung mereka,” Bastian menyimpulkan menurut opini nya sendiri.
“Apa?! Itu tidak mungkin, dari informasi yang gue dapet Anna adalah benar putri kandung pak Garendra, hanya saja memang ibu kandungnya telah meninggal saat usia nya 10 tahun, dan kini yang bersamanya adalah ibu tirinya, nyonya Claudine putri tunggal dari keluarga N.E Group,” Matthias memaparkan informasi akurat yang ia ketahui dari beberapa kolega nya yang dekat dengan keluarga Anna.
“Malangnya, (komen Bastian dengan nada sarkas serta seringai sinis yang terukir di wajahnya) jadi dia di telantarkan oleh ayah kandungnya sendiri,” celetuk Bastian yang tak hentinya memasang ekspresi aneh, layaknya seseorang yang tengah menikmati kebahagiaan melalui penderitaan orang lain.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah puas menumpahkan semua kesedihannya dan merasa sudah lebih baik, Anna pun lantas bangkit, ia memberikan salam terakhir dengan seulas senyum getir yang terukir di wajah sendunya. Sebelum pergi meninggalkan makam kekasihnya itu.
Dalam perjalanannya kembali, ia tak sengaja menabrak seorang pria yang berpapasan dengan nya.
Bruughhh! Terasa sangat menyakitkan seolah-olah pria itu dengan sengaja menyenggol bahu Anna yang memang sedang tidak fokus dengan jalanan di depannya.
“Argh!” Ringis Anna seraya memegangi bahunya.
“Ohh sory, sory! (panik pria tersebut seraya mengalihkan atensinya pada gadis yang baru saj bertabrakan dengannya) saya terlalu fokus pada ponsel, nona baik-baik saja?” tambahnya dengan raut wajah penuh kepura-puraan nya.
“Huh?” respon Anna yang lalu mengangkat wajah nya untuk melihat sosok pria yang baru saja memberikan hantaman keras di bahunya.
“Ahh iya, gak apa-apa, saya juga salah karena terlalu banyak melamun tadi,” respon Anna sopan seraya menganggukkan pelan wajahnya tanda perpisahan darinya.
Anna berlalu pergi sementara pria yang sengaja menabraknya tadi yang tak lain adalah Bastian Von Herdhadt masih tampak memperhatikannya dengan sorot mata tajam penuh amarah.
“Dia … sengaja,” gumam Anna pelan dalam perjalanannya menjauh dari pria asing tersebut.
Meski ia terlihat panik dan khawatir dengan reaksi hebohnya, namun Anna masih bisa menangkap dengan jelas melalui tatapan mata serta senyum tipis yang tergambar dalam paras tampannya. Pria itu … sangat mencurigakan.
Bersambung***