Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5—Pacaran Syar'i
..."Tidak ada batasan dan tidak ada dosa yang dituai. Itulah indahnya jika akad sudah dilangsungkan."...
...###...
Terbangun tepat di sepertiga malam terakhir sudah menjadi rutinitas. Sejenak bercengkrama dan mengadu pada Sang Pencipta menjadi sebuah keharusan. Walau hanya sebatas ibadah sunnah, tapi Allah tak pernah bermain-main dengan ganjarannya. Maka dari itu sebisa mungkin, kami menyisihkan waktu untuk menunaikannya.
Salat malam itu berat di awal, tapi menenangkan kala sudah menjadi sebuah kebiasaan, bahkan terasa hambar jika sampai tertinggal. Menjalankan ibadah memang tidak mudah, perlu keistiqomahan dalam prakteknya. Namun, jika hati sudah bersungguh-sungguh pasti akan dipermudah.
Bang Fariz memutar tubuh setelah selesai mengucapkan salam. Tak lupa dia pun menyodorkan tangannya untuk kusalami, dan aku langsung menerima uluran tersebut.
Kurasakan ubun-ubunku dielus dengan sangat lembut, bahkan lantunan doa itu menguar dari bibirnya. Inilah yang paling kusukai kala melaksanakan salat berjamaah bersama Bang Fariz. Dia selalu melafalkan berbagai doa untukku.
Setelahnya Bang Fariz menangkup wajahku dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi. Senyum manis terbingkai indah di sana, rasanya sangat meneduhkan dan menenangkan.
"Pagi ini Abang harus ke luar kota, ada pekerjaan yang harus Abang selesaikan di sana," katanya.
"Kenapa baru bilang sekarang?"
Bang Fariz terkekeh pelan lantas berujar, "Mendadak, baru semalam Abang dapat kabarnya."
"Berapa hari?"
"Tiga hari," jawabnya sembari tersenyum tipis.
"Lumayan lama itu, gak bisa digantikan sama orang lain emang?" selorohku sedikit merajuk.
Aku paling tidak suka ditinggal sendirian di rumah. Lebih tepatnya takut, dan bosan karena tidak ada teman berbincang. Biasanya Bang Fariz akan menolak jika ditugaskan ke luar kota, atau kalau memang sangat amat mendesak aku sejenak diungsikan ke rumah Ibu dan Bapak.
"Gak bisa, harus Abang yang ke sana. Nanti sebelum berangkat, Abang antar kamu ke rumah Ibu sama Bapak yah," cetusnya yang langsung kubalas gelengan.
Kening Bang Fariz mengernyit. "Kenapa?"
"Gak papa, gak mau aja."
Rasanya aku malu jika harus menginap di kediaman orang tuaku, terlebih ada tiga kakak lelakiku yang resek dan menyebalkan itu. Mereka selalu meledekku habis-habisan, menjadikan diri ini sebagai bahan perundungan.
Aku pun tak enak hati pada Bapak dan Ibu, sudah menikah tapi masih saja suka merepotkan. Mereka selalu memperlakukanku layaknya bocah lima tahun, bahkan untuk sekadar makan saja selalu disiapkan. Benar-benar sangat dimanjakan.
Bang Fariz menghela napas singkat. "Ya udah nanti Abang hubungi Mama supaya nginep di sini yah."
Aku kembali menggeleng. "Aku bisa sendiri kok."
"Emang berani?" Alisnya terangkat satu, bahkan nada bicara lelaki itu pun terdengar meragukan keputusan yang telah kuambil.
"Iya."
"Abang gak yakin!"
Aku berdecak pelan lalu berujar, "Gak usah sok tahu."
"Bukannya sok tahu, tapi kamu, kan penakut Kirania Pratista."
Aku memutar bola mata malas. "Iya, tapi aku gak mau ngerepotin Mama. Gak enak, lha, Bang."
Bang Fariz tertawa kecil dan menepuk lembut puncak kepalaku. "Gak akan kerepotan, yang ada juga Mama bakal kegirangan."
"Masa iya?"
Anggukan mantap Bang Fariz berikan. "Mama kesepian karena tinggal sendirian, kalau nginep di sini, kan kalian sama-sama diuntungkan. Kamu gak bosan, dan Mama ada teman."
Orang tua Bang Fariz berpisah saat usianya masih delapan tahun. Semenjak kejadian itu dia hidup berdua bersama mamanya. Memulai kehidupan baru dan sama-sama berjuang untuk bertahan hidup. Sempat terpuruk karena masalah ekonomi, tapi alhamdulilah Mama bisa bangkit lagi.
Perceraian menjadi mimpi buruk bagi semua anak, begitupun dengan Bang Fariz. Bahkan, sampai saat ini dia tak pernah bertemu dengan ayah kandungnya. Dia menutup semua akses komunikasi, dia ingin mengubur dalam-dalam luka hati.
Jika sang ayah begitu tega menelantarkan dia dan sang mama hanya karena wanita lain. Maka jangan salahkan dirinya jika detik itu juga kebencian mengakar kuat merasuk ke dalam jiwa.
Untuk bisa hidup berkecukupan, Mama harus berjuang mati-matian. Segala pekerjaan dilakoni agar mereka tetap bertahan sampai bisa seperti sekarang.
Perusahaan yang saat ini Bang Fariz pimpin pun hasil dari jerih payah Mama. Berkat kegigihan beliau, perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik itu bisa maju dan berkembang.
Belasan tahun Mama berjuang, dan baru sekitar lima tahun terakhir ini perusahaan itu memiliki nama besar. Beliau tipikal wanita pekerja keras, dan aku sangat kagum akan itu.
"Ya udah terserah, Bang Fariz aja," putusku akhirnya memilih untuk mengalah.
Bang Fariz mengangguk singkat. "Bantuin Abang packing, bisa?"
"Iya."
Kami sama-sama bangkit dan bergerak untuk menyiapkan perlengkapan Bang Fariz.
"Dicek dulu coba, siapa tahu ada yang kelupaan, kan?" kataku sebelum menutup koper miliknya.
"Sudah semua, lengkap," sahut Bang Fariz setelah memastikan semua kebutuhannya tersusun rapi di dalam sana.
"Kalau sudah sampai, kabari. Jangan buat aku khawatir," kataku saat kami duduk di tepi ranjang dan saling berhadapan.
Bang Fariz mengacak gemas puncak kepalaku yang masih tertutup mukena. "Abang masih di sini, belum pergi ke mana-mana."
Aku mendengkus kasar. "Ish, Bang Fariz nyebelin!"
Secara tiba-tiba Bang Fariz merengkuh tubuhku, sesaat aku menegang. Tapi, detik berikutnya aku pun membalas pelukan tersebut.
"Bakalan kangen pasti, Bang Fariz jaga diri baik-baik yah," ungkapku di balik punggungnya.
Walaupun kerapkali dibuat darah tinggi dan juga jengkel hati, tetap saja aku tak bisa berjauh-jauhan terlalu lama dengannya.
Sifat menyebalkan Bang Fariz akan kurindukan. Tingkah konyol yang kerapkali mewarnai hari-hari pun pasti akan sejenak menghilang.
"Ldr dulu pacarannya," cetus Bang Fariz setelah melepas pelukannya. Tak lupa dia pun mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepalaku.
Aku pun mengangguk singkat dan tersenyum lebar.
Pacaran setelah halal itu penuh kejutan. Saling mengenal satu sama lain, dan berusaha untuk menerima segala kekurangan serta kelebihan masing-masing. Tidak ada batasan dan tidak ada dosa yang dituai. Itulah indahnya jika akad sudah dilangsungkan.
Definisi PACARAN SYAR'I yang sesungguhnya.
"Salat subuhnya di rumah yah, Bang," pintaku seraya tersenyum tipis.
"Masa laki-laki salatnya di rumah. Sarung yang Abang pakai harus diganti mukena dulu dong kalau kayak gitu," kelakarnya disertai kekehan.
"Untuk kali ini aja, Bang."
Bang Fariz terlihat sejenak berpikir. "Mending kamu yang ikut Abang salat berjamaah di masjid. Abang ingin memakmurkan masjid, Sayang."
Aku menarik lepas kedua sudut bibirku. "Iya, gimana baiknya aja. Sebagai makmum aku ikut perintah imam."
"Ya udah siap-siap dulu gih, kaus kakinya jangan sampai tertinggal. Wudu di rumah, agar aurat kamu lebih terjaga," ucapnya yang langsung kuangguki.