Dipaksa pulang karena suatu perintah yang tak dapat diganggu gugat.
ya itulah yang saat ini terjadi padaku.
seharusnya aku masih berada dipesantren, tempat aku belajar.
tapi telfon hari itu mengagetkanku
takbisa kuelak walaupun Abah kiyai juga sedikit berat mengizinkan.
namun memang telfon ayah yang mengatas namakan mbah kakung tak dapat dibantah.
Apalagi mbah kakung sendiri guru abah yai semakin tak dapat lagi aku tuk mengelak pulang.
----------------------------------
"entah apa masalahmu yang mengakibatkan akhirnya kita berdua disini. tapi aku berharap kau tak ada niat sekali pun untuk menghalangiku menggapai cita2ku" kataku tegas. takada sama sekali raut takut yang tampak diwajahku
masabodo dengan adab kali ini. tapi rasanya benar2 membuatku ingin melenyapkan seonggok manusia didepanku ini.
" hei nona, bukankah seharusnya anda tidak boleh meninggikan suara anda kepada saya. yang nota bene sekarang telah berhak atas anda" katanya tak mau kalah dengan raut wajah yang entah lah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsa Salsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
BAB 5
Azan subuh berkumandang dengan begitu merdu diiringi dengan suara riuh para santri yang saling berdatangan ke dalam masjid. Derap langkah yang saling bersahutan satu sama lain memberikan irama yang khas.
Langit masih tampak gelap saat azan telah selesai berkumandang. Hawa dingin menusuk kulit hingga relung hatiku yang terdalam.
Percakapan tadi malam benar- benar membuatku tak bisa berkata apa- apa lagi. Marah pasti aku tak mau mengelak tentang itu dan pastinya semua orang akan sangat setuju dengan apa yang aku rasakan. Namun apa daya aku hanyalah seorang anak, aku hanyalah seorang santri biasa yang penuh dengan khilaf tanpa tepi.
Seorang anak pun juga santri yang hanya bisa sendhikho dhawoh atas semua dawuhan mereka yang pastinya telah memikirkan ini semua dengan begitu matang. Dengan Allah yang tanpa sekalipun mereka tinggalkan. Pastinya dengan sholat istikharah yang tentu tak hanya sakali dua kali mbak kakung lakukan untukku.
Siapa lah aku jika dibandingkan kepada mereka semua. Yang telah berkorban begitu banyak untukku.
Satu tetes lagi air mata yang jatuh tanpa kuminta dan ini bukanlah tetesan pertama atau malah akan menjadi tetesan terakhir dari mata ini. Tapi dalam relung hatiku yang terdalam kuberharap suatu saat nanti akan ada tetesan- tetesan air mata kebahagiaan bukan dengan rasa sakit sehebat ini.
“Kak ayo kita Shalat berjama’ah”. Kata ibu menghampiriku. Beliau yang semalam kulihat sama rapuhnya denganku karena aku tau beliau pun jugalah hanya seoran santri yang ingin memperoleh ridho sebanyak- banyaknya dari sang guru.
Dengan senyum yang tampak pilu ibu membarengiku menuju masjid pondok. Tempat yang juga akan menjadi saksi bisu berubahnya kehidupanku satu jam kedepan.
Iqamah bergema syahdu dengan perasaan yang semakin menyayat dalam relungku. Suara takbir sang imam yang sepertinya bukan mbah kakung atau putra- putra beliau. Sholat yang semestinya berakhir cepat karena hanya memerlukan dua roka'at itu terasa begitu lama dan tak berujung. Setiap gerakannya tak sama sekali membuatku tenang kali ini. Semakin banyak gerakan yang terlewati semakin rapuh hati ini untuk lekas menuju salam.
Salam telah terucap oleh imam di depan sana dengan lanjutan kalimat istigfar yang menggetarkan hatiku.
Tampa terasa dzikir setelah sholat telah selesai dibacakan. Aku dengan perasaan berkecamuk semakin tak kuasa saat lantunan doa terucap oleh imam yang sepertinya juga diucapkan dengan suaranya yang bergetar.
Suara ricuh terdengar samar di deretan shof putri. Namun itu tak lama. Sesaat suara ketukan mikrofon terdengar jelas. Tanda acara yang seharusnya menjadi acara yang paling kunanti akan terlaksana.
Degup jantung sudah tak dapat lagi kuatur ritmenya. Bukan karena aku takut sosok itu tak sesuai dengan kriteriaku atau tidak. Aku pun tak perduli soal tampang dan sebagainya. Yang kutakutkan apakah setelah ini aku masih bisa bebas seperti hari kemarin. Apakah setelah ini aku masih bisa melanjutkan pendidikanku. Atau apakah- apakah yang lain yang masih terus berputar- putar dalam benakku.
Suara lantang mbah kakung terdengar jelas ditelingaku. Tumpukan air mata sudah penuh menggenang berusaha menerobos turun sesuka mereka.
Saat suara mbah kakung telah digantikan oleh suara ayahku tangan ini mulai bergetar. Bergetar dengan seirama suara nan lembut yang terdengar bergetar. Apa mungkin ayah juga merasakan apa yang kurasakan saat ini?. Entahlah aku tak mau menerka- nerka.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq”.
Suara lantang itu menggema di sepenjuru pondok. Suaranya yang pertama kali kudengar. Suara orang tang telah mengambil semua tanggung jawab dari ayahku kepundaknya. Air mata ini jatuh setelah tertahan sesaat.
Wajah yang sama sekali dihiasi dengan riasan cantik. Wajah yang hampir tak pernah terkena segala bentuk dan jenis make up. Wajah yang entah mungkin akan menjadi wajah yang paling mengenaskan di hari yang seharusnya penuh dengan senyum kebahagiaan.
Ia datang tepat setelah doa dipanjatkan. Dengan disaksikan oleh ribuan mara yang memandang.
Tangan yang tampak mulai menyentuh ubun- ubunku. Tangan yang sama yang telah menjabat tangan ayahku. Kini ia mulai melantunkan doa agar semua ini menjadi berkah kedepannya. Aku tak mau berharap lebih tapi kuharap ia akan mau melakukan apa yang telah ayah amanatkan dengan baik itu kepadanya semaksimal mungkin.
Tangan itu mulai terulur kehadapanku membuatku mau tak mau menerimanya dengan penuh ta’dhin. Karena tak hanya seluruh tanggung jawab ayah saja yang berpindah kepadanya tapi juga surgaku telah berpindah pula kepadanya.
Aku tak mau membohongi diri ini tapi jujur aku tak mau mendongakkan wajahku di hadapannya kali ini. Tak mau melihatnya entah kenapa.
*******
Aku berjalan perlahan menuju penginapan sendirian. Acara itu telah usai sedari tadi. Telah banyak jamuan yang ternyata sudah dipersiapkan oleh mbah uti. Walau pun hanya beberapa orang yang menikmatinya tapi tadi kulihat ibu telah tersenyum tulus kepada besan dadakannya. Yang jujur saja baik menurutku.
Semua orang telah kembali saat jarum jam menunjuk pukul setengah delapan pagi. Namun aku masih tetap tinggal di sana. Mendengarkan begitu banyak nasehat dari mbah uti untukku. Yang pastinya semua nasehat itu berhubungan dengan pasangan. Tapi tak apa akan kuingat semua itu walaupun entah kapan akan ku amalkan.
“Aliya”. Panggil seseorang dari belakang tubuhku. Yang membuatku berhenti seketika saat kuingat dengan sang pemilik suara itu.
Yah orang yang telah menjadi suamiku beberapa jam yang lalu. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah di masjid tadi. Memang acara di kediaman mbah kakung saat jamuan pun para tamu putra dan putri terpisah jadi ya kami tak bersamaan tadi disana.
“Apa aku salah menyebutkan nama panggilanmu?”. Tanyanya untuk yang pertama kalinya dan pun juga percakapan pertama kalinya kami berdua.
Aku berbalik, menatapnya untuk pertama kali dengan perasaan yang masih campur aduk.
“Well, sepertinya kita harus berkenalan terlebih dulu”. Katanya mulai berjalan mendekat. “Istriku”. Tepat di samping telingaku kata itu terucap dengan sedikit senyum yang kurasa lebih kepada seringai kecil atau entahlah itu.
Aku masih diam menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari dalam mulutnya itu.
“Ok istri, aku Pramudipta. Kamu bisa memanggilku sesukamu”. Katanya lagi yang sepertinya sadar bahwa aku sedang tak mau mengatakan apa pun kepadanya.
“Apa perlu aku menjabarkan biodataku juga. Mungkin kali kau sebenarnya sangat penasaran denganku”. Katanya yang kesekian kali pun dengan seringai yang tampak begitu tengil dimataku.
kalo siang ada jadwal yang lebih penting.
makasih ya dukungannya🙏🙏🫶🫶