NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Kertas

Wanita Di Atas Kertas

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Aliansi Pernikahan / Mengubah Takdir / Wanita Karir
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Black moonlight

Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.

Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.

Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.

Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebenaran Tak Bisa Ditutupi

Sore itu, Brian pulang lebih awal dari biasanya. Langit berwarna jingga kemerahan, namun keindahan senja sama sekali tak bisa mengusir sesak di dadanya. Setiap langkah menuju pintu rumah terasa berat, seolah-olah ia sedang berjalan menuju ruang penghakiman.

Begitu pintu terbuka, Wisnu—ayahnya—sudah duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih dengan wajah yang tak kalah tegang dari Brian. Di sampingnya, ibunya, Ratna, tampak muram, memegang cangkir teh yang sudah dingin.

Tanpa berbasa-basi, Brian duduk di hadapan mereka. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang.

“Pah, Mah…” Brian membuka suara, parau. “Brian mau bicara.”

Wisnu mengangguk pelan. “Kami juga.”

Sejenak, keheningan menguasai ruangan.

“Brian sudah berpikir…” Brian melanjutkan, “Malam ini, waktu keluarga Naya datang untuk diskusi kedua, Brian mau kita jujur.”

Ratna terhenyak. “Jujur soal apa?”

Brian mengusap wajahnya, lalu berkata, “Kita nggak bisa terus-terusan nahan kebenaran ini. Keluarga Naya nggak percaya sama Brian, Pah, Mah. Mereka nggak yakin abrian benar-benar mau menikahi Naya karena cinta, dan mereka benar. Brian nggak bisa membohongi mereka lagi.”

Wajah Wisnu mengeras, namun tatapannya tetap tenang. “Jadi kamu mau bilang semuanya? Malam itu… apa yang sebenarnya terjadi?”

Brian mengangguk pelan. “Brian takut kalau mereka nggak kasih restu, dan kalau… kalau memang Naya benar-benar hamil, semua ini bakal jadi skandal yang jauh lebih besar.”

Ratna menatap anaknya dengan sorot mata khawatir. “Tapi, Brian… kalau mereka tahu, kamu yakin mereka nggak akan semakin membenci kamu?”

“Bisa jadi,” Brian mengakui. “Tapi kalau Brian terus pura-pura, mereka juga nggak akan pernah percaya. Sekarang satu-satunya cara buat mereka ngasih restu… ya cuma dengan tahu betapa mendesaknya situasi ini.”

Wisnu menatap Brian tajam, lalu berdiri. “Baik.”

Ia berjalan menuju lemari ruang tengah, membuka lacinya, dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat. “Papah sudah siap,” katanya sambil meletakkan amplop itu di meja.

Brian memandanginya dengan bingung. “Apa ini?”

“Hasil lab,” jawab Wisnu singkat. “Aku tahu cepat atau lambat kita harus menghadapi kenyataan. Jadi Papa akan serahkan hasil lab dan pemeriksaan Naya waktu itu ke keluarganya. Agar mereka yakin kita tidak omong kosong." Jelas Wisnu.

Wisnu menghela napas panjang. "Papa nggak mau keluarga Naya pulang malam ini dengan tetap berpikir Brian cuma mau menutupi rasa bersalah. Mereka harus tahu… ini bukan soal rasa bersalah saja, ini soal menyelamatkan masa depan dua orang.”

Brian meremas lututnya, perutnya terasa mual.

Saat itu, terdengar langkah pelan dari lorong.

“Naya…” suara lirih Ratna membuat Brian menoleh.

Di ambang pintu, Naya berdiri dengan wajah kosong. Rambutnya yang tergerai tampak kusut, dan matanya bengkak, tanda bahwa ia habis menangis. Ia mengenakan kaos putih dan celana panjang sederhana, tapi tak ada lagi kesan ceria seperti dulu.

Sejak malam itu, Naya bukan lagi gadis yang sama.

Naya yang sekarang hanyalah bayangan seseorang yang kehilangan arah.

“Saya dengar semuanya,” gumam Naya lirih. “Saya dengar kalian mau bilang yang sebenarnya ke keluarga malam ini.”

Brian menatapnya, tak tahu harus berkata apa.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ratna lembut.

Naya mengangguk samar. “Saya… nggak tahu.”

Ia kemudian memandang Brian, lama. “Brian… kamu yakin mau ngelakuin ini?”

Brian mengangguk. “Saya harus, Naya. Saya tahu mungkin kamu benci… tapi ini satu-satunya jalan.”

Naya tersenyum kecut. “Saya nggak punya hak buat benci kamu, Brian.”

Suara itu begitu pelan, hampir seperti gumaman.

Brian menunduk, menahan perasaan bersalah yang menghantam dadanya.

Naya menarik napas dalam. “Sejak malam itu… hidup ini serasa bukan milik saya lagi. Saya cuma ngikutin arus. Saya bahkan nggak tahu apa aku benar-benar mau menikah sama kamu atau cuma… kehabisan pilihan.”

Ruangan itu seketika terasa jauh lebih dingin.

Ratna menangis pelan.

Wisnu memejamkan mata sejenak, lalu berkata tegas, “Malam ini, kita selesaikan semuanya.”

 

Malam Itu

Keluarga Naya tiba di rumah Brian untuk diskusi kedua.

Gunawan dan Sarah datang bersama Rangga. Wajah mereka tegang, tak ada satupun dari mereka yang menunjukkan ekspresi ramah seperti biasanya. Bahkan Sarah yang biasanya lembut terlihat jauh lebih dingin malam ini.

Setelah suguhan teh dan beberapa patah kata basa-basi, Wisnu membuka pembicaraan.

“Terima kasih sudah datang,” katanya. “Kami paham posisi keluarga Naya. Kami tahu kalian ragu… ragu apakah Brian benar-benar tulus atau tidak.”

Gunawan bersedekap, rahangnya mengeras. “Bukan ragu, Pak Wisnu. Kami tahu. Brian ada di sini karena tanggung jawab, bukan karena cinta.”

Suasana menegang.

Brian meremas kedua tangannya di bawah meja, namun Wisnu tetap tenang.

“Dan itu benar,” ujar Wisnu, membuat Gunawan sedikit terkejut.

Brian menatap ayahnya, kaget dengan betapa lugasnya jawaban itu.

“Kami tidak akan berbohong,” lanjut Wisnu. “Semua ini bermula dari sebuah kesalahan. Malam itu, Brian melakukan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi pada Naya.”

Rangga mengepalkan tangannya, rahangnya mengatup keras. “Kalian pikir kami nggak tahu?” suaranya bergetar. “Kalian pikir kami nggak sadar kenapa kalian buru-buru mau nikahin mereka?”

Sarah memegang tangan Rangga, mencoba menenangkannya.

Gunawan mengangguk, tatapannya tajam. “Dan karena itulah, kami belum memberi restu. Kami tak mau pernikahan ini hanya jadi jalan Brian untuk cuci tangan.”

Wisnu menarik napas dalam, lalu meletakkan amplop cokelat di atas meja. “Tapi, ada hal yang harus kami sampaikan.”

Ia membuka amplop itu, mengeluarkan lembaran hasil lab, lalu menyerahkannya kepada Gunawan.

Gunawan membukanya dengan alis berkerut.

Sejurus kemudian, wajahnya memucat.

Sarah mendekat, membaca lembaran itu dari bahu suaminya—dan ia menutup mulutnya dengan tangan, terkejut.

“Apa ini …” suara Gunawan hampir tak terdengar. Ia melihat hasil pemeriksaan Naya, foto-foto barang bukti yang menunjukan wajah Naya penuh lebam, darah dibibirnya juga warna kebiruan melingkari lehernya.

Dilihatnya juga hasil lab yang menyatakan ada luka robek dan ditemukan jejak spe*rma di dalam organ reproduksi Naya.

Brian menunduk, sementara Naya memejamkan matanya, air mata jatuh pelan di pipinya.

Wisnu bersuara pelan, namun tegas. “Kami bukan ingin membohongi kalian. Kami hanya ingin memastikan Naya tidak semakin terbebani. Kami pikir… cukup keluarga kami saja yang menanggung beban ini. Tapi sekarang… kami sadar… bahwa kalian juga punya hak untuk tahu.”

Suasana hening.

Rangga bangkit, memukul meja. “Kalian sadar nggak? Adik saya … adik saya dihancurin kayak gini!”

Gunawan memejamkan mata, berusaha menahan amarahnya.

Sarah, dengan suara gemetar, berkata, “Sekarang… kita nggak bisa lagi mempertahankan gengsi. Kita harus menyelamatkan masa depan mereka.”

Gunawan menoleh ke istrinya, matanya merah menahan emosi.

Sarah melanjutkan, “Kita bukan cuma bicara soal tanggung jawab. Tapi juga tentang menjaga harga diri Naya… dan masa depannya.”

Hening panjang.

Akhirnya, Gunawan menghela napas berat, menatap Wisnu tajam. “Kami… setuju.”

Naya menangis pelan.

Dan Brian hanya bisa memejamkan mata, tahu bahwa ini baru permulaan dari sebuah kisah panjang yang tak pernah ia bayangkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!