“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
M ~ Bab 17
Hanya karena perkara Burung Dzikri, lantas kau membenci, dasar Bodoh.
....................
Winda mundur teratur, jelas dirinya takut, Dhien bukan lawannya bila adu jotos.
“Memalukan! Gaya menantang, tapi baru didekati langsung menciut nyalimu! Terkadang aku suka heran dengan kau, Win! Berpendidikan, bahkan calon perawat … tapi, mengapa bisa iri dengki dengan aku si Wanita Pembawa Sial ni?”
“Atau jangan-jangan selama ini kau hanya pura-pura bahagia? Bergaya bak wanita kota demi menutupi rasa tak percaya diri, ayo jawab, Win! Jangan pandainya cuma memutar balikkan fakta, serta merengek macam anak Kambing tak disusui induknya!” Dhien tetap maju, sedikitpun tidak gentar.
Tubuh Winda bergetar halus, dadanya kembang kempis, antara takut serta emosi menjadi satu.
“Karena kau! Laki-laki yang kucintai enggan menatap diri ni! Nya hanya memandangmu saja, sedikitpun tak peduli padaku! Padahal kau hanyalah butiran debu!”
Dhien berhenti, matanya menyipit, lalu tertawa sumbang. “Oh … ternyata macam tu! Hanya karena Burung si Dzikri, kau lantas membenci. Dasar Bodoh! Kalau suka ya usaha! Bukannya malah menyalahkan orang lain, bila perlu pergi ke dukun sana!”
Senyum Dhien semakin lebar kala melihat raut masam wajah Winda. “Ternyata awak lebih hebat daripada dukun ya, Win. Tanpa melakukan apapun, sudah berhasil membuat laki-laki idaman mu takluk. Apa jadinya bila nanti ku ladeni perasaannya, ku terima cintanya, bisa-bisa rumah sakit jiwa ketambahan satu pasien gila!”
Jari telunjuk Winda bergetar menuding wajah Dhien. “Jangan berani kau mendekati si Dzikri! Nya hanya milikku seorang! Lagipula mana lah mau laki-laki berpendidikan serta mapan macam nya tu, menikahi wanita seperti kau ni! Janda terhina, satu hari nikah sudah dicerai. Setelah dikawini langsung ditinggalkan!”
“Oh … ya?” Dhien menaikkan sebelah alisnya. “Semakin kau ketakutan, semakin ku tertantang!”
“Dhien sini kau!” Nek Blet meneriaki cucu tidak dianggapnya, sekaligus menghentikan perdebatan di bawah pohon kelapa.
Dhien mengambil lagi plastik berisi buku nikah serta baju nya, berjalan tenang mendekati sosok Nek Blet, Zulham, Ayie, Indri dan Idris.
‘Niat betul para Hama ni hendak mengeroyok ku.’
“Tak perlu teriak-teriak macam Kerbau hendak disembelih, Nek! Berbicara lembut pun aku tetap mendengar suara cempreng mu tu!”
“Inong! Kau tengok hasil didikan mu ni! Kurang ajar, tak punya sopan santun! Datang bukannya salam malah mengatai ku!” Nek Blet menatap nyalang sosok Emak Inong, yang duduk tenang di bangku bawah pohon asam Jawa.
Dhien yang memang seharian ini sudah banyak mengalami kejadian menjijikan sampai nyaris celaka, tentu saja hatinya tidak baik-baik saja, serta emosinya sudah di ubun-ubun kepala.
“Bila diriku tak punya adab, lalu apa nak Nenek cakap tentang anak durhaka terhadap ibunya sendiri! Tak mau mengakui, enggan menghormati, sampai berani nya mencaci maki sosok yang telah melahirkan dirinya ke dunia ni! Coba kasih paham, sebutan apa yang pantas untuk Zulham?”
Zulham tertohok, tetapi hanya di permukaan saja. Sedangkan yang lainnya terdiam tanpa mampu menjawab apalagi membantah.
“Mengapa membawa-bawa namaku? Disini kau lah yang berulah, membuat malu, bisanya cuma memberikan aib bagi keluarga Ayah!” Zulham tidak terima, dia menatap sinis adik kandungnya.
“Keluarga? Tak salah cakap kah kau, Zulham? Kalian tu lebih pantas disebut Jahanam daripada saudara! Bisanya hanya menyakiti, mengancam serta memanfaatkan ku saja!” Dhien melirik sinis satu persatu anggota keluarga bapaknya.
“Astaga! Kau sudah tak tertolong lagi, Dhien! Mulutmu busuk, penuh kata-kata tak beradab, kelakuan mu pun sama jeleknya! Ayahmu pasti menangis di alam sana, melihat putrinya tak bermoral, tega menyakiti neneknya sendiri yang tak lain ibu dari Ayah mu, Dhien!” Ayie bersuara lantang.
“Trik mu tu tak lagi mempan, Bik! Bila dulu kau menyerang mental ku dengan menakuti serta mematahkan semangat diri ini, maka sekarang kukatakan dengan lantang ‘PERCUMA’!”
“Ayah adalah sosok bijaksana, hanya saja dia terlahir dari rahim yang salah dan hidup dalam naungan atap keluarga Durjana! Pasti nya menderita melihat kalian mendzalimi istri serta anaknya!”
Dhien mundur satu langkah, terlebih dahulu memandang hangat sang ibu, lalu menatap sinis para orang pemberi luka
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan! CAMKAN TU!!”
“Tak usah banyak cakap kau, Dhien! Mimpimu terlalu tinggi, padahal hanya anak desa tak berpendidikan, mana Pembawa Sial lagi!” Idris yang sedari tadi diam, ikut bersuara.
“Laki-laki modal Kuntul mana paham! Tahu nya cuma mengekor binik dan keluarganya agar tak ditendang! Harusnya Paman ganti nama menjadi Indris!” Dhien mencibir habis, membuat wajah Idris memerah.
Nek Blet yang sudah sangat emosi menjadi berteriak, andai ini dirumahnya, sudah pasti dia akan menggunakan kekerasan. “Dhien! Kembalikan surat pembelian tanah dan rumah ni!”
Belum sempat Dhien menanggapi sudah disela suara lantang seorang wanita.
“Rumah ini sudah saya beli!” Wahyuni tidak datang seorang diri, disebelahnya berdiri sang suami, Hasan.
Keterkejutan itu menyergap semua orang, tidak terkecuali!
Dhien sendiri mengernyitkan kening. 'Mengapa bukan Pakcik ataupun Makcik, orang suruhan bang Agam?'
***
Sebelumnya.
“Dhien sekarang bukan lagi seorang gadis, sebelumnya sudah bersuami dan baru saja bercerai. Status nya tu begitu rawan mengundang para manusia bermulut tajam! Kalau kita tak hati-hati, akan bertambah banyak orang yang mencaci maki nya!” Agam menatap Dzikri, Wahyuni dan juga Hasan.
“Yang paling pas menolong nya saat ni hanya kau, Yun! selain kalian bersahabat, statusmu sebagai menantu Pak camat juga patut diperhitungkan! Apalagi ada Hasan, maka tak akan berani mereka menghardik apalagi mencoba melawan!” sambungnya lagi.
Dzikri yang semula keukeuh ingin maju membela serta menolong Dhien, seketika terduduk kembali pada sofa ruang tamu rumah Agam Siddiq.
Kini dirinya menyadari mengapa sosok Agam Siddiq begitu disegani, laki-laki panutannya ini selalu hati-hati dalam bersikap serta bertindak, pintar membaca situasi, dan sabar menanti waktu yang tepat.
.
.
Di sinilah Wahyuni sekarang, berhadapan dengan para orang tamak.
“Mana buktinya bila kalian lah yang membeli rumah ni?” tanya Nek Blet dengan nada tidak sekeras tadi.
Emak Inong berdiri, mendekati ibu mertuanya serta lainnya.
“Ini kwitansi bermaterai sah yang ada cap jempol Emak Inong, serta surat pembeliannya sedang kami proses balik nama agar bersertifikat resmi, bukan lagi AJB (Akta Jual Beli).” Hasan mengeluarkan secarik kertas.
Gigi Nek Blet bergemeletuk, napasnya menjadi pendek-pendek, matanya menatap nyalang wajah Emak Inong. “Kau licik betul, Inong!”
“Saya belajar dari, Ibuk. Puluhan tahun diperlakukan semena-mena, memilih tetap diam bukan berarti akan terus tutup mulut, tapi hanya menunggu waktu yang tepat saja! Rumah ini memang hak Dhien, sudah sepatutnya diberikan kepadanya, tapi_”
“Ibuk dan lainnya begitu serakah, masih juga ingin menguasai harta tak seberapa. Daripada jadi rebutan, bukankah lebih baik dijual saja? Uangnya bisa buat membiayai cita-cita Dhien yang ingin jadi dukun manten!”
Emak Inong meremas tangan putrinya, mencari kekuatan dibalik sikap tenangnya. Ini kali kedua dirinya membangkang, setelah sebelumnya selalu mengalah.
“Semuanya sudah jelas. Kamilah pemilik tanah beserta bangunan rumah ni! Kalau kalian tetap tak terima, silahkan bila ingin melapor ke pihak berwajib!” Hasan berkata tegas tidak terbantahkan.
Nek Blet menarik kasar lengan Emak Inong sampai terlepas dari genggaman Dhien, lalu secepat mungkin dirinya hendak melayangkan satu tamparan keras
PLAK.
PLAK.
.
.
Bersambung.
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut
sedalam itu rasamu buat Dhien
nah bangkit Dhien tunjukkan kamu setegar karang yang ga bisa dihempas siapapun