NovelToon NovelToon
I Adopted Paranormal Dad

I Adopted Paranormal Dad

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Pendamping Sakti
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

"Ini informasi orang bernama Saverio Archandra, Pak," ucap Yudha seraya menyerahkan dokumen ke meja Alarick.

Pria itu memandang berkas tersebut dengan ekspresi dingin, membukanya perlahan. Matanya menyusuri baris demi baris dokumen hingga alisnya menukik tajam.

Saverio Archandra, pria biasa yang bekerja di sebuah kafe kecil, tinggal di kontrakan sederhana dan belum lama ini gagal menikah karena ditinggal kabur oleh calon istrinya.

"Pria miskin tanpa masa depan," pikir Alarick dengan nada mengejek dalam benaknya. Namun, apa yang membuat Reixa begitu terobsesi dengan orang seperti ini?

Alarick memijat pelipisnya, rasa lelah menjalari pikirannya. Beberapa hari terakhir, Reixa benar-benar membuat hidupnya penuh kekacauan.

Sementara itu, di taman belakang rumah keluarga Mareha, Reixa duduk santai di atas bangku kayu sambil menggoyangkan kakinya dengan riang. Di sebelahnya, Saverio berdiri kikuk, bingung menghadapi anak kecil yang tampak seperti sedang menyusun rencana besar.

"Uang seratus triliun sudah berhasil aku amankan," pikir Reixa penuh kemenangan, senyum licik menghiasi wajahnya. "Ini lebih dari cukup untuk membayar semua penderitaanku selama sembilan belas kehidupan. Sekarang, apa yang harus aku lakukan dengan uang ini?"

Saverio, yang sejak tadi memperhatikannya, merasa tak tahan lagi. Raut wajah gadis kecil itu seperti sedang memikirkan sesuatu yang luar biasa rumit.

"Nak, ada apa?" tanya Saverio akhirnya, suaranya lembut namun sarat kebingungan.

Reixa menoleh dengan tatapan serius, seolah-olah pertanyaan itu sudah lama dia tunggu. "Om, seperti yang aku bilang, Om harus segera cairkan cek itu dan belikan aku rumah lengkap dengan ladang, ya. Jangan jauh dari kota. Pinggiran kota juga nggak apa. Aku masih kecil, jadi aku percayakan semuanya padamu."

Saverio mengerutkan kening, merasa semakin aneh dengan permintaan anak kecil ini. "Kenapa pinggiran kota? Dan kenapa kau percaya padaku begitu saja? Aku bisa saja membawa kabur uangmu."

Reixa mengangkat bahunya, tersenyum penuh percaya diri. "Karena aku percaya Om," jawabnya ringan.

Dia kemudian menyebutkan sebuah alamat di luar kota, lokasi yang strategis namun tenang. Dalam beberapa kehidupannya sebelumnya, tempat itu selalu menjadi rebutan karena keindahannya. Namun, berakhir hancur karena eksploitasi berlebihan. Kali ini, Reixa tak ingin tempat itu jatuh ke tangan yang salah.

Saverio terdiam, merasakan semilir angin yang tiba-tiba berhembus lembut di antara mereka. Jawaban Reixa yang sederhana, namun penuh keyakinan, membuatnya tak mampu berkata apa-apa lagi. Ada sesuatu dalam tatapan gadis kecil itu yang membuatnya merasa harus melindunginya, entah kenapa.

"Baiklah," jawab Saverio akhirnya. "Tapi ingat, aku tidak akan bertanggung jawab kalau ada yang salah."

Reixa hanya tersenyum penuh kemenangan. "Tenang aja, Om. Aku punya firasat semuanya akan berjalan sesuai rencana."

SAverio akhirnya setuju untuk mengikuti rencana Reixa. Dengan cek di tangan, ia segera menuju bank terdekat untuk mencairkan uang itu. Sementara itu, Reixa kembali ke rumah dengan langkah riang, meninggalkan keluarganya yang masih terguncang dengan insiden sebelumnya.

Alarick yang melihat gadis kecil itu berjalan santai, menahan emosinya yang sudah hampir meledak.

"Reixa, berhenti!" serunya tegas.

Reixa menoleh dengan santai, "Ada apa lagi, Paman? Mau kasih aku cek kosong lagi?" tanyanya sambil tersenyum sinis.

"Kau tahu ini bukan permainan, kan? Siapa Saverio itu sebenarnya? Apa yang kau rencanakan?"

Reixa mendengus pelan, "Paman, aku hanya ingin hidup tenang. Kalian semua terlalu sibuk mengaturku seolah aku ini boneka. Kalau Paman mau tahu, aku akan tinggal dengan Om Saverio. Dia orang baik. Aku lebih percaya dia daripada keluarga ini."

Alarick memukul meja di dekatnya dengan keras. "Kau pikir keluarga ini main-main soal masa depanmu? Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu!"

Reixa mendekat, menatap langsung ke arah pamannya tanpa rasa takut. "Kebaikanku? Jangan bercanda, Paman. Semua ini hanya demi kekuasaan dan kekayaan kalian. Aku ini hanya alat transaksi, kan? Kalau kalian benar-benar peduli, kenapa orang tuaku dibiarkan mati tanpa bantuan?"

Kata-kata itu membuat Alarick membeku. Semua orang yang mendengar percakapan itu juga terdiam. Suasana mencekam meliputi ruangan.

"Reixa!" suara Nyonya Ophela terdengar menggema, penuh kemarahan. "Jangan bicara sembarangan!"

Namun, gadis itu hanya menatap neneknya dengan dingin. "Aku sudah cukup sabar, Nek. Kalian pikir aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Aku tahu segalanya. Mulai dari warisan orang tuaku yang disalahgunakan, hingga kalian yang pura-pura peduli."

Alarick mencoba menyela, tetapi Reixa mengangkat tangannya, memberi isyarat agar dia diam. "Tenang saja, Paman. Aku tidak akan merusak reputasi keluarga ini... untuk sekarang. Tapi aku akan pergi. Mulai sekarang, hidupku adalah urusanku sendiri."

Setelah mengatakan itu, Reixa berbalik dan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi.

Namun, begitu Reixa tiba di luar rumah dan berjalan beberapa langkah, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Tanpa aba-aba, beberapa pria berpakaian serba hitam keluar dari kendaraan tersebut dan langsung menculik Reixa. Peristiwa itu terjadi begitu cepat hingga keluarganya hanya bisa terpana, tak sempat bereaksi.

Reixa, yang awalnya kaget dan memberontak, segera menyadari situasinya. Setelah beberapa saat berusaha melepaskan diri, dia berhenti dan malah tertawa kecil.

"Ya ampun, Om-Om sekalian! Serius banget cara kalian. Aku hampir mengira ini penculikan sungguhan!" serunya ceria, membuat para pria berbaju hitam itu saling menatap bingung.

"Kalian bantu aku kabur dari keluarga itu, kan? Terima kasih banyak, loh! Aku sudah tidak tahan lagi tinggal di sana." Reixa menambahkan dengan ekspresi riang, seolah lupa bahwa dia baru saja dimasukkan ke dalam mobil dengan paksa.

Salah satu pria itu mengerutkan dahi. "Anak ini... aneh. Bukannya ketakutan, dia malah senang?" bisiknya pada rekannya.

"Apa yang aneh? Cepat bawa dia ke bos!" balas rekannya dengan suara rendah namun tegas.

Reixa menatap mereka sambil tersenyum penuh percaya diri. "Bos kalian? Wah, aku penasaran seperti apa orangnya. Apa dia lebih baik dari keluarga Mareha? Kalau iya, aku mungkin akan betah tinggal bersamanya."

Salah satu pria hanya mendengus dan menutup pintu mobil dengan kasar sebelum kendaraan itu melaju kencang. Di dalam mobil, Reixa duduk dengan nyaman, menatap pemandangan dari jendela sambil bersenandung kecil, seolah tak peduli dengan situasi yang sedang dihadapinya.

Di belakangnya, keluarga Mareha hanya bisa terdiam. Ophela yang selama ini selalu tampak tenang, kini benar-benar kehilangan kata-kata. "Siapa yang berani melakukan ini di depan mata kita?" gumamnya dengan nada marah bercampur cemas.

Alarick segera mengeluarkan ponselnya, menelepon kontak darurat, sementara wajahnya memerah karena kemarahan dan frustrasi. Namun, jauh di dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi—sesuatu yang berpusat pada gadis kecil bernama Reixa.

Di tempat lain, Saverio yang sedang membereskan dokumen baru saja mendapat kabar tentang insiden tersebut. Wajahnya berubah serius, dan tanpa berpikir panjang, dia langsung menuju ke lokasi terakhir Reixa. "Anak itu... selalu saja membawa masalah," gumamnya, meski ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Reixa mengamati sekitarnya dengan tenang. Meski tampak santai, pikirannya terus berputar, mencari celah untuk meloloskan diri. Di kehidupan sebelumnya, dia nyaris tidak pernah keluar dari mansion hingga usia empat belas tahun. Namun kali ini, di usia sepuluh tahun, dia telah melangkah keluar seorang diri—dan berakhir sebagai korban penculikan.

Kenangan masa lalu menghantamnya dengan jelas. Dalam beberapa kehidupan sebelumnya, dia pernah mengalami penculikan serupa, dibawa ke tempat pelelangan, dan dijual kepada keluarga kaya raya yang memperlakukannya sebagai alat untuk membunuh musuh-musuh mereka. Kehidupan seperti itu membuatnya trauma. Tetapi tidak kali ini.

Reixa menunggu dengan sabar hingga para penculik mulai lengah. Tubuh kecilnya mungkin tidak cukup kuat melawan mereka secara langsung, tetapi otaknya sudah menyusun rencana. Dengan hati-hati, dia membuka pintu kendaraan tempat dia disekap.

Namun, saat dia melompat keluar, dia mendarat dengan langkah tidak seimbang. Tubuh mungilnya berguling dengan keras di tanah, sebelum akhirnya terlempar ke arah jurang yang curam.

Para penculik di belakangnya terperangah, membuat sang pengemudi menghentikan laki kendaraannya. Beruntung jalanan sedang sepi, sehingga tubuh gadis itu tidak tergilas kendaraan yang lewat dan menimbulkan kemacetan.

“Gila! Dia melompat!” seru salah satu dari mereka berlari ke pinggir jurang.

Reixa mengerang pelan, tubuhnya terasa nyeri setelah jatuh dari ketinggian. Untungnya, beberapa semak belukar di tepi jurang memperlambat jatuhnya, meski tidak sepenuhnya mencegah luka. Dia mendongak ke atas, melihat para penculik yang panik mencari jalan turun.

Gadis kecil itu tersenyum miring, meski tubuhnya lemas.

“Kalian pikir aku akan semudah itu menyerah?” gumamnya, dia perlahan bergerak menjauh dari jurang, meskipun rasa sakit mendera setiap langkahnya.

Dia tahu, peluangnya untuk bertahan hidup di tempat asing seperti ini kecil, tetapi dia lebih memilih berjuang daripada menyerahkan dirinya kembali pada para penculik. Untuk pertama kalinya dalam sembilan belas kehidupan, Reixa memutuskan untuk melawan takdirnya.

Dengan hati-hati, Reixa berjalan menyusuri jalur curam, mencoba mencari jalan keluar dari area jurang itu. Langkahnya perlahan dan penuh kewaspadaan, tetapi tubuh kecilnya yang lelah mulai kehilangan keseimbangan.

Kakinya terpeleset di atas bebatuan licin.

"Ah!" serunya pelan, sebelum tubuhnya terjatuh dan meluncur ke dasar jurang. Semak belukar dan akar pohon yang mencuat di dinding jurang memperlambat jatuhnya, tetapi tetap saja, dia mendarat dengan keras di bawah.

Di atas sana, para penculik yang sempat mengejarnya memandang ke bawah dengan panik.

"Sial! Bagaimana ini?!" salah satu dari mereka berteriak, raut wajahnya penuh kecemasan.

"Dia jatuh. Jurangnya terlalu dalam!" balas temannya.

Mereka saling berpandangan, kebingungan di antara mereka berubah menjadi keputusan yang dingin.

"Kita tinggalkan saja dia. Dia pasti sudah mati di dasar jurang. Kalau kita tetap di sini, kita malah bisa ketahuan polisi," ucap salah satu dari mereka, menarik temannya menjauh dari tepi jurang.

"Benar juga. Lagipula, anak kecil seperti itu nggak mungkin selamat. Kita pergi."

Tanpa ragu lagi, mereka kembali ke mobil, meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa.

Sementara itu, di dasar jurang, Reixa terbaring dengan napas terengah-engah. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya, tetapi dia tahu dirinya masih hidup. Perlahan, dia membuka matanya, menatap kanopi pohon yang menutupi langit.

"Mati? Huh, kalian pikir aku semudah itu menyerah?" pikirnya dengan sinis, meski rasa nyeri di tubuhnya membuatnya sulit bergerak. Dia menggertakkan giginya, memaksa tubuhnya untuk bangkit.

Meskipun terjatuh, gadis kecil itu tahu bahwa ini adalah kesempatan terbaik untuk kabur dari kejaran para penculik. Dengan tangan gemetar, dia meraih dahan terdekat, mulai bergerak mencari tempat perlindungan, dengan tekad kuat yang berkobar di dalam dadanya. Reixa tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban lagi.

Namun, karena kelelahan dan rasa sakit yang mendera, Reixa kehilangan kesadaran dan tergeletak pingsan.

Saverio mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, kedua matanya tajam memperhatikan jalan sembari mencoba merasakan keberadaan gadis kecil itu. Sebagai seorang paranormal, kemampuan istimewanya memungkinkannya melacak energi orang yang ingin ditemukannya, terutama jika koneksi mereka kuat.

Dia menghentikan mobil di sebuah tempat sepi dan mulai memusatkan pikirannya. Pria itu keluar dari mobil dan duduk bersila di tanah, Saverio menutup matanya dan memasuki kondisi meditasi mendalam. Perlahan, sukmanya keluar dari tubuh, melayang di udara untuk melacak keberadaan Reixa.

Bayangan mulai terbentuk di pikirannya. Ia melihat seorang gadis kecil dengan rambut kusut dan wajah penuh goresan, berada di dasar jurang yang dalam. Di dekatnya, aliran sungai kecil berkilauan di bawah sinar matahari yang menerobos celah pepohonan. Sekelilingnya dipenuhi semak belukar dan pepohonan rimbun. Saverio bisa merasakan lelah dan nyeri yang dirasakan gadis itu.

"Dia di dekat sini," bisiknya pada diri sendiri. "Tebing tinggi, sungai kecil, dan hanya ada satu lereng curam untuk mencapainya."

Dia membuka matanya, wajahnya berubah tegang. Tanpa membuang waktu, Saverio kembali ke mobilnya dan melesat menuju lokasi yang sesuai dengan gambaran di pikirannya. Di sepanjang perjalanan, hatinya diliputi kecemasan.

"Reixa, tunggu aku. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu," tekadnya dalam hati.

Ketika tiba di lokasi, Saverio segera turun dari mobil dan memindai area sekitar. Mata dan nalurinya terpaku pada lereng curam yang disebutkan dalam visinya. Tanpa ragu, dia mulai menuruni jalur tersebut, menembus semak-semak dengan langkah hati-hati namun cepat. Dia tahu bahwa waktu sangat berharga.

Setiap langkah yang diambilnya mendekatkan dia pada gadis kecil yang telah mengubah hidupnya, seorang anak yang menempel padanya, meminta menjadi bagian dari keluarga gadis kecil itu. Saverio bertekad menyelamatkan Reixa, apa pun yang terjadi.

Saverio tiba di dasar jurang setelah menuruni lereng yang curam dengan susah payah. Pandangannya langsung tertuju pada sosok kecil tergeletak di atas rerumputan yang basah. Reixa terlihat lemah dan tidak sadarkan diri, tubuh kecilnya dipenuhi luka goresan akibat semak belukar dan bebatuan tajam.

Napas Saverio tercekat, jantungnya berdetak kencang melihat kondisi gadis kecil itu. Dia bergegas menghampiri, berlutut di sampingnya, dan dengan hati-hati menyentuh pundaknya.

"Reixa, kau dengar aku?" bisiknya cemas sambil mencoba membangunkannya. Namun, gadis itu tetap tidak merespons.

Saverio segera memeriksa denyut nadi di leher Reixa. Meski lemah, nadinya masih berdetak. Dia menghela napas lega, tetapi tetap waspada karena luka-luka di tubuh gadis kecil itu terlihat serius.

Dengan hati-hati, Saverio mengangkat tubuh Reixa ke dalam pelukannya, memastikan posisinya tidak memperparah cedera yang mungkin terjadi. "Kau aman sekarang. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Dia memanjat lereng dengan tekad penuh, meski tubuhnya sendiri mulai kelelahan. Begitu sampai di atas, dia segera meletakkan Reixa di kursi penumpang mobilnya, menutup pintu, dan melesat menuju rumah sakit terdekat.

Di sepanjang perjalanan, pandangannya terus bergantian antara jalan dan Reixa yang terbaring diam. "Bertahanlah, Reixa. Aku akan membawamu ke tempat aman," ujarnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Setibanya di rumah sakit, Saverio membawa Reixa masuk ke ruang gawat darurat. "Tolong, dia baru saja jatuh dari jurang!" serunya kepada staf medis.

Dokter dan perawat segera membawa Reixa ke dalam, meninggalkan Saverio yang berdiri di lorong dengan perasaan campur aduk—khawatir, lelah, tetapi juga penuh tekad. Dia berjanji pada dirinya sendiri, apa pun yang terjadi, dia akan melindungi gadis kecil ini dengan seluruh hidupnya.

Di dalam ruang keluarga Mareha, suasana tegang terasa semakin memuncak. Semua orang berkumpul, tetapi bukannya memikirkan solusi, mereka malah sibuk berdebat. Suara Nyonya Ophelia, dengan nada tajamnya, mendominasi ruangan.

"Kenapa kalian masih repot mencari anak itu? Dia sudah membawa kabur uang kita! Gadis kecil itu hanya menyusahkan!" Serunya sambil memukul meja, membuat beberapa orang di ruangan itu terkejut.

Alarick, yang sejak tadi menahan kesabarannya, akhirnya tidak bisa diam. "Bagaimanapun juga, dia masih bagian dari keluarga kita! Apa pun masalahnya, aku tidak peduli! Reixa harus ditemukan secepatnya!"

"Bagian keluarga?" Ophelia mendengus. "Dia hanya pembawa masalah sejak lahir! Kalau dia tidak ditemukan, aku yakin dia akan terus membawa malapetaka bagi kita!"

"Diam, Ibu! Bukan waktunya untuk mengeluh!" Hardik Alarick, membuat wanita itu menegang sejenak.

Sementara itu, beberapa anggota keluarga lainnya hanya menunduk, takut terlibat dalam adu mulut sengit tersebut. Dalam hati, mereka juga mempertanyakan kenapa Reixa begitu berani bertindak di luar kendali.

Alarick dengan gerakan cepat meraih ponselnya dan menghubungi anak buah kepercayaannya. "Dengar, aku tidak peduli apa pun caranya, temukan Reixa sekarang juga! Aku tidak mau mendengar alasan!"

"Baik, Pak. Kami sedang melacak keberadaan penculiknya," jawab suara dari seberang telepon dengan nada tegas.

Setelah menutup telepon, Alarick menatap keluarganya dengan ekspresi dingin. "Jangan ada yang coba-coba menyalahkan anak itu lagi. Fokus kita sekarang adalah menyelamatkannya. Setelah itu, kita akan menyelesaikan semua ini."

Suasana ruangan berubah menjadi sunyi, tetapi ketegangan masih terasa menggantung di udara. Nyonya Ophelia hanya menggerutu pelan, sementara yang lain tampak gelisah.

Namun, tanpa mereka ketahui, Reixa sudah berada jauh dari jangkauan mereka, bersama seseorang yang lebih peduli akan keselamatannya dibandingkan keluarga besarnya sendiri.

1
Astuty Nuraeni
Reixa masih 10 tahun pak, tentu saja masih kanak kanak hehe
Ucy (ig. ucynovel)
secangkir ☕penyemangat buat kak author
Ucy (ig. ucynovel)
reinkarnasi ya
Citoz
semangat kk 💪
Buke Chika
next,lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!