Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Hana Lidia
Berita tentang kebangkrutan perusahaan kami sudah tersebar dimana-mana. Bahkan aku tidak berani menyalakan televisi, karena beritanya dimuat dimana-mana. Semua ini karena Arsen, dan dia dengan entengnya seolah tidak membuat masalah dengan meminta kami menunggu kedatangan keponakannya yang bernama Liliana.
Sudah satu bulan kami berusaha mencari pinjaman untuk mengganti uang kantor yang sudah di pakai, tapi sayangnya seperti lagu klasik, saat kita kesusahan tidak ada seorangpun yang mau membantu. Terpaksa kami harus merelakan perusahaan yang sudah dibangun susah-susah.
Aku khawatir bagaimana Adelia, aku takut ia terguncang. Karena kau tahu, ia, bahkan kami sudah terbiasa dengan kehidupan kami. Kabar baiknya, bahwa Adelia adalah anak yang mandiri dan sederhana, jadi mungkin ia bisa saja melalui semua ini, tapi sebagai seorang Ibu aku cukup khawatir akan kondisi masa depannya.
"Sudahlah, Hana. Aku minta maaf, aku harap kamu mau menemaniku sampai kita bisa mengembalikan keadaan kita lagi!."
"Minta saja kepada Adikmu, kuharap ia ada disaat kamu terpuruk. Aku bahkan tidak bisa memaki Diana, karena kakaknya tidak akan menerima itu." Arsen hanya diam saja mendengar aku mengeluhkan semua perasaan sakit dan kecewaku. Tapi untuk apa, kurasa itu tidak ada gunanya.
Hari yang di nantikan Arsen tiba. Seorang gadis yang bernama Liliana tiba dirumah. Sebenarnya ia sedikit memiliki kemiripan dengan Adelia, hanya saja, mungkin ia dengan versi berkacamata, seperti anak yang identik dengan kutu buku, yang kemana-mana selalu terlibat dengan buku_perpustakaan.
Dia mengambil tanganku juga Arsen untuk disalimnya kemudian memperkenalkan diri. Aku tidak meresponnya selain hanya menghembuskan nafas kesal akan sikap Arsen yang berbuat semau-mau.
Jika hanya di titipkan Lilian aku mungkin tidak mempermasalahkannya, tapi sebab Arsen menanggung segala hutang piutang adiknya aku cukup keberatan. Bukan tanpa alasan, melainkan karena selama ini kami lah yang menyiapkan segala keperluan Diana dan lililan bahkan rumah yang mereka tempati pun adalah pemberian kami.
Aku sering meminta pada Arsen agar menawarkan adiknya bekerja pada perusahaan, tapi bukannya disambut dengan senang hati tawaran kakak dan kakak iparnya, Diana malah menduga-duga bahwa akulah yang menghasut sang kakak agar menghentikan semua biaya untuk dirinya.
Lagi, semua itu kulakukan karena aku tahu Diana hanya menggunakan uangnya untuk bersenang-senang. Lewat seorang mata-mata yang kubayar untuk menyelidiki hidup Diana, ternyata benar bahwa ia tidak memanfaatkan semuanya dengan baik, ia lebih senang menghamburkan segalanya di clubb malam, ia bahkan pernah terlibat kasus narkoba.
Aku pikir jika semua pendanaan dicabut, ia akan segera bisa berpikir jernih. Tapi puncaknya adalah ketika ia sering melampiaskan kemarahannya pada anaknya, Lilian. Ia bahkan tidak segan menyiksa anaknya dan membiarkan kekasihnya melecehkan Lilian meski bukan secara fisik, melainkan verbal.
Aku tidak diam saja mengetahui hal tersebut. Aku diam-diam mendatangi Diana dan memintanya untuk berubah, jika tidak aku tidak akan segan untuk mengusirnya dari rumah yang dia tempati saat itu. Rupanya, bukannya takut dengan peringatan yang aku berikan, rupanya ia lebih senang bermain-main dengan mencari pinjaman berbunga yang cukup besar pada rentenir.
Malas berurusan dengan perempuan bebal seperti Diana, aku diam saja dan membiarkan ia melakukan semuanya semau dirinya, hingga akhirnya hal ini terjadi. Tepat sesaat sebelum Arsen pulang, Diana mengirimiku pesan yang berbunyi, 'Kita sama-sama hancur karena keinginanmu sendiri.'
Awalnya aku tidak mengerti, tapi sepertinya pesan itu mengandung kemarahan. Mungkinkah ia benci dan dendam padaku? Tapi lagi-lagi, aku bahkan tidak memikirkan hal yang tidak-tidak tentangnya, hingga Arsen pulang kemudian menceritakan semuanya.
Aku cukup syok dan sangat. Bagaimana bisa suamiku yang terkenal cukup bijak menjadi seperti ini? Ia bahkan melakukannya dengan sadar dan tanpa pertimbangan.
Aku mendapati Adelia tengah menangis sendirian dikamarnya, kurasa Lilian sedang diluar bersama Arsen. Tidak ingin ketahuan, aku berjalan pelan mendekati Adelia tanpa ingin ia menyadarinya, rupanya ia tengah berbicara melalui sambungan telepon dengan Erika.
"Aku, aku gak mau pindah, Erika," lirih Adelia dengan suara serak seolah telah lama menangis.
"Aku benci pada Papa. Meski Mama sengaja menutupi pemberitaan tersebut, tapi itu sudah tersebar dimana-mana. Anak-anak lain menjadikanku bahan gunjingan mereka di grup-grup kelas lainnya." tambahnya.
Mengetahui isi percakapan Adelia pada Erika, aku segera bergegas pergi sebelum Adelia menyadari keberadaanku.
___
"Arsen, sudah cukup semua ini. Biarkan Adelia ikut bersamaku." bagai disambar petir disiang hari, aku begitu terkejut mendengar penuturan istriku tiba-tiba.
"Apa maksudmu Hana? Kumohon jangan katakan ini semua." pintaku segera menggenggam tangan Hana tapi ia segera menepisnya dengan kasar, seolah aku adalah seseorang yang tidak layak disentuh dan didekati.
Hana mengungkapkan semua kekecewannya dan tentang Adelia, ia menceritakan apa saja yang telah Adelia alami karena ini semua. Ia merutuki semua keegoisanku dan pergi dari hadapanku. Aku ingin menceritakan semua ini pada Hana juga Adelia, tapi sebelum aku menceritakan alasan sebenarnya Hana bahkan enggan untuk di dekati. Sementara Adelia ia dengan terang-terangan mengaku kecewa padaku.
Mungkin hanya Lilian saja yang mau berbicara padaku, ia juga meminta maaf atas semua yang terjadi, sebab ia menyadari bahwa ada sedikit keretakan pada hubungan kami.
"Tidak masalah, Liliana. Semua ini sudah terjadi, kita hanya perlu melewatinya." ungkapku sok bijak, padahal sebenarnya aku juga merasa cukup frustasi akibat masalah ini.
"Kurasa sebaiknya aku kembali saja, Om. Aku tidak ingin merepotkanmu lebih banyak lagi," ungkapnya menatapku dengan tatapan yang tulus.
"Seandainya dengan kau kembali, semua bisa berangsur membaik, aku mungkin akan membiarkanmu. Tapi, kemana kau akan pergi sedang rumah saja kamu tidak punya, dan ibumu tidak tahu kemana." sahutku menjelaskan pada gadis kecil itu.
"Maaf om." ucapnya dengan mata berkaca-kaca kemudian tertunduk. Maaf, Nak. Ini semua adalah kesalahanku, semuanya. Jika seandainya aku lebih tegas pada Ibumu, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
Jika seandainya aku merespon setiap keluhan Hana tentang ibumu dengan serius, mungkin sekarang kau dan Adelia masih tersenyum dengan ceria tanpa harus terlibat urusan orang dewasa yang rumit dan merepotkan.
Mungkin, pertemuan pertama kalian akan dihiasi dengan tawa kebahagiaan karena bertemu satu sama lain. Sama-sama anak tunggal, aku percaya kalian akan saling akur dan menerima, jika jalan cerita awalnya tidak seperti ini.
Aku tahu, Nak. Adelia masih sulit dan berat menerimamu karena kesalahanku. Ia masih cukup muda untuk memahami semuanya, dan Hana, kurasa ia akan mengerti ini semua seiring berjalannya waktu.
Seorang teman mengabarkan bahwa ada rumah yang dijual murah di daerah terpencil. Sebelum menyetujui untuk membeli, ia memintaku untuk melihat kondisi rumah itu terlebih dahulu. Aku menyetujuinya, rupanya rumah itu lumayan besar, rumah itu juga memiliki dua lantai.
Aku setuju untuk membeli rumah tersebut. Karena kurasa hanya rumah ini yang sesuai dengan sisa tabungan yang kupunya. Walau tempatnya agak terpelosok dan berada jauh dari rumah-rumah penduduk sekitar. Rumah ini berada di ujung desa dan disekelilingnya adalah kebun yang sepertinya adalah kebun warga yang dikelilingi oleh hutan-hutan yang katanya tidak dimasuki oleh manusia atau kau bisa menyebutnya hutan lindung.
Tidak buruk juga pikirku. Aku segera pulang dan ingin memberitahukan semuanya pada Hana juga Adelia. Oh, ya, satu-satunya barang yang kami miliki setelah kami kehilangan semuanya adalah Mobil ini. Setidaknya aku masih diberi kesempatan oleh Tuhan agar Istri dan anakku tidak begitu membenciku.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku dan Bima temanku menyapa penduduk disini, Bima yang mengenali tempat ini karena ia semasa kecilnya dibesarkan disini, ia bercerita jika di desa ini terdapat pantangan yang tidak boleh dilewati.
Aku tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena kurasa aku mengerti arah pembicaraan yang dimaksud Bima. Aku percaya jika kita memang hidup berdampingan satu sama lain. Hingga wajar, jika hal-hal seperti itu ada di setiap daerah yang penduduknya masih percaya.
Hanya saja, aku tidak begitu seperti orang-orang. Aku percaya selama kita tidak melakukan hal yang menyimpang dari agama, mereka tidak akan mengganggu. Karena pada dasarnya mereka pun makhluk sama seperti kita, bahkan kita lebih utama dibanding mereka. Bahkan dikatakan jika sebenarnya mereka pun takut pada manusia.
Ayat Al-Qur'an yang melarang takut kepada makhluk gaib adalah Surat Ali Imran ayat 175, yang berbunyi:
"Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman".
Takut kepada makhluk gaib yang bukan Allah, seperti berhala atau takut pada orang mati, merupakan dosa syirik besar. Hal ini karena takut tersebut disertai dengan keyakinan bahwa makhluk tersebut dapat memberikan manfaat atau mudarat.
Aku meyakini, tidak ada makhluk yang perlu ditakuti, selain pada pencipta. Hanya saja, aku sedikit khawatir bagaimana mengatakannya pada Hana dan Adelia, kau tahukan, perempuan adalah makhluk yang paling penakut. Aku khawatir mereka menolak pindah kemari.