"Untukmu Haikal Mahendra, lelaki hebat yang tertawa tanpa harus merasa bahagia." - Rumah Tanpa Jendela.
"Gue nggak boleh nyerah sebelum denger kata sayang dari mama papa." - Haikal Mahendra.
Instagram : @wp.definasyafa
@haikal.mhdr
TikTok : @wp.definasyafa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon definasyafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋆˚𝜗 Stranger people 𝜚˚⋆
... “Gue emang kuat, tapi bukan berarti gue nggak butuh sandaran.” - Haikal Mahendra.
Seperti apa kata pepatah, orang baik pasti akan dipertimbangkan oleh orang baik pula. Begitupun dengan pertemuan antara Haikal dan juga Cakra, Haikal si lelaki tulus yang memiliki hati selembut sutra di pertemukan dengan Cakra, lelaki baik dengan sifat dermawan dan rasa kasih sayang tingginya.
Seperti yang kalian tau, mereka baru mengenal satu sama lain sebab sebuah kejadian yang tak direncanakan. Dimana saat Cakra di bully dengan kakak kelasnya. Siapa sangka dari kebaikan itu pula dia bisa mengenal dan bersahabat baik dengan Cakra, berkat itu juga dia bisa bekerja di cafe milik Cakra.
Haikal yang semula pontang-panting mencari pekerjaan akhirnya Tuhan mengirimkan Cakra untuk membantu sedikit meringankan beban dalam pundaknya.
Selain itu Haikal sudah menganggap Cakra dan kedua orang tuanya seperti keluarga keluarga sendiri, hanya Cakra yang dia punya saat ini dan semoga saja Tuhan tidak ikut serta mengambil sahabatnya itu dari hidupnya.
Cakra sangat baik padanya, sangking baiknya lelaki keturunan Tiongkok – Amerika itu bahkan selalu menjemputnya saat berangkat bekerja. Cakra yang dulu selalu ogah-ogahan mengurus cafe nya, tapi sekarang dia sudah mau mengurus cafe itu meski masih dalam bimbingan Daddy-nya. Alasannya hanya satu, karena dia ingin menemani Haikal –
sahabatnya.
Lelaki dengan balutan hoodie hitamnya itu tengah berdiri di depan rumah sederhana menunggu sahabatnya yang tengah mengunci pintu rumahnya. Kedua matanya menatap intens rumah sederhana yang berdiri kokoh di depannya, tak lupa punggungnya juga sedikit dia sandarkan di motor besar miliknya.
“Sorry ya lama, gue habis beres-beres rumah tadi.” Haikal mengambil satu helm milik Cakra untuk segera dia gunakan.
“Lo tinggal sendiri di sini?” pertanyaan itu sukses membuat Haikal menghentikan gerakan tangan yang ingin memasang helm di kepalanya.
Lelaki dengan jaket hitam itu menoleh menatap sahabatnya sekilas sebelum kembali memandangi jalanan di depan rumahnya. “kayak yang lo liat sendiri, di dalem tadi nggak ada siapa-siapa.”
Cakra menatap raut wajah Haikal lekat, mungkin saat ini dia tidak melihat raut wajah kesedihan di wajah itu sedikitpun. Tapi Cakra yakin bahwa sebenarnya Haikal tidak sedang baik-baik saja, namun lelaki itu berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Isi kepalanya berkelana memikirkan nasib sahabatnya. Se-trektekan dan se-lelah apa Haikal menghadapi ketidak adilan hidupnya. Sangking fokusnya Cakra melamun hingga Haikal yang berdiri di sampingnya menyenggol lengannya kasar.
“Buruan, malah ngelamun lo. Mikirin apa sih, pr sekolah? udah nggak usah di kerjain, gitu aja lo pikirin.” ujar Haikal sudah menggunakan helm-nya sejak 2 menit yang lalu.
Cakra hanya mengangguk samar, setelahnya dia menaiki motornya, memakai helm miliknya. Sedangkan Haikal dengan cepat naik ke atas motor Cakra, duduk di jok belakang motor itu dengan tenang.
Sudah semenjak 5 hari ini Cakra selalu membawa motor miliknya sendiri.
Setiap pagi dia akan menjemput Haikal untuk berangkat ke sekolah bersama, dan pulang pun mereka juga akan bersama-sama. Cakra sama sekali tidak pernah merasa keberatan untuk mengantar jemput Haikal setiap harinya, karena dia sudah menganggap Haikal sudah lebih dari sekedar sahabat.
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟...
Gadis 12 tahun itu meringkuk di dalam ruangan kecil yang terlihat begitu gelap, hanya suara isak tangisnya yang terdengar di sudut ruangan tak terawat itu. Di sebelah pojok kanan tepat di samping lemari kayu yang sudah berdebu, badan mungil itu meringkuk kepalanya dia benamkan di antara lipatan kedua tangannya, badannya bergetar serta penampilan yang sudah acak-acakan cukup menandakan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Entah sudah berapa jam dia menangis dengan posisi duduk meringkuk seperti ini, kepalanya pusing serta wajah pucat dan bibir yang membiru itu menggigil kedinginan.
Kriyukkkk
Bunyi nyaring yang berasal dari perutnya terdengar cukup jelas di kesunyian ruangan itu. Kepalanya mendongak, kedua tangan yang semula dia letakkan di atas lutut itu perlahan terangkat. Kakinya dia selonjoran dengan kedua tangan memegang perut yang sedari tadi mengeluarkan bunyi tanpa henti.
“Laper...” lirihnya pelan, sangat pelan.
Hanya karena kesalahan kecil yang tanpa dia sengaja, gadis itu tanpa sengaja memecahkan satu piring sebab kepalanya tiba-tiba terasa begitu pusing saat mencuci piring bekas orang tuanya makan. Hal itu berakhir dia di kurung oleh orang tuanya di dalam gudang tak terawat itu. Sedari pulang sekolah dia juga belum memakan satu sendok nasi pun hingga sekarang tengah malam, orang tuanya baru akan mengeluarkan nya saat matahari terbit.
“Laper, paginya kenapa lama banget.”
Badan mungil itu luruh, meringkuk di atas dinginnya lantai putih dengan kedua tangan yang meremat perutnya berharap hal itu bisa mengurangi rasa laparnya. Terpaksa, dia harus berusaha untuk tidur agar rasa laparnya dapat sedikit mereda. Meskipun sangat susah tidur dalam keadaan kelaparan.
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟...
“Anjir, kalian habis ngapain keluar toilet berdua gitu. Mana cowok-cowok lagi, lo berdua gay?” Haikal berteriak syok, dia menatap dua lelaki seumurannya yang berdiri di depannya dengan mata melebar sempurna.
Ya, memang tadi saat Haikal ingin ke toilet cafe tempatnya kerja dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, dua lelaki di depannya itu keluar dari dalam toilet cafe yang sama. Sedangkan dua lelaki dengan jaket kulit hitam yang terdapat logo sebuah komunitas motor di bagian dada sebelah kirinya itu saling pandang satu sama lain.
Dahi keduanya menyerngit, memperhatikan Haikal dengan tatapan keanehan.
Haikal bukannya merasa ter-intimidasi, Haikal justru dengan cepat menarik tangan kedua lelaki seumurannya itu menyeret keluar area toilet. Dia akan membawa dua orang yang menurutnya gay ini di depan Cakra. Untung saja dia yang memergoki dua orang gay ini, kalau pengunjung cafe yang lain bisa-bisa nama baik cafe ini yang akan tercemar nantinya.
“Woy lepasin anjir, lo nggak tau kita siapa?” teriak salah satu dari mereka yang memiliki warna rambut sedikit pirang.
“Lo salah paham anjir, sumpah gila nih orang!” lelaki dengan wajah baby face itu berteriak, tangannya juga berusaha melepas cekalan tangan Haikal yang semakin kuat.
Mereka berusaha memberontak dengan susah payah, namun Haikal tetap berjalan tanpa memperdulikan teriakan dan makian dua lelaki itu. Sedangkan di tempat lain, Cakra yang tengah mengobrol dengan salah satu pengunjung cafe yang ingin mem-booking satu tempat outdoor untuk setiap malamnya.
Lelaki dengan rambut acak-acakan serta tatapannya yang tajam itu menatap Cakra dingin, “satu tempat pojok paling belakang sana, gue mau sewa tiap malem bisa?”
Cakra menatap arah tunjuk lelaki seumurannya itu, satu tempat dengan tiga meja sangat luas yang berada di paling pojok yang di kelilingi dinding kaca pembatas.
Cakra menganggukkan kepalanya pelan, “bisa di atur, tapi gue harus tau alasan lo buat nyewa tempat itu tiap malem. Bukan apa-apa, gue cuma nggak mau nama cafe ini tercemar kalau kalian ngelakuin hal yang nggak-nggak di sini.”
Cakra dapat menebak bahwa mereka adalah kumpulan geng motor, dilihat dari jaket kulit senada yang mereka kenakan. Cakra tidak mau jika nantinya mereka akan membuat onar di cafe miliknya, itu sebabnya kenapa dia menanyakan alasan mereka untuk menyewa tempat itu setiap malamnya.
Lelaki dengan tahi lalat kecil yang ada di bawah bagian mata kirinya yang semula berada di lelaki pemilik tatapan tajam itu melangkah. Kakinya berhenti tepat di samping lelaki pemilik tatapan tajam yang Cakra tebak adalah ketua dari komunitas geng motor ini.
“Cuma buat nongkrong, gue bisa jamin temen-temen gue nggak bakal buat onar di cafe lo.”
Cakra menatap lelaki pemilik tahi lalat kecil itu kemudian kepalanya mengangguk pelan, “oke – “
“WOY SETAN! LEPASIN, DASAR ORANG GILA LO!”
Teriakan yang berasal dari belakang tempat Cakra berdirk itu berhasil menghentikan kalimat yang ingin Cakra ucapkan. Semua atensi orang yang ada di cafe itu menatap Haikal yang tengah menyeret dua orang lelaki.
“Kal, ada masalah apa?” Cakra menatap Haikal dan dua lelaki yang sudah misuh-misuh itu secara bergantian.
“Nih, gue tadi liat mereka keluar dari satu toilet yang sama. Habis ngapain coba mereka, cak? Sumpah ya orang-orang jaman sekarang pada banyak yang belok tau nggak, serem banget.” Haikal bergidik ngeri saat membayangkan hal yang tidak-tidak.
Dahi Cakra menyerngit, kemudian dia menatap dua orang yang Haikal maksud itu dengan mata yang memincing. Hingga tatapanya jatuh pada jaket kulit yang mereka pakai, sebentar jaket itu sama seperti jaket milik segerombolan lelaki yang ingin menyewa tempatnya tadi kan?
Kepala Cakra menoleh kebelakang menatap dua lelaki yang berdiri di samping ketua mereka, “temen kalian kan?”
Lelaki pemilik tahi lalat kecil itu mengangguk, “iya mereka bagian dari kami, dan kayaknya karyawan lo salah faham.”
“Dia sahabat gue.” ralat Cakra tak suka, Haikal memang karyawan nya di cafe ini tadi dia adalah sahabatnya. Orang-orang cukup menyebut Haikal sebagai sahabatnya, bukan karyawan nya.
“Iya, sahabat lo salah faham.” Ucap lelaki itu ulang.
Haikal menatap lelaki yang menuduhnya salah faham itu tak terima, “heh pala lo salah faham, orang jelas-jelas gue liat pakek mata kepala gue sendiri kalo temen lo ini keluar dari satu kamar mandi sama.”
Satu kelaki yang di seret Haikal tadi itu menggeplak pundak Haikal kencang, “heh orang gila, kita itu cuma cuci muka. Emang dasar pikiran lo aja yang aneh-aneh, makanya cuci dulu tuh otak lo.”
Haikal menggeleng tak terima kedua matanya melotot lebar siap keluar dari tempatnya, “wah nggak beres nih orang, dia-nya yang gila malah ngatain gue gila!”
Lelaki yang berdiri di sisi kiri Haikal mendorong bahu Haikal kasar, “lo yang gila, malah ngatain kita berdua gila."
Haikal menatap dua kelaki yang dia seret tadi itu bergantian, “apaan orang lo berdua yang gila.”
“LO ORANG GILA.” Kedua lelaki itu menyentak Haikal bersamaan, tatapan menatap gemas Haikal ingin sekali mereka memiting lelaki itu detik ini juga.
“LO BERDUA GILA!” Haikal berucap tak terima.
“Udah stop jangan rebutan, biar adil kalian bertiga aja yang gila.” lerai salah satu lelaki berjaket kulit itu dengan santai dia membuka bungkus permen yupi miliknya dan memasukkan permintaan itu kedalam mulutnya.