Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senior
Di antara waktu itu, seorang wanita tiba-tiba muncul di samping mereka dan mengejutkan keduanya. Wanita itu tiba-tiba merangkul Gunner seolah mereka sangat akrab satu sama lain.
"Hei, sayang."
Gunner mengalihkan fokusnya pada wanita itu. Dia memeluk pinggangnya dan membawa wanita itu pergi, meninggalkan Evelin dalam sebuah belenggu yang menyesakkan. Gadis malang itu kembali pada sebuah kenyataan bahwa Gunner memang bukan pria baik. Dia tersenyum pahit sambil menatap tangan yang di tarik Gunner beberapa saat lalu.
Kini, dalam keheningan hanya ada dia. Begitu dunianya pergi, sebuah rasa dingin kembali menyusup dan menyadarkannya bahwa kehangatan sebelumnya hanya bersifat sementara.
"Benar-benar deh. Bagaimana bisa dia tidak mengingat wajahku?"
*
*
*
Sehari setelah itu, Evelin jadi lebih sering melihat Gunner. Pria itu memang sangat mencolok dari sebelumnya. Dia sering menggoda seorang gadis saat di taman, gerbang, koridor, kantin bahkan kelas.
Sebelumnya Evelin tidak pernah memperhatikan sekitar, karena dia sangat tertutup. Jadi itu termasuk alasan kenapa Gunner tidak mengenalnya padahal dia seorang atlet hebat.
Tempat yang sering gadis itu kunjungi hanya kolam renang. Dia sering kali melepas penat dengan menceburkan diri ke dalam air, menenangkan separuh pikirannya yang kusut dan lelah. Namun, setelah mengetahui bahwa Gunner berada di Universitas yang sama dengannya, dia jadi lebih sering memperhatikan sekitar hanya untuk melihat pria itu.
Meskipun sesuatu yang Gunner lakukan sangat buruk, Evelin merasa hidup kembali hanya dengan melihat bahwa pria itu baik-baik saja.
*
*
Suatu hari, dia harus mengantarkan tugasnya yang tertinggal pada Professor. Dia berlari dengan terburu-buru menaiki tangga untuk mencapai ruangan selanjutnya. Namun, saat dia hampir mencapai tangga terakhir, dia menabrak Gunner yang hendak turun.
Brukk
Tabrakan itu terlihat realistis. Saat gadis itu hampir jatuh ke bawah, Gunner menarik pinggangnya. Mata mereka bertemu dalam keterkejutan yang berkelanjutan.
Setelah berhasil menghambat kecelakaan yang mengerikan, Gunner kembali menjauhkan tangannya dari Evelin. Dia membantu mengambil buku Evelin yang jatuh ke bawah dan menyodorkannya dengan lembut.
"Kamu menjatuhkan ini."
Evelin yang masih membatu langsung tersadar dan mengambil bukunya. Dia begitu kaku seperti robot yang rusak. Sadar gadis itu sedang gugup, Gunner menertawakannya untuk mengurangi rasa canggung.
"Kamu sangat lucu. Setiap kali bertemu denganku, matamu selalu terlihat begitu terkejut. Apa wajahku terlihat mengerikan?"
Gunner melanjutkan ucapannya. Saat itu terjadi, Evelin menjadi semakin gugup untuk menjawab. Bagian terakhir tentu saja tidak benar. Bagaimana bisa seorang pria tampan bertanya seperti itu? Kau harus lebih percaya diri.
"Tidak, bukan seperti itu."
Evelin menjawab dengan ragu. Dia menunduk sambil memainkan buku di tangannya. Hal itu terlihat sangat menggemaskan untuk terus di saksikan. Cara Evelin bergerak dan secara terbuka menunjukkan rasa canggung, terlihat sangat lucu.
"Baiklah, tapi wajahmu terlihat familiar. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Mendengar pertanyaan selanjutnya, Evelin kembali tertegun. Dia sangat ingin mengangguk dan mengatakan iya! Dia terlihat cukup gembira dengan pertanyaan selanjutnya dan terlihat cukup santai. Wajahnya tidak lagi menunjukkan keraguan dan rasa gugup yang berlebihan.
Saat dia berani mendongak menatap mata Gunner, suara lain terdengar dari ujung koridor.
"Gunner, cepatlah kemari!"
Itu suara seruan dari Luke. Mendengar seseorang memanggil namanya, dia menoleh ke belakang.
"Iya-iya!"
Setelah memberi jawaban, dia kembali menatap Evelin. Dia menepuk pundak Evelin dua kali lalu pergi ke arah suara tadi. Lagi-lagi Evelin di tinggalkan sendirian.
Dia menghela nafas berat sekali sebelum melanjutkan langkahnya untuk pergi ke ruang Professor. Dia ingat bahwa Professor tersebut akan pergi berlibur ke Jepang dan akan pulang lebih awal.
"Ya ampun!!"
Setelah sadar dia malah membuang waktu, dia berlari dengan sangat cepat seperti mendayuh tangan dan kaki dalam air.
*
*
Setelah sampai dan hendak membuka pintu, seseorang tiba-tiba keluar dari ruangan tersebut. Dia adalah Fanny, lawan Evelin saat pelatihan renang campuran.
"Evelin? Apa yang kamu lakukan disini?"
"Aku ingin mengantarkan ini pada Professor."
"Tapi beliau baru saja pergi. Sepertinya kamu lupa kalau dia akan pulang cepat hari ini untuk liburan?"
Evelin tertegun. Dia tampak lesu dalam waktu singkat. Seperti usahanya untuk membuat tugas dengan sepenuh semangat dan tenaga kini terbuang sia-sia. Dia tampak putus asa, bahkan rasanya untuk melangkah dan berlari saja bisa membuat kakinya patah.
"Tapi sepertinya prof baru sampai ke tempat parkir. Cepat kejarlah."
Mendengar itu, Evelin seperti melihat sebuah harapan yang tersisa. Dia mengangguk lalu memaksakan kakinya untuk berlari lagi.
Saat dia hampir berbelok, dia kembali berpapasan dengan Gunner. Namun kali ini Gunner sedang bersama Luke. Mereka hendak menjemput Fanny untuk makan siang bersama.
"Kamu lagi?"
"Maaf, senior. Aku harus mengejar Professor."
Saat Evelin hendak melanjutkan langkahnya, Gunner mengambil buku itu. Evelin terkejut dan reflek bertanya, "Ada apa?"
"Tadi aku lihat Prof baru turun dari lift. Aku akan mengejarnya untukmu."
"Apa? Tidak perlu--"
Gunner menyimpan topinya di kepala Evelin lalu berlari untuk menggantikan gadis itu mengejar Professor yang hendak pulang untuk liburan.
"S-Senior?!"
Evelin hendak mengejar, namun di tahan oleh Luke. Dia memberinya anggukan seolah mengatakan biarkan pria itu pergi. Namun, Evelin ragu apa tugasnya akan di terima oleh Professor meski dari tangan orang lain? Apalagi Gunner seorang senior.
Keheningan terjadi setelahnya. Di sana hanya ada Luke dan Evelin yang berdiri membatu menunggu kemunculan Gunner kembali. Di antara waktu itu, Fanny tiba-tiba memeluk Luke dari belakang.
"Sayang, ayo makan siang. Biarkan Evelin yang menunggu si brengsek Gunner."
"Tapi Gunner juga belum makan. Kita harus menunggunya sebentar lagi."
Luke menolak usulan Fanny. Sementara itu, Evelin yang sama sekali tidak mengenal mereka kembali di landa rasa gugup. Di saat-saat seperti itu, Fanny tiba-tiba menepuk pundaknya.
"Saat Gunner datang, bawa dia ke kantin. Oke?"
"Eh? Tapi senior--"
"Ayo, sayang. Evelin sudah setuju."
Fanny menarik tangan Luke dan meninggalkan Evelin sendirian. Dia menatap dengan linglung, memperhatikan punggung mereka yang semakin menjauh. Kedua kekasih yang di mabuk cinta itu tampak sangat menikmati waktu mereka.
Sementara itu, Evelin yang malang harus terus berdiri dengan bersandar ke tembok untuk menunggu Gunner. Dia tidak mengerti kenapa dia malah terjebak dengan Gunner pada saat-saat seperti ini.
Namun, dari semua keluhan karena lama menunggu, ada sedikit rasa senang dengan memikirkan bahwa dia bisa makan siang bersama pria yang sangat dia sukai. Gunner adalah cinta pertama dan terakhirnya. Meskipun fakta bahwa Gunner sudah memiliki banyak kekasih, dia tidak bisa menghilangkan perasaan yang sudah lama melekat.
Setelah beberapa saat menunggu, Gunner akhirnya muncul. Pria itu tampak terengah-engah dan wajahnya penuh dengan keringat. Melihat Gunner yang kembali tanpa tugas miliknya, Evelin berasumsi bahwa Professor sudah menerima buku tersebut.
"Terimakasih, Senior."
Gunner tidak membuat tanggapan. Dia hanya bersandar ke tembok sambil mengatur nafasnya yang tidak stabil.
"Oh iya, ini topimu."
Evelin melepaskan topi Gunner yang beberapa saat lalu dia simpan di atas kepalanya. Saat Evelin menyodorkan topi tersebut, Gunner tiba-tiba menatapnya.
Evelin di buat gugup sekali lagi. Dia bingung harus bereaksi seperti apa terhadap tatapan aneh itu. Seperti seorang pembeli yang menatap barang incaran dengan niat mencari sebuah kesalahan dalam detail dan beberapa sudut sebelum membelinya. Dia tampak santai namun tatapannya mengarah lurus.
Karena tidak tahan dengan tatapan Gunner, Evelin bertanya, "Ada apa?" dengan nada yang berbeda.
Pria itu bangun dari sandaran lalu mengambil topi miliknya dan memakainya kembali. Kemudian, dia melangkah pergi lebih dulu. Evelin yang di buat semakin bingung hanya terdiam di belakang. Dia tersadar tentang sikapnya yang terlalu terbuka. Mungkin saja Gunner merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk menjauh.
Namun, saat pria itu berjalan semakin jauh, dia tiba-tiba menoleh. Sambil menyimpan tangan di dalam saku jaket, dia mengajak Evelin bergabung.
"Hei, nona atlet. Apa yang kau lakukan? Ayo makan siang."