Amira Khairunissa, tiba-tiba harus menerima kenyataan dan harus menerima dirinya menjadi seorang istri dari pria yang bernama Fajar Rudianto, seorang ketos tampan,dingin dan juga berkharisma di sekolahnya.
Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena sebuah perjodohan setelah dirinya sudah kehilangan seseorang yang sangat berharga di dunia ini, yaitu ibunya.
Ditambah dia harus menikah dan harus menjadi seorang istri di usianya yang masih muda dan juga masih berstatus sebagai seorang pelajar SMA, di SMA NEGERI INDEPENDEN BANDUNG SCHOOL.
Bagaimanakah nantinya kehidupan pernikahan mereka selanjutnya dan bagaimanapun keseruan kisah manis di antara mereka, mari baca keseluruhan di novel ini....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon satria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28.
Malam harinya, di kamar Amira, Fajar kini sedang duduk di sofa yang ada di kamar itu, menunggu Amira yang sedang mempersiapkan alat shalat mereka yaitu sejadah dan mukena.
" Tunggu sebentar, ya, aku mau pakai mukena dulu." ucap Amira seraya berbalik menuju ke lemarinya.
Dia langsung mengambil mukena yang selalu biasa dia pakai sehari-harinya untuk beribadah, dan Amira pun langsung mengenakan mukena itu, tanpa melepaskan kain cadarnya.
Di samping itu, sejak awal Fajar sudah diam-diam memperhatikan aktivitas yang Amira sedang lakukan.
Hingga dia tidak menyadari akan satu hal pada diri Amira.
" Cadar kamu gak di lepas?" tanyanya, begitu melihat wajah Amira yang masih setengah tertutup oleh kain cadarnya.
Amira pun seketika langsung menatap ke arah Fajar, matanya seolah mengatakan bahwa dia butuh penjelasan lebih dari pertanyaan yang baru saja Fajar katakan kepada dirinya.
" Memangnya harus dilepas, ya?" tanyanya dengan ragu-ragu.
Fajar pun tidak langsung menjawab pertanyaan dari Amira itu.
Selama beberapa detik, dia hanya memandangi Amira dalam diam saja.
" Sini." pintanya, kepada Amira, untuk mendekati dirinya untuk duduk di samping sofa nya yang masih kosong menggunakan gerakan matanya.
Amira tidak langsung mematuhinya, malah dia tampak bingung sejenak tanpa dirinya mendekat ke arah Fajar sesuai dengan perintahnya.
" Untuk apa?" tanyanya, tanpa mengubah posisinya yang masih berdiri di dekat lemari.
" Duduk sini, mau ada yang saya omongin sama kamu." ucap kembali Fajar dengan tenang, tetapi terkesan tegas.
Mendengar nada bicara suaminya yang mulai berubah menjadi serius dari sebelumnya, membuat Amira langsung patuh dan mendengarkan apa yang Fajar katakan, tanpa bertanya lagi apa alasannya.
Dia pun melangkah pelan ke arah Fajar, kemudian segera duduk di samping Fajar, yang gaya duduknya sudah melipatkan kedua tangannya di depan dada.
" Kamu beneran, kamu mau shalat dengan dirimu yang masih pakai cadar?" tanya Fajar kembali.
Kedua sorot matanya yang tajam, masih menatap lekat wajah Amira yang kini jaraknya sudah begitu dekat dengan dirinya.
Sofa yang mereka duduki saat ini memang kecil dan hanya diperuntukkan untuk dua orang saja, jadi mau tidak mau, hal itu harus membuat mereka duduk dengan jarak yang berdekatan.
" I-iya, memangnya kenapa kalau aku shalat pakai cadar?" jawab Amira, yang kemudian kembali berbalik bertanya kepada Fajar.
" Saya yang harusnya nanya, kenapa kamu pakai cadar saat shalat?" tanya Fajar yang membuat Amira merasa sedikit tersudutkan, padahal itu sama sekali bukan tujuannya.
Amira seketika langsung terdiam, tanpa mengatakan alasannya, sudah jelas kalau dia melakukan itu karena dirinya masih belum siap menunjukkan wajahnya di hadapan Fajar.
" Setiap shalat di masjid umum, aku selalu pakai cadar, kecuali kala shalat di kamar waktu aku sendirian." jelasnya sambil menegakkan punggungnya, ingin memberikan penjelasan lebih lanjut.
" Gak papa, kan, kalau aku shalat pakai cadar?" sambungnya kembali dengan tegas.
Dia berani berbicara seperti itu bukan tanpa alasan, karena dia sudah pasti memiliki alasan yang kuat yang selama ini juga sudah dia yakini.
Dia juga sudah mempertanyakan tentang kegunaan menggunakan cadar saat shalat di tempat umum, dan juga gurunya yang sudah mengatakan bahwa hal itu boleh dilakukan.
Namun, dia hanya bertanya sebatas itu, sehingga dia hanya mengetahui hal itu, tanpa tau penjelasan nya lebih lanjut dan lebih luas lagi.
" Saya boleh jelasin sesuatu?" tanya Fajar, tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun dari kedua manik-manik mata Amira.
Begitu sama nya dengan Amira, yang sama-sama memperhatikan wajah Fajar dengan tatapan tenangnya.
" Tentu saja boleh, mau jelasin apa?" sahut Amira dengan suara lembut.
Fajar langsung mengangguk pelan, setelah mendapatkan persetujuan dari Amira.
" Denger baik-baik." perintah Fajar, menatap wajah Amira lebih dalam lagi.
Matanya itu sudah benar-benar dia sorotkan ke arah Amira, untuk mengaskan apa yang akan dia jelaskan kepada istrinya itu.
" Iya, Fajar, Insya-allah, aku akan mendengar semua penjelasan kamu dengan baik." ucap Amira, seraya memerhatikan Fajar dengan tatapan penuh konsentrasinya terhadap dirinya.
Dia juga merasa begitu penasaran dengan apa yang akan Fajar sampaikan kepadanya.
Hingga akhirnya, Fajar mulai menjelaskannya dengan tenang dan juga pelan.
Hal itu dia lakukan, supaya Istrinya itu bisa mengerti akan setiap perkataan yang akan dia jelaskan nantinya.
" Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin dalam kitabnya ' Fatawa Arkanil Islam' menjelaskan, ' Apabila wanita shalat di dalam rumahnya, atau di tempat yang tidak terlihat melainkan oleh laki-laki yang mahram, maka disyariatkan baginya untuk membuka wajah dan juga kedua telapak tangan."
" Tau tujuannya?" tanya Fajar, menghentikan penjelasannya, karena ingin mengetahui respon Amira atas penjelasannya yang sudah sejauh itu.
Amira pun langsung menggelengkan kepalanya.
Hal itu membuat Fajar ikut menggeleng pelan, karena respon yang Amira berikan padanya.
Sementara Amira, dia menggeleng bukan karena dia benar-benar tidak paham, melainkan karena pikirannya yang mendadak kosong begitu mendengar Fajar menyampaikan Kalimat itu kepada dirinya.
Dan Fajar pun langsung memilih untuk melanjutkan kembali penjelasan nya yang sempat tertunda itu.
" Tujuannya...agar dahi, hidung dan kedua telapak tangan bisa bersentuhan langsung dengan tempat sujud." sambungnya.
Dia juga menatap Amira dengan tenang, lalu kembali bertanya.
" Sekarang sudah paham dengan apa yang saya maksud, tadi?"
Amira pun langsung mengangguk pelan, dengan kedua kelopak matanya ingat untuk berkedip, karena sebelumnya dia sangat menyimak penjelasan yang Fajar sampaikan dengan khidmat.
" Jadi, kalau aku shalat di masjid, aku boleh pakai cadar, kan?" tanyanya, setelah menarik kesimpulan dari penjelasan yang Fajar sampaikan padanya.
Fajar pun lantas langsung kembali menjelaskan tentang pehaman dari istrinya itu.
" Jika ada wanita yang sudah konsisten menutup wajahnya, lalu dia harus shalat dengan di sekelilingi laki-laki yang bukan mahram, maka dia boleh menutup wajahnya." jelasnya, dengan tenang.
" Namun jika wanita itu shalat di sekitar mahramnya, tanpa adanya pria asing ( ajnabi) di sekelilingnya, maka dia dianjurkan untuk membuka atau memperlihatkan wajahnya, sehingga wajah itu bisa bersentuhan langsung dengan tempat sujud, bahkan keluarga nya pun berhak melihat wajahnya." sambungnya kembali yang langsung mengakhiri penjelasannya.
Sedangkan Amira dia hanya diam menyimak dan mendengarkan penjelasan itu, dia merasa senang sekaligus bangga kepada Fajar, kalimat yang Fajar sampaikan sangat begitu jelas dan juga mudah untuk dia pahami.
Dia juga benar-benar tidak menyangka jika suaminya itu memiliki pehaman yang sangat baik tentang hal itu, jika dibandingkan dengan pehamannya, sepertinya pehamanan dan pengetahuan Fajar lebih baik dari dirinya.
" Kamu sekarang bisa simpulkan, apa yang saya sampaikan tadi?" tanya Fajar.
Amira pun langsung mengangguk pelan dan penuh keragu-raguan, karena dia takut jika pehamannya itu tidak sesuai dengan maksud yang ingin Fajar sampaikan padanya.
" Jadi....lebih baik sekarang aku shalat tanpa menggunakan cadar?, karena disini hanya ada kamu yang merupakan lelaki mahram untuk aku?" tanyanya dengan hati-hati.
Fajar pun langsung menjawabnya dengan anggukan seraya bergumam pelan.
Degg!.
Amira pun seketika langsung mendadak panik, saat Fajar membenarkan pemahamannya, itu berarti dia harus membuka cadar nya sekarang, dan dia pun langsung terdiam sejenak sebelum berucap kembali, bukannya dia tidak mau memperlihatkan wajahnya, namun, dia masih belum siap, karena hubungan mereka dalam sebuah cinta masih belum kuat, hanya kedua orang-tuanya Fajar saja yang sudah melihat wajahnya.
Saking tidak siapnya dia membuka cadarnya di hadapan Fajar, makan malam kemarin saja dia masih menggunakan cadarnya, walaupun itu sangat repot bagi dirinya.
" Tapi, aku...." ucapnya, yang entah kenapa dia langsung mendadak gugup seperti itu.
Pandangannya juga langsung menunduk, seolah dia tidak berani menatap wajah suaminya itu.
Melihat kegelisahan Amira, Fajar pun langsung segera menenangkannya.
" Jangan dibuka kalau kamu gak siap."
Amira yang semula menunduk dengan perasaan yang gugup, kini langsung kembali memberanikan diri untuk kembali mengangkat wajahnya, dengan kedua matanya yang menatap lurus ke arah sepasang mata tajam milik suaminya itu.
" Tapi aku..."
Allahuakbar!.
Allahuakbar!.
Allahuakbar!.
Amira yang hendak berbicara, segera mengurungkan niatnya, begitu dia mendengar suara adzan magrib yang berkumandang indah di telinganya.
TO BE CONTINUE.
meleleh hati adek Amira bang Fajar🤭🤭🤭