Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di ambang keyakinan
Langit mulai memudar keperakan saat Dina melangkah keluar dari bengkel sekolah dengan wajah yang letih tapi puas. Dia berdiri memandang kincir angin mini di tangan, karya yang selama ini terus-menerus ia perbaiki dan modifikasi. Dalam hati, Dina berharap karyanya ini bisa membawa secercah perubahan, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi desa kecil tempatnya tumbuh.
Namun, malam ini, bayangan kegagalan masih terus menguntit pikirannya. Bayangan Mira—teman yang selama ini selalu mendukungnya, tapi kini tampak ragu-ragu—menghantui tiap langkahnya. Dina tahu, Mira bukan hanya sekadar sahabat, melainkan tempatnya bertumpu saat hatinya dilanda kebimbangan. Tapi kini, jarak yang terasa di antara mereka justru menambah ketidakpastian yang sudah menghantamnya.
Di tengah jalan pulang, Dina berhenti sejenak. Di kejauhan, lampu-lampu rumah terlihat seperti titik-titik cahaya kecil yang menembus kabut malam. Di bawah langit yang seakan tak terbatas, Dina merasa kecil dan sendirian. Sekalipun proyek ini berhasil, dia sadar bahwa akan ada banyak hal yang harus dikorbankan, termasuk persahabatannya dengan Mira yang selama ini menjadi salah satu sumber kekuatannya.
Di rumah, ibunya sudah menunggunya dengan senyum hangat dan segelas teh jahe. Melihat wajah Dina yang murung, ibunya mengelus lembut bahunya. "Nak, terkadang kita harus memilih untuk percaya, meskipun hasilnya belum terlihat. Jangan biarkan apa yang tak bisa kamu lihat, mengaburkan apa yang kamu yakini," ucapnya sambil tersenyum.
Dina mengangguk pelan. Kata-kata ibunya selalu menenangkannya, meski ia tahu bahwa kali ini situasinya berbeda. Tekanan itu terlalu nyata, terlalu menyesakkan untuk diabaikan begitu saja. Dina merasakan air mata yang menggantung di sudut matanya, tapi ia menahannya, enggan membiarkan ibunya melihat kelemahannya.
Saat malam semakin larut, Dina duduk di meja kecil di kamarnya, ditemani oleh bunyi detak jarum jam yang terasa semakin lambat, semakin berat. Semua persiapan sudah hampir rampung, namun kegelisahan itu masih membelenggu pikirannya. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ia cukup kuat untuk melangkah ke tahap berikutnya. Bayangan wajah Mira kembali muncul, kali ini dengan sorot mata yang seakan mengingatkan Dina pada kehangatan yang mulai terasa renggang.
Keesokan harinya, Dina tiba di sekolah dengan tekad yang sedikit lebih bulat. Flywheel yang berhasil ia perbaiki sudah terpasang kembali, dan sistem kincir anginnya kini lebih efisien. Semua tampak siap—kecuali hatinya yang masih terbelah antara keinginan untuk menang dan ketakutan akan kehilangan.
Di kantin, ia bertemu dengan Mira yang duduk sendirian sambil membaca buku. Dina ragu sejenak, tapi akhirnya menghampiri sahabatnya itu.
"Mira…" suara Dina terdengar ragu, berbeda dari biasanya.
Mira menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Gimana persiapannya?" tanyanya pelan.
"Sudah hampir selesai," jawab Dina, mencoba tersenyum meskipun ia tahu senyum itu tak bisa sepenuhnya menutupi kegelisahannya.
Mira mengangguk, tapi tidak mengatakan apapun lagi. Dina merasakan perbedaan yang mencolok; seolah ada tembok tak kasatmata yang menghalangi mereka. Dalam hati, Dina bertanya-tanya, apakah kebahagiaan yang ia kejar akan sepadan dengan apa yang mungkin akan ia kehilangan.
Waktu terus berjalan. Dina menyerahkan proyeknya dengan perasaan bercampur aduk, di antara bangga dan takut. Hari penilaian tiba, dan ia berdiri di hadapan para juri dengan gemetar. Saat ia menjelaskan bagaimana kincir angin buatannya bekerja, bagaimana flywheel tersebut berperan, dan bagaimana sistem penyimpanan energi itu bisa memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat pedesaan, dia melihat para juri mengangguk, menunjukkan ketertarikan yang membuat Dina merasa lebih percaya diri.
Namun, di tengah presentasi, Dina tiba-tiba menyadari sesuatu yang ganjil. Flywheel-nya mendadak berputar tidak stabil, dan suara mendecit mulai terdengar. Dina tahu, itu berarti ada sesuatu yang tidak beres. Nafasnya tercekat, tapi ia berusaha tetap tenang, berpura-pura bahwa semuanya terkendali. Meski demikian, keringat dingin mulai mengalir di dahinya, dan bayangan kegagalan kembali menghantamnya dengan keras.
Setelah presentasi selesai, Dina berjalan keluar dari ruangan dengan kepala tertunduk. Mira menunggunya di luar, menatapnya dengan raut wajah yang penuh pengertian. Tanpa berkata apa-apa, Mira merangkul Dina, dan saat itu Dina merasa bahwa meski mungkin proyeknya belum sempurna, persahabatannya dengan Mira telah menemukan kembali pijakan yang kokoh. Meski ada banyak hal yang masih belum pasti, kehangatan di dalam hati mereka telah terhubung kembali.
Pada akhirnya, Dina tahu bahwa keberhasilan tidak selalu tentang kemenangan, tapi tentang keberanian untuk terus melangkah meski jalannya tak mudah. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup baginya.
Setelah rangkulan hangat dari Mira, Dina merasakan beban yang sedikit terangkat, meskipun ketakutan dan keraguan masih menghantui. Mereka berdua berjalan pelan menuju halaman belakang sekolah, tempat di mana sinar matahari senja berkilauan di antara dedaunan. Mereka duduk di bangku panjang di bawah pohon jati tua yang menjadi saksi banyaknya obrolan ringan, tawa, dan rahasia yang pernah mereka bagi selama bertahun-tahun bersahabat.
“Kamu ingat nggak, Ra? Dulu kita selalu ke sini setiap kali kita ngerasa takut atau sedih,” kata Dina, tersenyum lemah sambil memandangi dedaunan di atas mereka.
Mira mengangguk. “Iya, Din. Tempat ini seperti tempat persembunyian kita dari semua hal yang nggak kita mengerti. Tapi kamu tahu, Din, ada saatnya kita nggak bisa terus bersembunyi.” Mira menoleh padanya, tatapan matanya lembut tapi tegas. “Ini momen kamu untuk keluar dari persembunyian itu.”
Dina merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Mira benar, dia tak bisa selamanya bersembunyi dari rasa takutnya—takut gagal, takut mengecewakan, takut tak cukup berani untuk mencapai mimpi-mimpinya. Ia menarik napas panjang dan memutuskan untuk menghadapi Mira dengan terbuka.
“Ra, kamu tahu nggak? Terkadang aku merasa beban ini terlalu berat. Aku ingin melakukan ini semua untuk desa kita, untuk membuktikan bahwa anak dari desa terpencil seperti kita juga bisa membuat perubahan. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa gagal.” Dina berbisik lirih, hampir seperti mengakui kelemahan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Mira meraih tangan Dina, menggenggamnya erat. “Kamu nggak pernah gagal, Din. Kamu mungkin nggak lihat sekarang, tapi apa yang kamu lakukan itu jauh lebih berarti daripada sekadar proyek beasiswa atau penghargaan. Ini tentang bagaimana kamu berusaha, bagaimana kamu rela berkorban untuk impian yang lebih besar.”
Perasaan haru menyelimuti hati Dina. Kehangatan dari tangan Mira membuatnya merasa diterima sepenuhnya, tanpa penilaian, tanpa syarat. Mira mungkin merasa cemburu atau menjaga jarak akhir-akhir ini, tapi hari ini, sahabatnya itu memilih untuk mendampinginya, menjadi tumpuan di saat-saat terlemahnya. Dina menyadari bahwa terkadang yang ia butuhkan bukan hanya keberhasilan, tapi kehadiran seseorang yang memahami dan mendukungnya di setiap langkah.
Malam itu, sepulang dari sekolah, Dina menyadari bahwa jalan yang ia tempuh masih panjang dan penuh tantangan. Ia tahu bahwa projek kincir angin ini hanya langkah awal dari perjalanan besar yang menantinya, perjalanan yang akan penuh dengan naik-turun, kegagalan, dan mungkin kehilangan. Namun, perasaan itu tak lagi seberat sebelumnya. Ada ketenangan yang meresap dalam dirinya, keyakinan bahwa selama ada Mira dan orang-orang yang mendukungnya, ia tak akan pernah benar-benar sendirian.
Dina memutuskan untuk memberikan yang terbaik pada hari terakhir presentasi. Keesokan paginya, ia bangun lebih awal dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan teliti. Pikirannya kini lebih tenang, penuh dengan optimisme yang perlahan-lahan ia bangun kembali. Di depan cermin, ia melihat bayangan dirinya sendiri, matanya yang kini menyiratkan keteguhan.
Hari penilaian itu tiba, dan Dina kembali berdiri di hadapan para juri. Kali ini, meskipun jantungnya masih berdegup kencang, ia merasa lebih siap, lebih percaya diri. Ia mulai mempresentasikan ulang inovasi kincir angin yang telah ia sempurnakan, menjelaskan bagaimana flywheel dan sistem penyimpanan energi akan membawa manfaat besar bagi masyarakat desa yang sulit terjangkau listrik. Dina tak hanya berbicara tentang teknologi, tapi juga tentang harapan dan mimpinya untuk membawa perubahan.
Mata para juri memperlihatkan ketertarikan yang tulus, bahkan beberapa dari mereka sesekali saling bertukar pandang dengan anggukan puas. Dina merasa ada harapan di sana, dan meskipun ia belum tahu hasil akhirnya, ia merasa telah mencapai sesuatu yang lebih besar dari sekadar pencapaian pribadi.
Setelah semua selesai, Dina menghela napas panjang, membiarkan setiap emosi yang terpendam mengalir keluar seiring langkahnya meninggalkan ruangan. Di luar, Mira menunggunya dengan senyum yang lebar, senyum yang kini kembali akrab dan hangat seperti dulu. Tanpa sepatah kata, mereka saling mengerti, dan di dalam hati, Dina tahu, persahabatan mereka telah melewati ujian yang paling berat.