Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5. Jangan buka cadarmu!
Liam keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah, tak memperdulikan Alina yang masih tertunduk di tepi ranjang, tanpa pria itu ketahui Mata Alina sudah basah oleh air mata.
Saat menyadari Liam sudah keluar, Alina buru-buru menyeka sudut matanya dengan jari, mencoba menyembunyikan luka yang tak pernah bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Alina kemudian bangkit perlahan dan berjalan menuju meja rias. Jemarinya meraih ikatan cadar yang menutupi wajahnya, siap untuk melepaskannya. Namun, sebelum ia sempat membuka, suara Liam berseru dingin.
"Jangan buka cadarmu," Liam melepas kemeja putihnya, pandangannya tak tertuju pada Alina.
Alina terhenyak, menghentikan gerak jarinya dan menjatuhkannya di pangkuan. Wanita itu memandang pantulannya di cermin lalu menoleh ke arah suaminya, mata mereka seketika bertemu dalam kebekuan.
"Kenapa?" tanya Alina suaranya bergetar pelan hampir berbisik.
"Aku pikir kau tak perlu membuka cadarmu di depanku, anggap saja aku ini orang asing," seru Liam, seraya membuka jam tangannya dan berjalan mendekati tempat tidur.
Sejak awal perkenalan mereka, Liam menolak melihat wajah Alina. Bukan karena meragukan kecantikannya, tapi karena dia tidak ingin melibatkan perasaannya. Keluarganya selalu memuji kecantikan Alina seperti mutiara dalam kerang. Namun bagi Liam, cinta adalah sesuatu yang berbahaya. Trauma masa lalu membuatnya membenci wanita, kecuali ibunya.
"Jadi kau akan selalu memperlakukan aku seperti itu?" Alina bertanya, suaranya lirih namun tegas.
Liam berbalik, menyunggingkan senyum sinis.
"Ya, karena begitulah kenyataanya Alina. Kita berdua sama sama terjebak dalam pernikahan yang tidak kita inginkan, bukan? Hubungan ini hanya formalitas dan jasa timbal balik, tidak lebih dari itu."
"Apa aku seburuk itu hingga kamu tidak ingin melihat wajahku?" seru Alina berusaha tegar,
"Ah, aku tidak tahu Alina. Aku hanya tidak ingin melihatmu. jadi, jangan pernah berpikir aku akan tertarik padamu, lalu menyentuhmu, karena itu takan pernah terjadi!" tegasnya penuh penekanan, Liam yang hanya mengenakan kaos Boxer pun mulai menaiki ranjang.
"Aku juga tidak ingin disentuh oleh pria arogan sepertimu, jadi jangan terlalu percaya diri!" Alina tak mau kalah, meski dia sebanarnya wanita yang lembut, tapi pantang baginya diam ketika harga dirinya terus di jatuhkan.
Liam mengangkat kedua Alisnya, tak menyangka dengan respon Alina. Namun kemudian, pria itu tertawa pelan, terkesan mengejek.
"Alina, tak kusangka wanita sepertimu bisa marah juga."
"Tidur di sofa." dia melempar bantal ke lantai, tepat di depan Alina. Alina menunduk, menatap bantal itu sejenak sebelum mendengus. Tatapannya menajam, kesal dan sakit hati bercampur. Setelah hening beberapa detik, ia membungkuk mengambil bantal tersebut.
"Kenapa tidak kau saja yang tidur di sofa? Ini kamarku!" ujarnya lantang, melempar bantal itu ke sofa.
Liam, dengan mata terpejam, menjawab santai.
"Memang kamarmu, tapi aku tamu di sini. Dan tamu adalah raja."
"Tamu yang kurang ajar pantas diusir," balas Alina tajam.
Liam membuka matanya, menatapnya dingin..
"Alina," suaranya pelan namun penuh ancaman.
"Terserah, ini kamarku. Kau bisa tidur di sini bersamaku atau tidur di sofa, setidaknya aku memiliki sedikit rasa kasihan," Alina melangkah mendekati ranjang dan perlahan menaiki kasurnya, tak perduli pada liam yang masih berbaring menatapnya tajam.
Rahang Liam mengeras, melihat pergerakan istrinya yang menaiki kasur, Liam segera bangkit.
"Hanya di malam ini aku bisa mengalah Alina, tapi di rumahku jangan harap kau bisa membantah dan melawanku!"
Liam beralih ke Sofa dan menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di sana. Dia berbaring dan menutup mata dengan lengannya, berharap kekalutan malam ini segera berakhir.
Namun kenyataanya tidak memberinya ketenangan, justru hari-hari yang lebih berat menantinya di depan. Liam menarik napas panjang, suara helaan napasnya terdengar berat dalam keheningan. Alina, yang mendengarnya seolah memahami bahwa antara dia dan suaminya sama sama merasa tertekan dan menderita.
...[••••]...
Alina terbangun di sepertiga malam seperti biasa, tak menghiraukan Liam yang pulas di sofa, dia beranjak ke kamar toilet untuk mandi dan bersuc seperti kebiasaanya. Setelah itu ia pun mulai untuk mendirikan sholat malam dengan menggunakan cadar.
Awalnya dia ingin membangunkan suaminya, tetapi mengingat sikap arogansi suaminya, membuatnya mengurungkan niat. Alina mulai sholat sendiri lalu kemudian mengaji, mengaji dengan suara yang lirih dan pelan agar suaminya tidak bangun karena suaranya.
Beberapa puluh menit Alina tenggelam dalam bacaan Ayat suci A-Qur'an, suara Adzan shubuh pun berkumandang merdu dengan kalimat indah yang menyerukan bahwa sholat lebih baik dari tidur.
'Asholatu khoyruminan Naum!"
'Asholatu khoyruminan Naum!"
'Asholatu khoyruminan Naum!"'
Alina menoleh ke arah suaminya, bingung apakah dia harus membangunkannya atau membiarkannya saja?
Alina menggeleng berusaha untuk tak memperdulikan lalu kembali melanjutkan bacaannya hingga adzan selesai. Adzan hampir berakhir tetapi Liam tak juga membuka matanya, membuat Alina berpikir bahwa pria itu sepertinya tak pernah menunaikan kewajiban.
"Dia bahkan tidak bangun, padahal suara adzan begitu keras," gumamnya, sambil menatap suaminya yang berpindah poisisi membelakanginya.
"Bagus, sepertinya dia memang pria yang tak perduli pada dirinya sendiri!" gumamnya lagi.
Alina menarik napas panjang, berpikir sejenak. Walau bagaimana pun kan sekarang dia sudah menjadi seorang istri, dan Liam adalah suaminya yang sah di mata negara dan agama yang menuntut agar setiap pasangan memberikan hak hak mereka sebagaimana yang telah diwajibkan, tak terkecuali mengingatkan dan mengarahkan pasangannya melalukan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.
Alina mendengus, dia mulai menyadari dan segera bangkit dari simpuhannya di atas sajadah. Dengan hati yang berat dan penuh kewaspadaan Alina mencoba membangunkan suaminya.
"Liam..." panggilnya pelan, namun suaminya masih tak bergerak.
"Liam, bangunlah ini sudah shubuh!" ucapnya. Liam masih tak merespon.
"Liam!" suaranya mulai agak keras, tetapi tatap saja pria itu tidak bangun seolah telingannya tuli di kencingi setan.
Alina menghela napas dan kali ini memberanikan diri untuk menyentuh bahu Liam dan mengguncangnya pelan, berharap suaminya akan bangun.
"Liam!" panggilnya agak keras seraya menepuk bahunya.
"Argh!" Pria itu mengeram membalikan tubuhnya dan mendorong tangan Alina yang sudah berani menyentuhnya. membuat wanita itu terhuyung kebelakang, Alina syok dan kaget dengan sikap kasar Liam yang tak ia duga.
"Beraninya kau mengangguku, Apa yang kau inginkan?" geramnya, matanya yang merah menatap Alina tajam.
Alina, yang masih terguncang, berusaha menahan perasaan terlukanya. "Aku membangunkanmu untuk sholat shubuh, kenapa kamu begitu kasar? aku melakukannya dengan baik baik!"
Liam menyeringai, penuh sinis.
"Karena aku benci orang orang yang menganggu tidurku, atau kau sengaja ingin mencari perhatian dariku?"
"Iti tidak benar!" Alina menyela dengan cepat.
Rahang liam mengeras lalu bangkit dari sofa, hingga mereka berdiri saling berhadapan.
"Kalu begitu, mulai sekarang dan seterusnya jangan pernah menganggu hidupku dengan keyakinanmu, jangan pernah mengingatkan aku tentang dosa karena aku tidak mempercayai semua itu, kau mengerti?!" pekik Liam, suaranya tak begitu keras namun penuh tekanan.
Alina tersentak dan menggenggam dadanya, pengakuan Liam benar benar membuat dadanya terhimpit sakit.
"Astagfirullah....Astagfirullah..Hal adziim" lirihnya, dalam ketundukan dan besarnya rasa kecewa Alina menitikan air mata.
Liam memandang istrinya, sadar ucapannya sudah membuat Alina menangis dalam diam, namun tak terpancar dari matanya rasa penyesalan. Dengan gerakan cepat, dia beranjak menuju kamar mandi, pintu tertutup keras di belakangnya, membuat Alina tersentak. Sisa keheningan terasa semakin mencekam, menyisakan kesedihan yang mendalam di hati Alina.
ud la ngalh salh satu ungkapin prasaan. tpi jangn alina y, liam az yg ungkapi lbih dulu dn bobok ny jang pisah kamar. eh, tpi jangn dulu nti khilaf. blum nikh ulang soal ny😅.
ayo hukumn ap dri liam. kn jdi mikir yg gk2😂. ap gk sebaik ny pernikhn mreka ni diperjels y. krna dri awal banyk x perjnjian2 dibuat liam.
sbelum ny liam mmbuat kontrk utk prnikhan mreka. dn skarang liam sprtiny ingin mlanjut kn prnikah sesungguhny. klw bgitu liam dn alina hrus ijab kabul ulang. krna disaat liam mmbuat perjanjian2 itu, ud trmsuk talak. nmany talak mudhaf. talk yg ud ditentukn.
ayo alina, bukn kh itu yg kau harapkn. saling mmbuka hati.
sehat2 jga buat author ny. biar bsa doble up😁✌️
Ku tunggu buktinya Liam.