Raika, telah lama hidup dalam kesendirian sejak kematian ayahnya. Dunia yang berada diambang kehancuran memaksanya untuk bertahan hidup hanya dengan satu-satunya warisan dari sang ayah; sebuah sniper, yang menjadi sahabat setianya dalam berburu.
Cerita ini mengisahkan: Perjalanan Raika bertahan hidup di kehancuran dunia dengan malam yang tak kunjung selesai. Setelah bertemu seseorang ia kembali memiliki ambisi untuk membunuh semua Wanters, yang telah ada selama ratusan tahun.
Menjanjikan: Sebuah novel penuhi aksi, perbedaan status, hukum rimba, ketidak adilan, dan pasca-apocalipse.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahril saepul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Jadi, begitu yah?
Aku kira mereka telah pergi, tapi ternyata mereka masih mencari sesuatu dari kawah itu. Aku berjalan perlahan untuk menghindari pantauan dari orang Eldritch menuju semak-semak.
Ketika bersembunyi, terdapat dua orang lewat di hadapanku.
"Apa kau yakin ledakannya sebesar itu?" tanya orang itu.
"Iya, kau tidak dengar apa yang dirumorkan? Bahkan rumornya telah sampai ke Distrik lain."
"Jika memang benar, itu ...."
'Ledakan? Apa yang mereka maksud adalah kawah itu, tapi kenapa aku berada di tengah kawah? Apa ada hubungannya dengan garis-garis ini atau Vicuris?'
Aku menyampingkan pertanyaan itu dan fokus pada satu-satunya peninggalan ayah. Saat situasi dirasa aman, aku bergegas turun untuk kembali ke tempat pertama kali terbangun. Aku mencari di sekitar dan beruntung menemukannya tergeletak di tanah.
Sesegera mungkin aku pergi dari kawah; merasakan garis di tubuh mengalir dengan energi yang kuat. Setiap langkah membuat tubuhku semakin ringan, hingga berhasil melompat ke dalam hutan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kekuatan ini hampir mirip seperti Fury mode, tetapi jauh lebih baik. Meski begitu, sebaiknya aku berhati-hati karena tidak tau harga apa yang harus dibayar untuk kekuatan ini.
Aku berlari dan berlari hingga akhirnya kembali ke perkotaan yang ditandai sebagai Zona Merah.
'Sesuai zonanya, di sini benar-benar kacau.' Berdiri di atas gedung, menatap Wanters dari segala arah.
***
Tiga hari telah berlalu. Kota hancur. Zona Merah. Tempat parkir mobil di bawah tanah.
BUGH!
Memukul Wanters terakhir dari puluhan Wanters yang aku lawan.
Selama tiga hari, aku berusaha mengetahui kemampuan dari kekuatan ini.
Pertama: Setiap Arcis yang ku serap akan membuat tubuh semakin ringan, dan juga, jika Arcis kupegang menggunakan kain maka Arcis itu tidak akan terserap masuk.
Kedua: Aku bisa berpindah tempat ke mana pun aku mau. Namun, jaraknya terbatas---hanya beberapa meter saja. Mungkin, jika aku menyerap lebih banyak Arcis jarak tempuhnya bisa lebih jauh lagi.
Ketiga: Kemampuan ini juga mampu mempengaruhi Beasthearts yang ku gunakan. Setiap peluru yang keluar, mampu menembus kulit Wanters tingkat tiga, meski aku menggunakan Beasthearts tingkat rendah.
Berpindah dari bawah tanah ke atas permukaan, seperti teleportasi. Berdiri di atas jalanan rusak.
Mendadak muncul Wanters dalam posisi menyerang di belakang. Aku berpaling.
SLINGS----BURSH.
Berdiri di atas mobil bus berlumut, menatap Wanters terbelah. 'Kekuatan ini terlalu kuat, bahkan hanya menggunakan tangan, aku bisa memotongnya seperti pedang.'
Aku sudah lelah dengan Zona merah karena mereka selalu berdatangan tanpa memberi istirahat. Melihat puluhan Wanters berlari ke arahku dari segala arah.
Menghela nafas.
Aku mulai dengan satu langkah kecil untuk menuruni mobil. Merasakan energi yang meluap-luap hingga garis-garis ini mengeluarkan asap.
Dirasa sudah waktunya, aku menatap Wanters di sekitar.
BLING---BUG-BUG-BUG-BUG....
Semua tubuh Wanters di sekitarku mengembung seperti balon.
BUCKK
Meledak, memuncratkan darah hijau kemana-mana.
'Sebaiknya aku pergi dari sini,' berjalan di atas gedung, menatap Arcis tingkat 3. 'Bila Arcis ini ku jual, mungkin harganya tidak seberapa. Namun, jika diterapkan pada sniper aku rasa akan lebih baik, tapi ... akan kupikirkan nanti.'
Berjalan menuju tas dengan beberapa botol air yang kuambil dari sungai. "Sepertinya akan terjadi badai." Merasakan angin yang berembus kencang.
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam gedung, untuk menghindari badai. Aku juga berencana mengganti Arcis pada Sniper karena jika dipikir lagi, aku bisa mendapatkannya kembali nanti.
Ketika badai di luar semakin menggila, angin kencang menerbangkan beberapa monumen, juga pepohonan. Disaat itu, pandanganku tertuju pada mobil yang melaju cepat, diikuti segerombolan Wanters dari belakang.
Entah kenapa aku merasa ragu untuk membantu mereka. Namun, aku memaksakan diri untuk membidik beberapa Wanters dari sisi gedung---karena aku tidak ingin mengingat kejadian itu lagi, dan juga.
'kenapa harus di kondisi badai ....'
Setiap peluru ku tembak mengenai beberapa Wanters. Mobil itu berbelok ke arahku. Meski agak ragu, aku berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Roda bannya tergelincir, menabrak gedung dengan kuat. Namun, terlihat tiga orang keluar dari mobil secepat mungkin berlari ke dalam gedung. Aku menembak beberapa Wanters yang mencoba menerobos masuk.
Suara pertarungan mereka terdengar dari bawah melawan beberapa Wanters yang berhasil masuk. Aku berpindah ke lantai tiga dengan sigap membantu menembaki beberapa Wanters dan menyembunyikan kekuatan itu.
Dengan usaha yang cukup menguras tenaga, akhirnya kami berada di lantai tujuh, tempat awal aku menembak.
"Terima kasih," ujar seorang laki-laki berambut abu-abu (21) dengan napas tersengal-sengal.
"Syukurlah kita masih hidup, tadi itu benar-benar gila," kata seorang perempuan berambut cokelat (20).
Satu lagi seorang laki-laki berambut hitam dengan kacamata napasnya berat tersungkur ke tanah (19).
Aku berjalan ke arah peralatan mengabaikan mereka, karena ragu. Lebih baik waspada daripada ceroboh, mungkin mereka memiliki niat licik.
"Maaf kami belum memperkenalkan diri. Aku Yuya Nishida, dia Mio Kobayashi dan juga Yuto Watanabe," ucap Yuya, seorang laki-laki berambut abu-abu.
Mengangguk pelan. "Salam kenal juga," aku kembali memperbaiki sniper yang tidak terpasang dengan baik.
Di luar badai masih berlangsung, suara gertakan terdengar dari beberapa Wanters di sekitar. Mereka bertiga terduduk tidak jauh dari tempatku berada, saling berbincang-bincang.
Yuya berjalan ke arahku.
"Beasthearts yang bagus, huh, apa itu Arcis tingkat tiga?" tanya Yuya menatap ke arah sniper yang telah selesai ku rakit.
Mengangguk pelan.
"Begitu ya," ia terduduk di hadapanku memandang ke arah badai. "Untunglah kamu melihat kami dari sini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, jika kamu tidak membantu kami."
"Jadi, sekali lagi terima kasih," menundukkan kepalanya.
"Sebaiknya, lain kali jangan terlalu ceroboh," saranku. Menatap Yuya.
"Sebenarnya kami sedang dalam perburuan Wanters. Jika saja tidak terjadi badai, mungkin perburuan ini akan lancar-lancar saja."
"Ah iya. Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Yuya menatap ke arahku.
Pikiranku seketika kacau, memikirkan seribu alasan untuk menjawab perkataannya.
"Hanya terpisah dari rombongan. Mungkin mereka telah sampai di Zona Hijau."
"Begitu ya, bagaimana kalau kamu ikut bersama kami," ajak Yuya.
Aku kembali memikirkan alasan untuk tidak ikut. Namun, mereka berdua mendekat ke arahku.
"Lebih baik kamu ikut saja. Keahlianmu juga bagus, jadi akan sangat membantu," ujar Mio.
"Aku tidak menyangka ada penembak hebat selain diriku," kata Yuto mendorong kacamatanya.
"Hee, bukannya kau selalu meleset," gurau Mio, tertawa kecil.
"Berisik!"
Tanganku sedikit bergetar, karena sudah cukup lama tidak berbicara panjang lebar dengan seseorang.
"Baiklah, mungkin aku berhenti sampai Zona Hijau," aku menerima tawaran mereka supaya tidak dicurigai.
Aku melihat mereka saling bercanda, menatap Beasthearts yang mereka gunakan.
Yuya seorang Attacker: pedang satu tangan dengan sarung tangan yang bisa memunculkan perisai, diisi juga oleh Arcis tingkat dua.
Mio seorang Attacker: pedang dua tangan dengan Arcis tingkat dua.
Yuto seorang Shooter: pistol dua tangan diisi dengan Arcis tingkat dua di dalamnya.
"Ngomong-ngomong, aku harus memanggilmu siapa?" tanya Yuya kepadaku.
"Raika."
"Raika ya, nama yang bagus, salam kenal," saut Mio.
Aku mengangguk pelan.
Badai di luar telah mereda dalam kurun waktu empat jam. Beberapa Wanters masih berada di sekitar menunggu kami untuk keluar. Ketika Wanters mulai sisa sedikit kami memutuskan untuk melawan.
Aku tidak menyangka mereka bisa saling bekerja sama dalam menghadapinya. Seperti, sudah terbiasa dalam kelompok.
Karena mobil rusak, kami memutuskan untuk berjalan kaki, berusaha menghindari pertarungan sebisa mungkin.
Sudah sejak lama aku tidak bergabung dengan kelompok, entah kenapa rasanya jauh lebih aman, tetapi lebih baik selalu waspada mungkin saja mereka memiliki niat buruk.
End bab 5
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.