NovelToon NovelToon
Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan / Slice of Life
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 5

Setelah sesi konsultasi yang panjang dengan bapak dosen, aku memutuskan untuk melanjutkan langkah selanjutnya dalam proses penelitianku. Aku mulai bertanya-tanya lewat WhatsApp ke teman-teman, saudara-saudara, dan beberapa orang yang aku kenal mengenai biro perjalanan haji dan umroh yang mereka kenal atau pernah mereka gunakan.

Ternyata, banyak dari mereka yang merespons dengan nama PT A sebagai biro yang mereka gunakan atau kenal. Banyak yang bilang bahwa mereka merasa puas dengan layanan dari PT A, dan beberapa bahkan memberikan testimoni positif tentang pengalaman mereka.

Dengan informasi ini, aku akhirnya memutuskan untuk menggunakan PT A sebagai objek penelitian dalam proposalku. Ini akan menjadi fokus utama dalam analisisku mengenai pengaruh harga dan kepercayaan terhadap minat konsumen.

***

Setelah aku selesai memperbaiki proposalku, aku langsung menuju gedung fakultas untuk menemui bapak dosen. Dengan hati berdebar, aku menyerahkan proposal yang telah direvisi.

Bapak dosen hanya melihat judulnya dan langsung bertanya, “Kamu kemarin magang di mana?”

“Di PT B, pak,” jawabku dengan suara agak bergetar.

Beliau terlihat mengerutkan kening, sepertinya heran dengan keputusan yang aku ambil. Bukan cuma bapak dosen yang tampak heran; banyak teman-temanku juga bertanya-tanya mengapa aku memilih PT A sebagai subjek penelitian, padahal aku magangnya di PT B.

“Kenapa subjeknya malah PT A?” tanya bapak dosen sambil bersandar pada kursinya dengan ekspresi bingung.

Aku menarik napas panjang dan menjelaskan dengan lebih mantap dari sebelumnya, “Sebelumnya saya sudah konsultasi dengan bapak, dan setelah itu saya bertanya kepada beberapa masyarakat. Dari hasil wawancara tersebut, ternyata banyak yang menggunakan PT A dibandingkan PT B.”

Aku sendiri juga kaget bagaimana bisa jawab pertanyaan bapak dosen dengan lancar kali ini. Biasanya, proses berpikirku memakan waktu lama, jadi rasanya seperti keajaiban kecil ketika aku bisa langsung memberikan jawaban yang memadai.

“Oke kalau gitu,” ucap bapak dosen setuju sambil menandatangani lembar form validasi milikku.

Aku sedikit terkejut karena beliau hanya melihat judul dan belum membuka proposalku lebih dalam. Ini berbeda dengan pengalaman teman-temanku, yang mendapatkan perhatian penuh dengan pembahasan mendalam dan berbagai pertanyaan.

Ketika bapak dosen bertanya, “Ada yang ingin ditanyakan?”

Ssetelah beberapa saat, aku baru sadar kalau ini adalah kesempatan yang baik untuk mengklarifikasi hal-hal yang masih mengganjal di pikiranku.

“Em, gini pak. Kan saya subjeknya PT A. Saya perlu datang ke PT-nya enggak pak untuk minta izin?” tanyaku dengan rasa penasaran dan sedikit cemas.

Bapak dosen menjawab dengan tenang, “Di sini objekmu adalah masyarakat desa, jadi kamu harus minta izin untuk penelitian di desa tersebut. Kalau untuk PT, kamu tidak perlu minta izin. Tetapi, jika kamu membutuhkan data atau informasi spesifik, kamu bisa ke sana.”

Aku merasa sedikit bingung dan masih ragu. “Jadi, seriusan pak, enggak perlu minta izin?” tanyaku lagi dengan nada penuh keraguan.

“Enggak perlu,” jawab bapak dengan tegas.

Mendengar jawaban bapak dosen membuatku merasa lega sekaligus masih sedikit skeptis.

“Setelah ini, kamu langsung aja temui sekjur. Kalau beliau ada, kamu langsung aja ngadap dan minta tanda tangan,” ucap dosen RTA sambil memberikan instruksi terakhir.

“Baik pak, terima kasih,” jawabku dengan rasa syukur. Aku mengambil kertas form validasi milikku dan menatap tanda tangan bapak dosen yang baru saja tertera di situ. Tanda tangan itu seolah menjadi simbol lampu hijau untuk langkah selanjutnya dalam proses penelitian ini.

***

Jujur aja, aku sekarang bener-bener ragu tentang apakah aku perlu izin atau tidak ke PT A. Aku disuruh RTA  ke PT A kalau aku butuh data aja kalau datanya ada di internet engga perlu lagi ke sana, tapi kan PT A adalah subjek penelitian ku, masa aku enggak izin sama mereka?

Rasanya agak aneh juga kalau aku tidak melibatkan mereka sama sekali dalam proses ini, apalagi kalau nanti jurnalku terbit dan PT A mendapati bahwa mereka tidak pernah dihubungi atau dilibatkan.

Aku khawatir jika pihak PT A tiba-tiba terkejut dan merasa tidak pernah ada komunikasi yang jelas dari pihakku. Itu bisa jadi masalah besar, kan? Apalagi kalau mereka merasa diabaikan atau tidak diberi informasi yang memadai. Misalnya, jika jurnalku terbit dan ada informasi yang mengaitkan mereka tanpa pemberitahuan sebelumnya, bisa-bisa mereka merasa dirugikan atau bahkan menuntut.

Namun, RTA-ku bilang bahwa aku tidak perlu izin dan cukup mengunjungi PT A hanya ketika aku membutuhkan data. Menurut beliau, selama data yang aku butuhkan sudah diperoleh, tidak perlu repot-repot mengurus izin formal.

Tapi di sisi lain, aku merasa tidak nyaman dengan keputusan ini. Ada bagian dari diriku yang merasa bahwa sebaiknya aku tetap mengonfirmasi atau izin terlebih dahulu untuk menjaga hubungan baik dan menghindari masalah di kemudian hari.

Jadi, aku berada di tengah dilema yang membingungkan. Ikuti saran RTA dan biarkan semua berjalan seperti yang disarankan, atau ambil langkah ekstra dengan menghubungi PT A untuk izin dan menjaga komunikasi terbuka? Rasanya seperti berada di persimpangan jalan yang membuat kepala pusing.

In the end, it’s a tough call. I need to balance between following the advice given and ensuring that all parties involved are properly informed and respected.

***

Aku sedang menunggu bersama teman-teman yang lain untuk menemui Sekjur. Di situ, aku kebetulan bertemu dengan anak dari kelas sebelah yang kebetulan magang di PT A.

Dengan penuh harapan, aku bertanya padanya, "Subjek penelitianku PT A, kira-kira aku perlu izin atau enggak? Tapi kata RTA, izin itu enggak perlu dan aku ke PT A kalau aku butuh data atau informasi aja."

Dia menjawab dengan santai, "Kalau kamu butuh data, kamu bisa minta ke aku. Tapi kalau memang butuh data yang lebih valid dan lebih privat, aku bisa anterin kamu ke sana."

Aku tertegun sejenak. I still remember my first impression of him clearly. Dia itu sangat ramah dan peduli; aku pernah melihat dia memberi makan kucing jalanan, bawa botol bekas air mineral yang dia isi dengan makanan kucing. Gak hanya itu, attitude yang penuh perhatian benar-benar bikin aku terkesan.

"Makasi banyak ya, kalau gitu nanti aku hubungi kamu aja," kataku dengan rasa lega dan bersyukur.

Sekarang, setidaknya aku punya alternatif solusi yang lebih terjamin untuk mendapatkan data yang aku butuhkan, dan bisa menjaga hubungan baik dengan PT A tanpa harus merasa ragu-ragu lagi.

***

Dan ternyata benar, we shouldn’t just judge a book by its cover. Kita enggak pernah tahu seperti apa isi sebenarnya. Jujur aja, aku benar-benar terkejut dengan siapa dia sebenarnya. Ekspektasi awalku langsung turun drastis setelah melihat sisi lain dari dirinya.

Awalnya, aku menganggap dia sebagai sosok yang sangat ramah dan perhatian, hanya berdasarkan bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain—memberi makan kucing jalanan dan selalu terlihat peduli. I assumed he was genuinely kind and helpful. Namun, ternyata, behind that first impression, ada hal-hal yang membuatku berpikir ulang tentang diri dia.

Ketika aku mulai mengenal lebih dalam, aku menemukan bahwa dia tidak selalu seperti kesan pertama yang aku lihat. Ada banyak layer yang belum aku ketahui sebelumnya, dan beberapa dari itu membuatku harus menurunkan ekspektasi awal yang sempat aku bangun.

Dia ternyata memiliki sisi yang berbeda dari yang aku bayangkan, dan ini membuatku merenung bahwa seringkali, what you see on the surface doesn’t always reflect the whole picture.

Ini menjadi pelajaran berharga buatku bahwa penting untuk melihat lebih dalam dari sekadar penampilan atau kesan pertama. Sering kali, kita hanya melihat apa yang ditampilkan di depan kita tanpa menyadari kompleksitas dan realitas di baliknya.

1
anggita
like👍☝tonton iklan. moga lancar berkarya tulis.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!