NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berprasangka Baik Lah!

Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir.

Ada satu penuturan Raga yang membuatku sempat ternganga, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah, yakni saat dia menyebut profesi orang tuanya.

“Papah kerja di kantor pelayanan publik.”

Sampai di situ aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah lebih dulu minder. Walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Security juga bekerja di kantor. OB juga bekerja di kantor. Bahkan Bapakku pun bekerja di kantor PJTKI.

Aku tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap profesi orang tua Raga. Ketika mendengar istilah pelayanan publik, aku pikir Bapaknya semacam PNS gitu.

Ternyata, “Papaku tuh jaksa.”

Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku teringat perlakuan burukku kepada dia sehari sebelumnya, yang mana dengan lancang aku membentak dia, membentak anak jaksa, dengan sikap angkuh pula.

Ya Tuhan!

Tanpa menanggapi ucapan cowok itu, aku bergegas menandaskan isi gelas yang kupegang. Kulit wajah rasanya seperti terpanggang.

🩶🩶🩶

Begitu es gudir di gelas kami masing-masing habis, dan Bapak sudah menyerahkan kembali gelasnya dalam keadaan kosong, Raga bergegas membayar ke pedagang es yang menunggu di tepi jalan. Gelas di tanganku diambilnya untuk dia bawa serta bersama gelasnya. Anak jaksa itu bersikap melayani, membuatku merasa tak enak hati.

“Biar aku saja. Kamu kan tamu,” sergahku.

Omonganku tak digubris. Dia hanya tersenyum, lalu dengan cekatan mengambil gelas dari tanganku.

Tak lama kemudian, Raga kembali. Aku pun memberanikan diri untuk protes, “kenapa kamu bersikap seperti ini?”

“Ada yang salah dengan sikapku?” Dia balik tanya seraya mengambil duduk di sebelahku.

“Kamu kan bertamu. Seharusnya kami yang melayani, bukan sebaliknya.”

Sejenak, dia menghela napas. Lalu, tatapannya berpaling seiring dengan perpindahan posisi duduk. Yang awalnya agak serong ke arahku, berpindah lurus ke arah jalanan. Kami duduk bersampingan dalam jarak satu hasta.

“Jujur, tiap ngeliat kamu, aku tuh keinget Teteh.”

“Teteh?”

“Sorry, maksudku Kakak. Kami orang Sunda biasa menyebut Kakak perempuan dengan sebutan Teteh.”

“Oh, iya aku tahu.”

Tentu saja aku sudah tahu. Rio—pemuda yang saat itu katanya kekasihku—rumahnya Banten. Bapaknya asli Sunda, Ibunya perpaduan Sunda-Jawa, dan dia sendiri sering berbicara menggunakan Bahasa Sunda ketika tengah bersamaku.

“Maksudku, kenapa harus inget Teteh?”

“Karena kalian sangat mirip,” tutur Raga kemudian dengan ekspresi sedih. Tatapannya sayu dan kosong. “Mulai dari model rambut, senyum, tawa, bahkan suara. Sama persis.”

“Masa, sih?” sangsiku.

“Serius,” sambungnya dengan nada meyakinkan. “Kapan-kapan aku ajak ke rumah biar tahu gimana Teteh. Kamu pasti kaget.”

“Lalu? Apa hubungannya dengan sikap tadi? Kamu nganggep aku sebagai Kakak juga?”

Raga tergelak, lalu memperbaiki posisi duduk.

“Boleh aku cerita tentang Teteh?” tanyanya kemudian.

“Ya boleh, lah.”

“Mau dengerin ceritaku?”

Aku mengangguk.

Lalu, Raga mulai bertutur.

“Aku dan Teteh dua bersaudara. Usia kami selisih tiga tahun. Waktu aku kelas 2 SMP, Teteh SMA kelas 2.” Raga menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia seolah mencoba untuk membuang beban dalam dada. Aku masih anteng menyimak, hingga dia melanjutkan penuturannya. “Teteh anak kesayangan Mama, juga Papa. Selain pintar, dia tuh penurut banget.”

Raga kembali menghela napas panjang, seolah menghalau sebuah beban berat dalam dada. Sementara aku masih diam, menyimak penuturannya sebaik mungkin. Hingga dia melanjutkan kembali ceritanya. “Suatu hari, kemalangan menimpa Teteh. Sepulang sekolah, dia mengalami kecelakaan, lalu... meninggal.”

“Inna lillahi,” ucapku refleks seraya menutup mulut dengan kedua tangan. Ini sama sekali di luar dugaan.

“Meninggalnya Teteh membuat Mama sangat terpukul. Setiap melewati lokasi kecelakaan, setiap melihat anak berseragam SMA, Mama selalu menangis meraung-raung persis anak kecil. Akhirnya, Papa memutuskan untuk membawa kami pergi dari Bandung, sebab khawatir dengan kondisi Mama yang mulai bersikap seperti orang depresi. Dulu, untuk bisa tidur nyenyak saja, Mama harus dibantu obat.”

“Ya Allah!” Sepasang mataku mulai berkaca-kaca. “Sekarang gimana kondisi Mama kamu?”

Raga menatapku, mengulaskan senyum tipis di wajahnya yang adem.

“Alhamdulillah mulai membaik. Akhir-akhir ini sudah tidak bertingkah mengkhawatirkan lagi. Hanya belum bisa keluar rumah saja. Kalau melihat kendaraan besar di jalan, dia akan langsung histeris.”

Sampai di situ, air mataku betul-betul menetes. Raga, yang awalnya aku pikir memiliki kehidupan sempurna, ternyata menyimpan masalah yang cukup besar. Remaja sekecil itu harus mengurus seorang Ibu yang menderita gangguan kejiwaan.

“Kapan-kapan aku bawa ketemu Mama ya? Mama pasti seneng banget.”

“Ih, aku malu.”

“Malu kenapa?”

Aku terdiam bingung.

Iya, ya. Kenapa harus malu, coba? Malu karena miskin? Malu karena tidak cantik? Untuk apa? Kan Raga hanya bermaksud mengajak temannya main ke rumah. Memang apa masalahnya punya teman tidak cantik? Apa masalahnya punya teman miskin?

“Eh, kamu tuh baru kelas satu, ya?” tanya Raga kemudian ketika jawaban dariku tak kunjung keluar.

“Iya.”

“Berarti adik kelasku, dong.”

“Memangnya kamu kelas berapa?”

“Jangan panggil kamu. Itu kayak nggak sopan gitu.”

“Ha?” Aku ternganga.

“Kan aku lebih tua. Seharusnya kamu panggil aku dengan sebutan ‘Mas’. Jangan 'kamu' begitu.”

“Apa sih? Nggak ngerti,” ujarku seraya menggaruk kening.

“Begini saja. Mulai hari ini, aku panggil kamu ‘Adek’ dan kamu panggil aku ‘Mas’. Gimana?”

Aku diam, bengong, merasa aneh dengan semua yang aku hadapi hari itu. Makhluk bernama Raga ini memang unik.

“Kamu nggak perlu bingung lagi bagaimana harus memanggil aku. Kuperhatikan sejak tadi kayak canggung gitu mau panggil apa.”

“He he, kok tahu?” Aku meringis malu.

“Mulai hari ini kita jadi Kakak Adek. Mau, ‘kan?”

Entah harus menjawab bagaimana. Seharusnya tak perlu lagi ditanya. Siapa yang menolak dianggap adik oleh cowok sekece Raga? Cowok yang memiliki sahabat setampan Kevin. Siapa tahu akrab dengan Raga bisa membawaku akrab dengan Kevin juga.

Aku berusaha keras menyingkirkan Rio sejak hari itu. Dia yang biasa aku mesrai lewat rangkaian kata—melalui selembar surat, perlahan mulai kuabaikan. Aku mulai jarang mengabarinya, bahkan surat-surat darinya kerap kubiarkan begitu saja dalam tas sekolah. Gairahku untuk membaca kabar dan rayuan gombalnya hilang entah ke mana.

🩶🩶🩶

Aku dan Raga membicarakan banyak hal siang itu. Tentang aku dan alasan kenapa bersikukuh melanjutkan sekolah di Ponorogo, sekalipun sudah pindah tempat tinggal. Padahal, jarak dari Madiun ke Ponorogo tidaklah dekat. Aku harus rela setiap pagi bangun pukul 4—karena pukul 5 sudah berangkat, supaya tidak terlambat sampai Sekolah. Begitu pula jam pulangnya. Di saat teman-teman yang lain sudah tiba di rumah, bisa beristirahat, atau bahkan main entah ke mana, aku masih harus berkutat mengejar bus antar kota.

“Aku nggak suka berada dalam suasana baru,” dalihku membela diri.

“Tapi itu suatu keniscayaan, Dek. Setiap orang pada akhirnya akan selalu dihadapkan dengan perubahan. Kita nggak bisa terus bertahan dalam zona nyaman.”

“Itu dia. Aku tipe orang yang tidak suka jika harus beradaptasi dengan hal baru. Ketika sudah nyaman dengan sesuatu, aku nggak mau ninggalin.”

Raga terkekeh lirih.

“Mudah-mudahan aku bisa menjadi salah satu hal yang membuat kamu nyaman,” cetusnya kemudian.

“Kenapa begitu?”

“Biar nggak ditinggal.”

Tawaku meledak seiring dengan rona hangat yang menjalar di pipi.

Jujur, aku baper dengan sikapnya. Hanya tidak mau mengakui saja. Entah karena hipokrit atau karena tertutup pesona Kevin. Atau mungkin karena keberadaan Rio nun jauh di sana yang meski aku abaikan, tapi hati kecilku tak bisa menyangkal bahwa dia ada.

Rio, pemuda yang usianya empat tahun lebih tua dariku. Dia merupakan saudara dekat tetanggaku di kampung. Kami bertemu ketika dia berkunjung ke rumah saudaranya tersebut. Dan kesepakatan tanpa paksaan pun terjadi, untuk menjalin hubungan jarak jauh.

Namun, aku culas. Di belakangnya, berkali-kali menjalin kedekatan dengan cowok lain. Memang bukan sebagai kekasih, tapi dekat lebih dari teman. Beberapa dari mereka bahkan ada yang salah paham, dan mencoba mengajakku berpacaran. Untungnya aku selalu menemukan jawaban untuk menghindar.

🩶🩶🩶

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!