NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.05 - Lomba Antar Sekolah

“Kalian nanti akan dikirim ke sekolah sebelah untuk lomba.”

Dagu Bening terjatuh setelah mendengar ucapan Bu Petris barusan. Begitu juga dengan Isvara di sebelahnya. Hanya Lail dan Nylam yang diam. Nyawa mereka mungkin sudah melayang di detik yang sama ketika Bu Petris menyampaikan informasi penting ini.

Lomba akademik yang selalu diikuti oleh sepuluh sekolah elit. Ada beberapa mata lomba yang diadu. Isvara pasrah saja saat dia mendapatkan bagian lomba membuat dan membacakan puisi. Bening lomba menciptakan cerpen. Nylam sendiri di mata lomba kimia.

Sedangkan Lail mulai sesak napas saat namanya dikirim Bu Petris sebagai perwakilan lomba eksak, tepatnya aritmetika. Di mana dia akan menghitung hasil akhir dari penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa kalkulator dengan cepat.

Wajah keempatnya mendadak pucat. Ada 21 mata lomba yang dilombakan. Empat peserta di antaranya berasal dari kelas 1-7. Sisanya dari kelas lain, tahun pertama juga. Badan Lail bergetar seakan mengalami kejang.

Aritmetika... kenapa dari semua mata lomba aku malah dapet...

“Aku harus buat kerangka cerpennya dari sekarang...” Bening bergumam. “Bu, bagaimana dengan ketentuan lombanya?”

Bu Petris menyerahkan selembar kertas pada Bening.

Bening mengangguk-angguk setelah membaca seluruh ketentuannya. Tidak banyak, tapi otaknya terlalu mandet untuk membuat sebuah cerpen. Ide di otaknya terlalu banyak, dia tak mampu kalau harus menuangkan dalam bentuk cerpen, di mana itu amat terbatas.

“Terus yang kimia gimana, Bu?” Kini Nylam yang bertanya.

“Mudah. Materinya cuma tentang tabel periodik untuk sesi pertama. Kalau yang sesi kedua materinya belum diberitahu.”

Nylam mengangguk.

“Terus saya bagaimana, Bu?” Isvara pun angkat suara. Dia jelas tak berpengalaman, tapi entah bagaimana bisa terpilih oleh Bu Petris selaku guru mapel Bahasa Indonesia.

“Ibu bagian yang ngurus kamu, nanti pulang sekolah tunggu saya di kantor.”

“Iya, Bu.”

“Untuk Lail...” sorot mata Bu Petris beralih pada Lail yang berdiri di paling ujung dengan wajah paling pucat. “Sepertinya tidak ada yang perlu Ibu sampaikan ke kamu. Aritmetika harusnya mudah buat kamu yang nilai MTK-nya selalu nyaris sempurna.”

Lail merayau. Pikirannya berenang di lautan kosong. Nylam pun menyenggol sikunya pelan, menarik Lail kembali ke dunia nyata. Kasihan, gadis itu mendapat bagian yang paling mengerikan.

Karena angka yang harus dijumlah pastilah berdigit tiga dan hanya ditampilkan layar dalam waktu satu detik saja. Bayangkan, dia harus menjumlah, mengurangi, mengalikan, dan membagikan angka yang bernilai ratusan dalam waktu kurang lebih satu detik. Bagaimana caranya?

Kaki Lail lemas, mendadak dia lupa cara untuk berdiri. Matanya menatap kosong jendela di belakang tempat duduk Bu Petris. Hatinya mengiri saat melihat siswi seangkatannya asyik bermain voli tanpa tahu betapa susah dirinya diikutsertakan dalam lomba demi nama sekolah. Aritmetika pula. Manusia super mana yang mampu? Lail sih tidak bisa.

Aku harap nilainya puluhan, gak ada yang ratusan.

Lail meringis dalam hati.

“Lombanya minggu depan, hari Senin.”

Kini hati Lail menjerit. Begitu pula dengan Bening, Nylam dan Isvara. Nyawa mereka seakan ditarik paksa tanpa ampun. Informasi ini terlalu menyiksa keseharian mereka untuk seminggu ke depan.

Keluar dari ruang guru, Isvara mulai mendumel.

“Apaan sih, masa lomba minggu depan tapi baru dikasih tau sekarang? Mana udah hari Rabu lagi, anying.”

“Pasrah ajalah aku, mah.” Timpal Nylam dengan suara lemah.

“Semoga masih sempet buat bikin kerangka. Lomba nulis cerpen lima jam pasti pegel banget.” Tambah Bening.

Hanya Lail yang tak bisa mengeluh, sudah tak mampu baginya mengumpat dan mendumel. Dia harus latihan di waktu yang tersisa daripada malu-maluin di saat lomba. Rasanya malu kalau hanya dia yang tak bisa apa-apa. Ingin rasanya dia berguling-guling di tengah lapangan andaikata rasa malu tak pernah diciptakan.

“Lo oke ‘kan, La?” Isvara yang khawatir pun bertanya pada Lail. Lihat saja, Lail yang belum sempat ke kantin, tak larat menahan rasa lapar harus menerima kenyataan pahit ini.

Lail mendecakkan lidahnya, “Kayak gak ada orang lain aja.”

“Yang sabar, ya?” Bening menenangkan.

Lail mendelik ke arah Bening, “Udah dapet ide buat rangka ceritanya?”

“Eh...? Ya belum lah.”

Dan minggu itu adalah minggu terberat yang pernah dijalani oleh mereka berempat. Isvara terus berlatih diawasi Bu Petris. Lail dan Nylam pun diajari guru mapel masing-masing. Bening bolak-balik meja Bu Petris untuk mendiskusikan cerpen yang akan dia buat. Banyak yang harus direvisi, sampai di titik di mana ada bagian yang harus dirombak ulang karena Bu Petris kurang puas dengan hasil kerja Bening.

Nylam susah payah menghapal tabel periodik serta tetek bengeknya. Lail mati-matian berlatih menghitung cepat di ruang BK ditemani Bu Dea di luar jam mapel. Mereka berempat sering dispensasi demi berlatih untuk lomba.

Hari Senin sudah menanti mereka di pekan selanjutnya. 21 siswi SMU sudah siap di lapangan dengan seragam putih abu lengkap dengan almamater sekolah. Dengan wajah bangga mereka berjalan kaki menuju sekolah sebelah, sekolah khusus laki-laki. Lail mengusap-usap kantung matanya yang terlihat menghitam, berpikir jika usapan tangannya ajaib hingga bisa menghilangkan mata pandanya.

“Gue deg-degan, njir!” keluh Isvara, dia tak tenang sejak semalam karena ini hari Senin.

“Sama!” Timpal Bening.

Mereka diantar ke ruangan lomba masing-masing. Tidak semua sekolah mengirimkan muridnya ke semua mata lomba. Seperti di ruangan Lail, dari yang seharusnya ada sepuluh sekolah, yang ikut lomba aritmetika justru hanya lima sekolah saja. Di ruangan Nylam hanya tujuh. Sedangkan peserta di ruangan lomba puisi dan cerpen terisi penuh oleh sepuluh sekolah.

“Aku ke sebelah sini!” Tunjuk Bening, arah tangannya menunjuk ruangan di paling ujung gedung depan.

Isvara beruntung karena ruangannya di sebelah ruangan lomba cerpen. Nylam mengeluh karena dia harus ke gedung yang terletak di paling belakang bersama mata lomba fisika dan biologi. Lail mendongak, ruangan lomba aritmetika ada di lantai tiga. Fyuh... tiada hari tanpa mengeluh.

Bening masuk ke ruangannya. Dia yang kedua datang. Tak heran karena jarak sekolah mereka dekat sekali. Di setiap meja diletakkan papan nama sekolah supaya tak ada yang keliru. Yang pertama datang sudah tentu siswa dari sekolah ini. Bening mengintip tag nama di dadanya. “Erlangga...?” bisiknya.

Tapi suara Bening terlalu kencang untuk ukuran ruang kelas yang masih sepi ini. Siswa itu, Erlangga menoleh ke samping kiri, tempat Bening duduk.

Dia siswa tipikal. Dengan kacamata tebal dan pakaian yang teramat rapi. Cara duduknya yang mirip wanita membuat Bening mengira yang tidak-tidak.

“Heh? Kamu denger?” Bening bertanya memastikan.

Erlangga mengangguk, dia tersenyum lebar. Sangat lebar sampai Bening berpikir dia akan merobek sudut mulutnya sendiri. Melihat senyuman itu justru membuat Bening tak enak hati.

“Nama lo siapa?” tanya Erlangga antusias. Tapi matanya lebih cepat menangkap tulisan di tag nama sebelum Bening sempat menutupnya. “Bening Nawasena? Nama lo cantik, kayak orangnya.” Puji Erlangga.

Kali ini Bening tak bisa berkata apa-apa. Daripada berbicara dengan orang modelan Erlangga, lebih baik dia menonton ulang MV terbaru girl group favoritnya.

Namun waktu tenangnya dikacaukan oleh Erlangga tak lama setelah Bening menonton. Karena mereka duduk bersebelahan, Erlangga jelas tahu apa yang ditonton Bening dari jarak sedekat itu.

“Bukannya itu girl group yang baru debut bulan lalu, ya? Gila. Lo nge-stan mereka juga?” tanyanya antusias.

Kali ini Bening tertarik. Dia suka membicarakan apa yang dia sukai dengan orang sealiran. Ternyata Erlangga tak seburuk kesan pertamanya, begitulah pikir Bening.

Di sisi lain, Lail menaiki anak tangga terakhir dengan napas tersendat-sendat. Selain anak tangga yang banyak, Lail bisa sampai sepayah ini karena jarang berolahraga. Makanya dia tak mampu menaiki jumlah anak tangga yang masih terhitung normal ini.

Lail memasuki ruangan, baru ada dirinya dan perwakilan sekolah ini. Anak laki-laki itu tampak sibuk untuk latihan terakhirnya sebelum lomba dimulai di pukul 08:15. Ponselnya menunjukkan deretan angka yang perlu dijumlah. Nilai angka berganti dengan cepat. Mata lelaki itu fokus pada soal, tapi tangannya dengan lihai menulis setiap angka yang sudah dijumlah dengan nilai sebelumnya tanpa perlu melihat sebab matanya tak mungkin lepas dari soal.

Ada sepuluh nilai angka yang perlu dijumlah: 103, 811, 635, 291, 119, 547, 636, 288, 916, 877. Lail bisa mengingat soalnya. Hasilnya adalah 5.223–

“Huh? Kok bisa salah sih? Kenapa hasilnya malah 5.217?” gerutu siswa itu.

Lail mengernyit. Diam-diam dia mengintip kertas bekas tulisan siswa itu.

Lail menemukan kesalahannya. Tanpa sadar telunjuk Lail mengarah pada selembar kertas miliknya. “Di sini... harusnya 3.430 dijumlah 916 hasilnya 4.346, tapi kamu malah cuma ngejumlah 910 aja. Jadi hasilnya malah 4.340. Jadi pas ditambah 877 bukannya 5.223 malah 5.217.” papar Lail.

Kesalahan umum yang sebenarnya fatal dalam aritmetika. Cara menyelesaikan aritmetika itu mudah, tapi dibuat susah.

“Tenang aja, cuma ada sepuluh soal. Tiga soal pertama pasti nilainya puluhan. Gak bakal semua dibuat ratusan.” Ujar Lail menenangkan.

Lail sudah melihat banyak lomba aritmetika tingkat kota. Dan biasanya hanya ada sepuluh soal. Soal pertama hanya perlu menjumlah delapan deret angka. Tapi semakin naik levelnya, deret angka akan terus berlipat ganda dengan nilai angka yang awalnya puluhan menjadi ratusan. Takkan ada ribuan, karena kalau ada namanya membunuh peserta sendiri.

Siswa itu menatap tajam Lail. Dia melakukan kesalahan di depan calon lawan, itu memalukan untuk dirinya yang punya harga diri tinggi. Tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya soal aritmetika di sekolah ini.

Tidak boleh ada.

Lail mengumpat dalam hati, dia sudah salah langkah.

Haiyaa, salah apa pula aku? Kan cuma ngasih tau, masa gak boleh sih?

Akhirnya diiringi tatapan tajam siswa itu, Lail duduk di kursi dengan papan nama sekolahnya. Cukup jauh dari si sinis itu. Di meja, ada tablet yang akan digunakan peserta mmenulis jawaban. Sementara untuk menampilkan soal, di depan kelas sudah terpajang dengan megah TV yang ukurannya nyaris menyamai papan tulis.

Wah, sekolahku mah kalah mewah. Gila, tetangga tapi kekayaannya jauh beut~

Satu demi satu peserta lain memasuki ruangan. Ternyata hanya ada lima peserta saja dari sepuluh sekolah yang seharusnya berpartisipasi. Lail berpikir jika mereka tak punya satu siswa pun yang menonjol sampai-sampai tak mengirim.

Padahal aritmetika mudah... mudah buat dikeluhkan.

Pukul 08:15, waktu lomba dimulai. Pengawas lomba baru masuk bertepatan dengan dering bel. Seorang pria paruh baya berbadan bongsor dengan kumis lebat, tapi dagunya bersih dari jenggot. Beliau benar-benar hanya mengawasi, karena yang bertugas mengoperasikan soal di TV besar bagian operator yang ruangannya jauh dari ruang kelas ini.

Pengawas mengabsen nama-nama peserta sebelum lomba dimulai. “Arhan Arifin.”

“Hadir!”

“Davian Ardianto.”

“Hadir, Pak!”

“Lail Erya Ruzain.”

“Hadir!”

“Ryla Revalinka.”

“Hadir!”

“Wiyan Farras Wijaya.”

“Hadir.”

Lail menoleh saat nama siswa yang tadi dia ajak bicara dipanggil.

Ternyata namanya Wiyan.

Lomba pun dimulai. Deretan angka ditampilkan di layar TV. Tebakan Lail tidak meleset, tiga soal pertama diisi oleh nilai puluhan. Soal pertama ada delapan angka, soal kedua ada sembilan angka dan soal ketiga terdiri dari sepuluh angka. Setiap nilai ditampilkan dalam waktu 1 detik, dengan jeda setiap soal adalah 5 detik.

Mulai dari soal keempat, nilai berubah menjadi ratusan. Jeda untuk setiap angka diperlonggar menjadi 2 detik dengan jeda soal 7 detik. Namun surga itu hanya tertahan sampai soal kelima. Di soal keenam, jeda setiap angka kembali menjadi 1 detik. Lail mulai kewalahan.

Dia tak bisa mengumpat karena sibuk menghitung. Apalagi di soal kedelapan, jeda soal kembali menjadi lima detik. Semua mata tertuju pada layar TV, sedangkan tangan mereka sibuk menjumlah angka yang tertera.

Tangan Lail jika bisa berbicara mungkin akan mengeluh karena dipergunakan secara berlebihan. Lebih-lebih lagi dengan otaknya.

Soal kesepuluh, soal terakhir. Neraka para soal. Jeda setiap angka berubah menjad 0,5 detik, ada 15 deret angka bernilai ratusan yang harus dijumlah. Suara bising coretan pensil di atas kertas memenuhi ruangan. Tatapan tajam pengawas menambah tekanan para peserta. Waktu yang diberikan untuk menjawab soal terakhir adalah 3 detik.

Sesi pertama lomba pun selesai. Di layar TV, tertera hasil akhir para peserta.

Lail meringis, dia keliru di soal nomor tujuh, untung dia berhasil menjawab soal terakhir yang bagaikan neraka itu. Merasa ada yang memperhatikannya, Lail menengok, itu Wiyan dengan tatapan sinisnya.

Manusia ambis satu ini...

Karena nilai Arhan dan Ryla adalah yang terendah, mereka berdua dinyatakan gugur di sesi pertama. Sesi kedua adalah pengurangan dan sesi penentu adalah sesi perkalian.

“Jeda sepuluh menit sebelum sesi dua dimulai. Kalian bisa mengistirahatkan pikiran kalian sebelum sesi selanjutnya.”

Lail mengembuskan napas, ini belum berakhir.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!