NovelToon NovelToon
AZKAN THE GUARDIAN

AZKAN THE GUARDIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Kehidupan alternatif / Kontras Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: BERNADETH SIA

Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AKU YAKIN ITU BUKAN MIMPI

Dalam perjalanan pulang menuju kastil Azkan, Laina merenungkan sesuatu sambil menatap jalanan indah yang mereka lalui. Pepohonan rindang menaungi seluruh jalan raya, setiap sisi pulau ditata dengan begitu rapi dan asri, udara di sini juga menyegarkan, tak terpengaruh polusi dari pabrik produksi yang sangat besar di sisi lain pulau. Namun, satu hal yang mengusik pikirannya adalah mengenai sosok Eveline. 

“Apa yang sedang kau pikirkan, Lai?” Azkan menyadari pikiran Laina yang sedang berkelana entah kemana, meski tubuhnya ada tepat di sisinya sekarang. 

“Az?” Laina memiringkan tubuhnya sehingga bisa menatap Azkan.

“Ya?” Azkan menatap Laina sekilas, lalu kembali memperhatikan jalanan di depannya.

“Apa orang-orang yang tinggal di pulau ini tidak bertambah tua?”

“Iya. Selama mereka tinggal di sini, mereka tetap sama seperti keadaan terakhir mereka sebelum meninggal.”

“Jadi aku juga akan tetap seperti ini selama aku tinggal di sini? Tidak akan ada yang berubah dari tubuhku?”

“Hmm, secara usia, iya. Tapi jika kau rajin berolahraga atau melatih fisikmu dengan cara yang lain, tentu saja tubuhmu akan berubah. Tapi usiamu, tidak akan bertambah. Kau tidak akan bertambah tua.”

“Jadi itu kenapa Eveline terlihat begitu muda padahal dia sudah datang seratus tahun yang lalu …” Laina berbicara pada dirinya sendiri sambil kembali duduk menyandar pada kursinya.

“Kenapa Lai?”

“Apa semua Perempuan Pilihan datang di usia muda?”

“Tidak semua. Perempuan Pilihan ke-3 dan ke-5, mereka datang dalam usia yang lebih tua dariku. Jadi, secara fisik, mereka terlihat lebih tua dariku, meski aku hidup jauh lebih lama dibandingkan mereka.”

“Berapa usia mereka waktu datang?”

“Perempuan Pilihan ke-3, namanya Marqia, usianya 45 tahun. Sedangkan Perempuan Pilihan ke-5, Rosa, usianya 40 tahun.”

“Lalu berapa usiamu, Az?”

“Tiga puluh tahun.”

“Jadi, secara usia, kau hanya lima tahun lebih tua dariku?”

“Iya. Kalau kau tidak menghitung masa yang kuhabiskan di dalam pulau ini.”

“Hmm…”

“Apa hal itu mengganggumu?”

“Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memutuskan untuk memulai kehidupan kedua mereka di sini?” Laina tak menjawab pertanyaan Azkan dan mengajukan pertanyaan lain.

“Kalau mereka memutuskan untuk memulai kehidupan baru di sini, maka waktu mereka akan berjalan normal. Mereka akan menua dan mati. Kalau mereka berkeluarga dan memiliki anak di sini, anak mereka juga akan tumbuh normal seperti anak lain, tapi anak-anak itu akan memiliki kemampuan lebih. Bagaimanapun, mereka dikandung dan dilahirkan di pulau milik Dewa.”

“Jadi, pasti banyak orang yang memilih untuk tinggal di sini daripada memulai hidup baru di dunia luar kan?”

Azkan tersenyum mendengar pertanyaan Laina. 

“Kenapa kau tersenyum?”

“Karena hanya ada sedikit sekali orang yang memilih untuk tinggal di sini sebagai penduduk pulau.”

“Benarkah? Bukankah tinggal di sini jauh lebih baik dibandingkan di dunia luar? Di sini, hidup mereka tidak akan sesulit di dunia luar. Suasana di sini juga jauh lebih membahagiakan dan aman.”

“Kalau itu sudut pandangmu, maka seharusnya memang banyak orang yang memilih tinggal. Namun ternyata, mereka tetap memilih untuk kembali ke dunia luar, memulai hidup baru mereka dan memperjuangkan lagi impian-impian mereka.”

“Manusia memang aneh.”

“Kau juga manusia, Lai.”

“Ah, iya.”

“Apa kau akan memilih untuk tetap tinggal di sini?” Azkan membelokkan mobilnya ke arah jalan mendaki, tempat kastilnya berdiri kokoh di atas bukit bagian selatan pulau.

“Entahlah. Mungkin saja. Atau mungkin juga tidak.” Laina tak enak hati mengatakan kalau di dalam hatinya, ada keinginan untuk kembali ke dunia luar. Dia ingin menjalani kehidupan yang benar dan membahagiakan setidaknya sekali di masa hidupnya. Setelah sebuah kehidupan penuh luka dan rasa sakit, bukankah tawaran untuk memulai hidup baru yang lebih baik, adalah tawaran yang tak bisa ditolak?

“Tidak perlu memikirkanku, dalam mengambil keputusan untuk dirimu sendiri, Lai. Kau bebas melakukan apa pun yang kau inginkan. Aku akan selalu mendukungmu.”

“Tapi kan belum pernah ada Perempuan Pilihan yang memutuskan untuk meninggalkan pulau? Mereka bahkan belum menerima kesempatan untuk mengambil keputusan kan?”

“Sebenarnya, hanya Eveline yang belum menerima kesempatan untuk memilih. Perempuan Pilihan lainnya, sudah punya kebebasan untuk memilih, mau bagaimana mereka memulai hidup kedua mereka. Tapi, tak satupun dari mereka yang membuat keputusan hingga saat ini. Maka, mereka tetap tinggal di sini sebagai Perempuan Pilihan dan mengurus pulau.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Sebenarnya apa yang kau pikirkan, Lai?” Azkan mulai tak bisa menahan rasa penasarannya.

“Eveline begitu cantik, masih muda, dan mempesona. Apa benar kau tidak pernah menganggapnya sebagai seorang perempuan dalam artian romantis?”

Azkan terbahak.

“Jangan tertawa.”

“Jadi, semua pertanyaanmu di sepanjang perjalanan tadi, karena kau merasa Eveline mempesona?”

“Dan juga karena dia tidak menyukaiku.”

Azkan tidak menyangkal ucapan Laina.

“Tenang saja, kau ingat kan kalau aku tidak bisa berbohong?” mobil Azkan memasuki gerbang kastil yang berwarna hitam pekat.

Laina mengangguk, menatap kastil yang tampak begitu kokoh dari kaca mobil. Sebenarnya, kenapa perasaanku seperti ini? aku baru mengenal Azkan. Pertemuan kami masih dalam hitungan hari. Namun rasanya aku seperti sudah mengenal Azkan untuk waktu yang lama. Aku tidak bisa mengiyakan ajakannya berkencan karena akal sehatku. Namun di dalam hatiku, aku menyukai semua kata-kata dan perlakuannya padaku. Aku pun tak menolak perasaannya yang ditunjukkan dengan jelas padaku. Kupikir, ini hanya karena euforia berada di tempat baru, di tengah kehidupan yang begitu asing. Tetapi setelah bertemu Eveline hari ini, aku merasa terusik. Perasaanku tak tenang. 

“Ayo, turun.” Azkan sudah berdiri di sisi pintu mobil yang terbuka, menunggu Laina meraih uluran tangannya. Sejak kapan Azkan keluar dari mobil? Pikiran Laina masih berkelana, berusaha memahami dirinya sendiri.

Azkan melingkarkan tangan Laina di lengannya, lalu berjalan di sisinya sambil menggenggam tangan Laina yang bergelayut padanya. Dia sudah tak sabar untuk menunjukkan kamar Laina. Sambil bersenandung pelan, Azkan menuntun Laina berjalan menaiki tangga melingkar menuju lantai tiga, tempat paling pribadi miliknya di kastil ini.

“Aku harap kau akan menyukai kamar barumu. Kalau kau ingin mendekorasinya lagi, silahkan saja. Kau bisa memberitahuku atau Armana. Katakan saja apa yang kau inginkan.” Azkan tersenyum lebar, mempercepat langkahnya, ketika mereka sudah sampai di lantai tiga.

“Silahkan,” Azkan membukakan pintu kamar Laina yang letaknya berseberangan dengan kamar Azkan. 

“Bagaimana? Apa kau suka?” Azkan memperhatikan ekspresi Laina yang terkejut melihat kamar barunya. Berbeda dari kamar Azkan yang didominasi warna biru laut gelap dan aksen putih seperti awan, kamar Laina didekorasi menggunakan warna-warna pastel. Dindingnya dicat putih bersih, lalu setiap aksen kayu di dindingnya, berwarna ungu lembut, seperti bunga di taman kastil. Sedangkan perabotan di dalam kamarnya, semuanya terbuat dari kayu dan dipoles hingga begitu lembut dengan warna kayu yang tak begitu mencolok. Di atas tempat tidurnya, sebuah selimut tebal berwarna biru lembut seperti awan menutupi hampir seluruh tempat tidur yang sudah terlihat empuk. Di sisi tempat tidur, Azkan menyiapkan sebuah meja yang cukup besar dengan lemari buku memenuhi salah satu dinding. Dari mejanya, Laina disuguhi pemandangan cantik lautan lepas dan taman pribadi Azkan. Di sana terdapat sebuah rumah kaca yang cantik, rerumputan hijau, dan sebuah kolam yang cukup besar untuk berolahraga. Di sisi kolam, ada satu ruangan setengah terbuka, yang digunakan untuk beristirahat dan makan. Lengkap dengan sebuah dapur di dalamnya. 

“Indah sekali,” puji Laina sepenuh hati, pada pemandangan dari balik jendela kamarnya.

“Itu adalah taman pribadi milikku. Tidak ada orang lain yang bisa masuk ke sana selain aku dan petugas kebersihan yang kupercaya. Aku sering menghabiskan waktu di sana setelah lelah bekerja. Mulai sekarang, kau juga bisa datang ke sana. Kau bisa menggunakan tangga khusus di ujung lorong kamar kita untuk sampai ke sana.”

“Aku boleh ke sana juga?” 

“Tentu saja. Aku akan senang kalau kau bisa berada di sana bersamaku. Aku suka memasak di dapur itu,” Azkan menunjuk ruangan setengah terbuka di sisi kolam.

“Kau bisa memasak?”

“Laina, Azkan menatap Laina yang berdiri di sisinya dengan kedua mata yang bersinar, “Aku sudah hidup selama ratusan tahun. Ada begitu banyak hal yang sudah kupelajari selama ini. Kau akan terkejut kalau mengetahui semua kemampuanku.” godanya.

“Ya, tentu saja, aku percaya.” Laina mengalihkan tatapannya. 

“Apa kau lelah? Kau bisa beristirahat dulu sebelum makan malam siap.”

“Hm'm” Laina hanya menganggukkan kepalanya sambil bergumam. Tubuhnya memang terasa letih. Tenaganya sudah habis digunakan berkeliling dan berkenalan dengan banyak orang yang tak semuanya bisa dia ingat sekarang. 

“Beristirahatlah. Katakan padaku kalau kau butuh sesuatu.” Azkan mengusap kepala Laina, lalu mengecupnya sebelum meninggalkan kamar.

Setelah pintu kamarnya tertutup, Laina merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang memang sangat empuk dan nyaman. Dia menutupi tubuhnya dengan selimut dan dalam sekejap, dia terlelap. 

Sebuah suara yang begitu lembut memanggilnya, tapi bukan namanya. Laina tak bisa mendengarnya dengan jelas. Dia tahu, bukan Laian yang diucapkan orang itu, tapi dirinya tahu dengan pasti, kalau dialah yang dipanggil. Maka dia menoleh, mencari sosok yang memanggilnya dengan nama yang asing. 

“Azkan?” Laina hendak menyebut nama Azkan setelah melihat orang yang memanggilnya, tapi tak satupun suara yang terdengar dari mulurnya. Dia tak bisa mengucapkan apa pun. 

“Kenapa kau ada di sini sendirian? Di sini sudah gelap dan semakin dingin. Berbahaya untukmu. Ayo masuk ke dalam kapal.”

Kapal? Laina melihat sekelilingnya dan menyadari di mana dia berdiri saat ini. Di buritan kapal. Angin malam berhembus memukul kulitnya dengan rasa dingin menusuk. Namun tak lama, karena Azkan menyampirkan sebuah selimut hangat menutupi tubuhnya. 

Air mata Laina mengalir, hatinya terasa pedih, sakit, kecewa, dan marah. Rasanya menyesakkan hingga menyakitkan hanya sekedar untuk bernafas. Keputusasaan memenuhi pikiran Laina. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada hal apa pun yang bisa dia lakukan sekarang. Hidupnya terasa gelap sepekat malam yang semakin menghitam tanpa bintang maupun bulan. Seperti sekelilingnya saat ini. Bahkan pijar lampu yang dipasang di sekeliling kapal, tak bisa menghalau gelapnya malam. 

“Jangan menangis, …” sekali lagi Laina tak bisa mendengar namanya yang disebut oleh mulut Azkan.

“Semua ini bukan salahmu. Ini salah takdir. Ini salah orang tua kita. Kita sama sekali tidak bersalah.”

Laina ingin mengatakan banyak hal, tapi dia masih tak bisa bersuara. Mulutnya terkunci sementara perasaannya terus membuncah, membuatnya kuwalahan dengan rasa sakit dan sesak. 

“Azkan, aku tak ingin lagi hidup,” itulah yang ingin sekali dikatakannya sekarang, tapi mulutnya tak bergerak sedikitpun. 

“Azkan, Dewa terlalu jahat padaku, dan juga padamu,” tanpa sanggup mengucapkannya, Laina melangkah mundur, menjauhi Azkan dan semakin dekat dengan pinggiran kapal.

“... berhenti!” Azkan terlihat panik.

“Azkan, aku muak pada Dewa. Aku muak pada orang tuaku. Aku muak pada hidupku. Padahal aku tak pernah meminta dilahirkan apalagi tak pernah diberi hak untuk memilih dimana aku dilahirkan, sebagai siapa aku dilahirkan, dan sekarang, Dewa dan takdir buatan-Nya yang memuakkan itu, seenaknya mempermainkanku hingga hancur.” sekali lagi, semua kata-kata itu teredam dalam kepala Laina, tapi dia bisa menggerakkan tubuhnya, maka dia mundur selangkah lagi, dan selangkah lagi, lalu selangkah lagi, hingga kakinya menabrak pinggiran kapal.

“... berhenti! Kumohon!” Azkan menangis di hadapannya.

“Azkan, aku mencintaimu. Sungguh.”

Laina menjatuhkan tubuhnya ke belakang, dengan pasrah menerima pelukan laut malam yang dingin. Jiwanya sudah hancur berkeping-keping hingga tak lagi menyisakan harapan untuk tetap hidup. Dia begitu marah dan kecewa pada semua hal di hidupnya. Rasa sakitnya terlalu berat untuk ditanggung sambil menarik nafas. Sekarang, semuanya selesai.

“LAI!!” Laina membuka matanya, terkejut pada sosok Azkan yang terlihat panik.

“Azkan?” kali ini Laina bisa bersuara. Dia bisa mengucapkan sesuatu dengan mulutnya.

“Iya, ini aku. Aku di sini.” Azkan meraih tubuh Laina yang terbaring ke dalam pelukannya.

Laina menangis tersedu-sedu. Semua perasaan yang tadi dia rasakan, kejadian di atas kapal, semuanya terasa begitu nyata. Semuanya masih terasa nyata sampai sekarang, saat dia ada di dalam pelukan Azkan, di atas tempat tidurnya, di dalam kamar barunya.

“Apa yang kau mimpikan sampai menangis dan gemetaran seperti ini?” Azkan memeluk Laina lebih erat.

Laina tak bisa menceritakannya. Dia takut. Dia tak ingin memberitahu Azkan apa yang dia lihat, apa yang dia rasakan di atas kapal itu. 

1
anggita
like👍☝iklan. moga novelnya lancar jaya
anggita
Azkan..😘 Laina.
SammFlynn
Gak kecewa!
Eirlys
Aku bisa baca terus sampe malem nih, gak bosan sama sekali!
SIA: Terima kasih sudah mau membaca :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!