NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:516
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 The Seed

Tawa Mikaela terdengar melengking di telingaku, aku sampai harus menggosok lubang telingaku yang rasanya nyeri. “Kamu pikir aku pakai obat-obatan terlarang?” Cemoohnya seraya tertawa lagi lalu dia menunjuk ke arah meja riasnya. “Kamu pikir untuk apa aku menghabiskan uang berjuta-juta untuk botol-botol itu kalau aku pakai barang itu? Yang ada kulitku akan seperti jamur yang menjamur, kering lalu berdebu.”

Mikaela mulai mencerocos tentang produk-produk perawatan kulitnya yang super mahal dan efeknya terhadap kulitnya. Lalu tentang diet makanan yang dia lakukan demi membuat kulitnya semakin berkilau dia jabarkan sedetail mungkin walau aku sudah tahu tanpa dia memberitahuku. Tapi paling tidak hatiku sudah tenang kalau Mikaela tidak membeli hal-hal yang aneh dengan pria semalam dan aku mempercayainya. Aku ingin bertanya tentang ‘bulu’ yang dia maksud tapi Mikaela masih sibuk mencerocos bahkan sampai tidak ada waktu untuk menarik nafas.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Mikaela juga baru pulang dari sesi belanjanya bersama sahabat-sahabat kuliahnya. Tadi pagi saat aku sudah bangun dan bersiap untuk kerja, Mikaela belum bangun. Jadi sekarang ini aku baru bisa bertanya pada Mikaela dan melanjutkan percakapan kami semalam.

Tiba-tiba Mikaela melemparkan sesuatu berwarna merah marun ke arahku. “Untukmu.” Katanya.

Aku mengambil barang itu lalu mengangkatnya. Sebuah gaun pendek namun berlengan panjang, roknya melambai-lambai dan jatuh dengan lembut. Modelnya terlihat klasik namun sopan dan bahannya... Astaga! Ada ya kain selembut ini?

“Wow… Cantik sekali!” Ucapku tanpa bisa menyembunyikan senyumku yang merekah. Aku mendongak pada Mikaela yang tersenyum ponggah. “Untukku?” Tanyaku tidak percaya.

Mikaela mengangguk. “Yup! Sebentar lagi Natal. Pakailah. Aku bosan lihat kamu pakai celana jins dan kemeja terus.”

Aku merasa kedua mataku mulai berkaca-kaca terharu. “Terimakas-”

“Nggak perlu!” Potong Mikaela. “Anggap saja bayaran karena kamu sudah mau menemaniku semalam.”

“Tetap saja. Terima kasih.” Ucapku tulus.

Aku akui sifat Mikaela dan sifatku selalu berseberangan. Tapi di dalam perbedaan itu kami selalu bisa menemukan kenyamanan dan penghiburan satu sama lain.

Dulu kami pernah tinggal bersama di panti asuhan Santa Veronika selama kurang lebih satu tahun. Saat itu Mikaela berusia lima belas tahun sedangkan aku berumur empat belas tahun. Mikaela masuk ke panti terlebih dahulu, lalu tak lama kemudian aku dititipkan disana. Kebetulan tidak banyak anak-anak seusia kami, rata-rata usia mereka di bawah kami semua, jadi tentu saja kami bisa berteman dekat dengan mudah.

Tahun berikutnya Mikaela keluar dari panti dan mulai tinggal bersama keluarganya, sedangkan aku masih tinggal disana sampai saat ini. Kedua orang tua Mikaela sibuk bekerja dan saat itu mereka sedang mempersiapkan kepindahan mereka dari Palembang ke Jakarta. Jadi untuk sementara waktu mereka tidak bisa mengasuhnya dan menitipkan Mikaela ke panti asuhan sampai rumah di Jakarta selesai di bangun. Sedangkan aku, Ibuku meninggalkanku untuk menikah lagi dan aku pun tidak tahu siapa Ayahku. Entah dia masih hidup atau tidak, aku juga tidak tahu.

Baru semingguan ini aku menginap sementara di rumah Mikaela karena aku mengambil dua sif di tempat kerjaku sampai akhir bulan ini. Rumah Mikaela cukup dekat dengan tempat kerjaku, aku bisa berjalan kaki kesana sekitar lima belas menit saja. Berbeda dengan jarak antara panti dan tempat kerjaku, yang harus menempuh perjalanan sekitar satu jam menggunakan transportasi umum. Selain itu kalau malam hari, agaknya aku masih takut menggunakan transportasi umum.

Sebenarnya kemarin di klub saat aku hendak pulang dan lewat jalan belakang, aku melihat kertas lowongan pekerjaan yang diletakkan di meja satpam di belakang. Saat aku bertanya pada satpam, itu memang kertas pengumuman yang akan di sebarkan dan mereka memang membutuhkan beberapa staff untuk klub yang termasuk baru itu. Satpam itu mengatakan kalau aku ingin bertanya lebih lanjut aku disarankan bertemu Bapak manajer yang kebetulan masih ada di tempat.

Tanpa menunggu lebih lama aku langsung menemui Bapak manajer dan meminta informasi lebih lanjut. Walaupun sebagai cleaning service pun aku mau, karena letak klub itu agak dekat dengan panti, mungkin sekitar lima belas sampai dua puluh menit, jadi aku bisa mengambil sif malam di sana. Tapi mengingat-ingat klub lagi berarti mengingat si rahasia menyebalkan itu!

“Oh, iya. Omong-omong pria kemarin, rahasia itu nama aslinya?” Tanyaku pada Mikaela.

Mikaela mengedik tak acuh. “Aku nggak tahu namanya siapa, aku tahunya itu namanya.” Mikaela mengedikkan dagunya ke arah gaun di gengamanku. “Di coba dulu gaunnya. Pas nggak, kalau nggak pas, aku kembalikan.”

Walaupun aku enggan tapi aku tetap beranjak ke kamar mandi untuk mencobanya. Saat aku melihat tag harga yang masih menempel kedua mataku melotot. Oke, disitu memang ada stiker bertuliskan diskon 20 persen, tapi tetap saja harganya cukup untuk menggajiku setengah bulan!

Setelah menanggalkan pakaianku, dengan hati-hati aku memakai pakaian mahal itu dan menutup resleting di pinggangku. Saat aku menatap cermin aku hanya bisa ber’wow’ pelan. Tidak hanya gaun ini sangat pas di tubuhku tapi juga membuat bentuk tubuhku terlihat bagus.

Dengan rok yang agak mengembang membuat pinggangku terlihat langsing. Kerah gaunnya agak rendah tapi masih di batas normal. Bahan kain di kedua lengannya agak transparan dan modelnya jatuh melebar seperti terompet.

Aku masih sibuk memandangi pantulan diriku di cermin saat suara lampu di langit-langit padam dan aku tidak mendengar dengung suara generator. Sudah sejak sore tadi listrik padam, namun untungnya di rumah Mikaela ada generator yang bisa membantu menyalakan listrik.

Apa bahan bakarnya habis?

Lalu aku mendengar suara yang cukup keras dari luar hingga membuatku terjengit. “Mik?” Seruku panik seraya berbalik untuk membuka pintu.

Saat aku keluar kamar mandi, untungnya lampu darurat di pojok ruangan menyala walau agak redup. Kakiku menendang sesuatu dan tampaknya benda itu menggelinding. Saat aku menunduk, nafasku terasa tersekat di dadaku. Meja rias Mikaela sudah terjatuh miring dan botol-botol kesayangan Mikaela berserakan bahkan ada juga yang pecah. Mikaela tidak terlihat dimana-mana, sedangkan pintu kamarnya terbuka lebar. Mikaela paling kesal kalau pintu kamarnya terbuka lebar dan tidak langsung ditutup karena nyamuk akan masuk dan hawa dingin AC akan keluar. Jantungku serasa melompat keluar dari rongga dadaku.

Dengan hati-hati aku menghindari pecahan-pecahan kaca. Tubuhku terasa dingin saat melihat ponsel Mikaela tergeletak di lantai dengan keadaan kecah. Perlahan aku mengintip keluar pintu. Tidak terlihat siapapun. Lampu darurat di luar yang juga redup membuat suasana lebih menyeramkan.

“Mik?” Panggilku pelan dengan suara gemetar.

Aku menajamkan pendengaranku, mencari sebuah suara sedikit saja. Namun hampir tidak ada yang bisa kudengar karena suara jantungku terasa berisik sekali di keheningan yang terasa pekat ini.

Seribu skenario berlarian di kepalaku. Mikaela sedang kecewa? Marah, sampai membanting meja riasnya? Atau yang membuatku merinding adalah ada perampok yang masuk dan menyerang Mikaela. Memikirkan itu aku langsung kembali berbalik mencari ponselku untuk menelepon polisi.

Itu dia! Ponselku masih ada di tampat tidur hampir tertutup sempurna oleh boneka Mikaela. Dengan cepat aku menyambar ponselku dan dengan tangan bergetar aku menekan tombol darurat. Namun sebelum aku sempat menekan nomor polisi, sudut mataku menangkap sebuah bayangan.

Aku langsung menjatuhkan diriku ke lantai dan merapat ke sisi kasur yang jauh dari pintu. Aku mendengar suara engsel pintu yang menandakan pintu kamar terbuka lebar. Aku tidak bisa melihat apa-apa dari sini. Suara keretak kaca yang remuk terdengar teredam, siapapun itu pasti menggunakan sepatu dan Mikaela jelas tidak mungkin menggunakan sepatu di kamarnya.

Tanpa menunggu lagi aku menekan nomor polisi. Puji Tuhan! Nomor itu langsung tersambung dan suara seorang pria menjawab sambungan tersebut. Suasana kamar sangat tenang, aku bahkan sangat yakin kalau suara dari ponselku bisa terdengar jelas. Aku membisikkan alamat rumah Mikaela dengan cepat dan sejelas mungkin walau air mataku sudah menuruni pelipisku. Aku sangat yakin siapapun yang masuk sudah mendengarku.

Benar saja sesosok pria menjulang di depanku. Sebuah teriakan melengking menusuk kepalaku hingga aku merasakan pusing yang nyata. Di detik berikutnya aku baru menyadari kalau teriakan itu adalah suaraku. Aku tidak bisa melihat wajah pria itu karena dia membelakangi arah cahaya dan itu membuat sosoknya lebih besar dan tinggi. Kedua tangan pria itu terulur ke arahku dan membungkam mulutku rapat-rapat. Satu tangannya yang lain menyambar ponselku, entah dia sudah mematikan sambungannya atau belum, aku berharap belum, lalu melemparkan ponselku begitu saja. Seraya melakukan itu, kedua lututnya menekan lenganku merapat ke tubuhku hingga aku tidak bisa bergerak sedikit pun.

Aku berusaha meronta dengan sekuat mungkin hingga nafasku terasa habis. Satu tanganku terlepas darinya dan aku meraih wajahnya dengan kuat. Aku hendak menyasar matanya, namun tubuhnya terlalu tinggi, jadi kuku-kukuku mencakar lehernya membuatnya mengeram keras. Dengan kuat dia meraih tanganku dan kembali menyelipkannya di bawah kakinya.

Aku melihat sesuatu yang mengkilat di ujung penglihatanku, namun aku tidak bisa menfokuskan pandanganku karena rasa panik terasa membutakanku. Kepalaku sangat pusing karena adrenalin yang mengucur terlalu banyak di dalam tubuhku. Jantung dan paru-paruku terasa sakit. Tenggorokanku sakit karena terus berusaha berteriak namun bungkaman tangan pria itu yang menggunakan sarung tangan sangat erat membuat teriakanku sia-sia saja.

Pria itu tidak lagi membungkamku tapi dia mencengkram wajahku kuat-kuat hingga aku tidak bisa menggerakkan kepalaku sama sekali. Dia memiringkan kepalaku ke samping dan sesuatu yang tajam menusuk leherku. Tanpa aku melihat aku tahu dia menyuntikku dengan sesuatu karena rasa dingin mulai menjalar dari benda itu ke leherku.

Bodoh memang karena aku masih berteriak-teriak seolah apapun yang dia suntikkan ke dalam tubuhku bisa berhenti bekerja. Rasa panik mulai menyelubungiku saat gigiku bergemeletuk, tubuhku menggigil kedinginan. Aku bisa mendengar pria itu mengumpat dan dia semakin menghimpitku. Rahangku mengencang hingga terasa sakit, perlahan pengelihatanku memburam dan aku tidak lagi bisa membuka kedua mataku. Tubuhku berhenti meronta begitu saja. Kegelapan mulai mendekapku.

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!