Azzam tidak menyadari bahwa wanita yang ia nikahi bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembarnya.
Sejak kepulangannya dari Kanada, sebenarnya Azzam merasa ada yang aneh dengan kekasihnya, ia merasa kekasihnya sedikit berubah, namun karena rasa cintanya pada sang kekasih, ia tetap menerima perubahan itu.
Bagaimana jika suatu saat Azzam mengetahui yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shangrilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang ke rumah
Happy reading..
Zura dengan penuh perhatian merapikan kerah kemeja Azzam yang sedikit miring, sambil menyesuaikan dasinya agar tampak sempurna. Dia memandangi wajah Azzam dengan lembut, menyapu debu yang tak kasat mata di bahu suaminya itu. "Ganteng sekali suamiku," ucap Zura dengan nada yang mengandung kehangatan.
Azzam tersenyum kecil sambil menatap mata Zura yang penuh kecintaan. "Ternyata kamu bisa gombal juga ya,"
"Aku nggak sedang gombal, Mas. Di mataku kamu tampan, kamu gagah, dan baik."
Azzam menarik Zura ke dalam pelukannya serta mencium puncak kepala Zura. "Aku bahagia memilikimu, sayang. Teruslah bersamaku, menemani hariku, dan melengkapi hidupku."
"Aku akan terus bersamamu, Mas. Asal jangan ada wanita lain di pernikahan kita."
Azzam melonggarkan pelukannya, kemudian menempelkan dahinya di dahi Zura. "Mana mungkin aku akan melirik wanita lain di luar sana, sedangkan kamu cantik, kamu perhatian. Kamu adalah pemilik hatiku. Kamu segalanya bagiku, sayang." bisik Azzam, dan di akhiri kecupan singkat di bibir.
Kini Zura yang memeluk tubuh Azzam erat. "Kamu membuatku jatuh cinta, Mas."
"Sudah dari dulu kan kamu jatuh cintanya?"
"Em.. Maksudku, kamu membuat aku jatuh cinta lagi, dan lagi." jawab Zura. "Ayo sarapan, Mas."
Azzam tersenyum simpul, dan satu kecupan di kening sebelum melepas pelukannya. "Ayo,"
Kemudian, mereka berdua berjalan bergandengan tangan menuju ruang makan, siap untuk memulai hari dengan sarapan bersama.
"Oleh-oleh untuk Ayah Ibu sudah kamu siapkan kan?" tanya Azzam sambil berjalan.
"Sudah, Mas." jawab Zura.
Mereka lanjut berjalan hingga sampai di meja makan.
"Selamat pagi Ma," sapa Zura terlebih dahulu.
"Pagi, anak-anak Mama." balas Haniyah.
Di meja makan, Zura mengambilkan nasi goreng kesukaan Azzam, dia melayani suaminya dengan penuh kasih, memastikan Azzam mendapatkan segala yang dia butuhkan sebelum berangkat ke kerja.
Di meja itu, Azzam, Zura, dan Haniyah, ibu Azzam, duduk berhadapan sambil menikmati sarapan. Aroma kopi dan roti panggang menggantung di udara, menambah kehangatan suasana. Azzam sarapan nasi goreng, sedangkan Zura memilih sarapan roti.
Haniyah, dengan senyum lembutnya, membuka percakapan. "Kapan kalian berencana memberi Mama cucu?" tanyanya, sambil menyendokkan bubur ke dalam mangkuknya. Azzam dan Zura saling pandang, lalu tertawa kecil.
"Kami masih menikmati masa berdua dulu, Ma," jawab Zura. "Tapi mungkin tidak terlalu lama lagi," sambungnya.
Azzam dan Zura tidak menunda-nunda soal momongan, hanya tinggal menunggu waktu kapan sang pencipta akan mempercayakan buah hati mereka tumbuh di rahimnya.
Azzam menambahkan, "Mama bantu do'a,"
"Mama pasti do'a kan yang terbaik untuk anak-anak Mama," balas Haniyah.
Mereka melanjutkan sarapan sambil sesekali melemparkan candaan ringan, seperti tentang bagaimana Azzam sewaktu masih kecil, hingga masa remajanya. Tawa mereka berbaur dengan suara sendok dan garpu yang bertemu piring, menciptakan melodi kebahagiaan sederhana di pagi hari itu.
Azzam dan Zura menyelesaikan, setelah itu, mereka berdua berdiri, Azzam meraih tangan Zura dan menggenggamnya erat.
"Ma, kami berangkat dulu ya," pamit Azzam kepada ibunya.
"Hati-hati di jalan, Nak."
Azzam dan Zura bergantian menicum punggung tangan Haniyah, kemudian mereka melangkah keluar dari rumah menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu. Azzam membukakan pintu mobil untuk Zura, sebuah tindakan kecil yang menunjukkan kasih dan perhatian. Zura tersenyum, mengucapkan terima kasih sebelum masuk ke dalam mobil.
Setelah Zura masuk ke dalam mobil, lalu bergantian Azzam yang masuk, ia menghidupkan mesin dan mobil pun melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Percakapan ringan mengalir di antara mereka, membahas tentang impian mereka.
Setelah beberapa saat, mobil berhenti di depan rumah orangtuanya Zura, tempat yang selalu membawa perasaan hangat bagi Zura setiap kali ia mengunjunginya.
"Terima kasih, Mas, sudah mengantarku," ucap Zura dengan senyum lebar.
"Sama-sama, Sayang. Nanti pulangnya nunggu aku jemput ya," jawab Azzam sambil menatap Zura.
Zura mengangguk dan memberikan kecupan singkat di pipi Azzam sebelum membuka pintu mobil dan turun.
Azzam menunggu sampai Zura masuk ke dalam rumah orangtuanya sebelum dia melanjutkan perjalanan ke tempat kerjanya, pikirannya dipenuhi dengan rasa cinta dan kebahagiaan sederhana dari pagi itu.
"Loh, berangkat, Mas." ucap Zura sambil membalikkan badannya.
"Kamu masuk dulu, sayang."
"Iya, nanti aku masuk, Mas. Kamu berangkat aja keburu siang ini."
"Setelah kamu masuk, aku akan langsung berangkat."
Zura menghela napasnya. "Kamu berangkat aja, Mas."
"Iya, Sayang." akhirnya Azzam mengalah, dirinya akan berangkat tanpa menunggu sang istri masuk ke dalam rumah orangtuanya.
Zura melambaikan tangan kepada Azzam, suaminya. Senyuman tipis terukir di wajah Zura mengiringi sang suami berangkat kerja. Begitu mobil Azzam menghilang dari pandangan, raut wajah Zura berubah. Ada kegelisahan yang tersembunyi di balik tatapannya yang sayu.
Terkadang di suasana yang seharusnya bahagia, Zura malah di pukul oleh kenyataan. Andaikan Azzam tahu yang sebenarnya, apakah Azzam masih akan bersikap manis seperti ini?
Dengan langkah ragu, Zura berjalan menuju pintu rumah orangtuanya. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu itu terbuka. Sosok Ibunya muncul, wajahnya memancarkan kehangatan yang telah lama tidak dirasakan Zura. "Zura, sayang, kamu sudah datang," sapa Ibunya dengan suara yang penuh kelembutan.
Zura memaksakan senyum sambil memeluk Ibunya. "Iya, Bu," jawabnya, suaranya serak karena menahan beban di hatinya.
Di pelukan itu, Zura merasa ada keamanan, sesuatu yang telah lama ia rindukan. Perasaan yang terpendam mulai menemukan tempatnya keluar, setelah sekian lama ia menyimpan segala kekhawatiran tentang keadaan.
Di depan Ibu nya, Zura merasa menjadi dirinya sendiri, karena Zura tidak perlu berpura-pura menjadi Zahwa.
"Nak Azzam, mana?" tanya ibunya sambil melihat ke sekeliling untuk mencari sosok menantunya.
"Mas Azzam kerja, Bu." jawab Zura. "Ibu," ucap Zura lembut sambil mendekat dan mencium punggung tangan Ibunya sebagai tanda hormat. Ibunya tersenyum, meski ada semburat kesedihan di matanya.
"Masuk, Nak," ajak Ibunya. Zura mengangguk, langkahnya gontai memasuki rumah yang penuh dengan kenangan masa kecilnya.
Mereka berdua melangkah menuju ruang tengah. Mereka duduk di kursi. "Ini ada oleh-oleh untuk Ayah dan Ibu," ucap Zura sambil menyerahkan paper bag pada ibunya.
"Kenapa bawa oleh-oleh segala, Zura. Kamu datang ke rumah ini saja Ayah ibu sudah senang."
"Mas Azzam yang belikan Bu, dan semua keluarga dia belikan."
"Baik sekali nak Azzam," gumam Ibu Zura, kemudian ia membuka kotak kecil yang berisi kalung yang cantik.
Sewaktu di Karimunjawa, Azzam membeli 4 kalung sekaligus. 4 kalung untuk 4 wanita yang dia sayangi.
"Sampaikan terimakasih Ibu untuk nak Azzam, ya."
"Nanti dia kesini, Bu." jawab Zura.
To be continued.