Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau datang membawa luka
Hari Minggu pagi, Rina dan Lina sudah bertanya tentang bagaimana sekolahnya. Kakak beradik tersebut tak mau dipindahkan ke sekolah yang ada di kota ini. Kirana mulai bimbang, sampai hari ini Zidan tak ada menghubungi atau sekadar bertanya kabar kedua putrinya.
“Kenapa sih, Ma? Kenapa kita nggak pulang ke rumah papa. Besok kami udah sekolah loh.” Rina merengek pelan.
Kirana tak mungkin menjelaskan tentang hubungannya dengan papa mereka yang sedang tak baik. Sebisa mungkin dia akan tetap merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Nanti ya,” sahut Kirana pelan.
Setelah obrolan singkat tersebut, Rina dan Lina diajak oleh Rahma ke pasar membeli sesuatu.
Duduk diam di belakang rumah, menatap hamparan pohon mangga yang tumbuh lebat dan sedang berbuah.
Tatapan matanya menerawang jauh, mengingat perkenalan pertama dengan Zidan saat mereka masih sama-sama bersekolah di bangku SMK.
Zidan dan Kirana bertemu saat keduanya sedang mengikuti lomba olimpiade sekabupaten. Dari pertemuan tersebut akhirnya benih-benih perasaan tumbuh di hati keduanya.
Keputusan menikah muda dibuat walaupun ada pertentangan yang terjadi di antara dua keluarga.
Setelah menikah, Kirana lebih dulu masuk universitas dan menjadi kakak tingkat Zidan. Semua itu dilakukan mengingat kedua orang tua mereka telah lepas tanggung jawab, mereka berdua harus mencari semua biaya sendiri. Semua yang dilakukan melalui proses yang tidak mudah. Jatuh bangun mereka lalui bersama hingga bisa sampai di titik sekarang.
Saat semuanya sudah diraih, mengapa justru cobaan itu datang dari pernikahan mereka.
Lamunan Kirana buyar saat mendengar suara ketukan pintu. Segera saja dia bergegas ke depan dan membukanya. Matanya terpaku menatap sosok seorang pria yang hampir seminggu tak ada kabar beritanya.
“Kira,” ucap pria itu dengan bibir yang bergetar gugup.
“Hai, Mas.” Kirana tersenyum tipis dan membuka pintu lebar-lebar, membiarkan Zidan masuk tanpa dipersilakan. Sikapnya lebih tenang dan seperti tak pernah terjadi apa pun.
“Apa kabar Kira?” tanya Zidan dibalas anggukan oleh Kirana. “Rumah kok sepi?” lanjutnya mengamati seisi rumah yang tak berubah walaupun hampir setengah tahun tak pernah dikunjungi.
“Mama ajak Rina dan Lina ke pasar. Papa masih di toko,” jelas Kirana. “Masih ingat sama aku dan anakmu ya, kukira sudah lupa,” sambungnya diiringi senyum sinis.
Zidan menunduk, entah apa yang dipikirkan.
“Bagaimana malam pertamamu? Pasti menyenangkan sampai untuk menghubungi aja nggak sempat.”
Jantung Zidan berdebar dengan keras. Kepalanya hanya bisa tertunduk sambil memikirkan penjelasan yang akan dilontarkan. Ketika kepalanya mendongak, tak sengaja mata keduanya bertemu. Zidan mencoba menatap manik mata Kirana dengan intens, mencoba menyelami isi hatinya. Dia tak menemukan kemarahan dari sorot mata sang istri.
“Maaf, Kira,” ucap Zidan lirih.
Kirana mengangkat bahu acuh tak acuh.
Telat, jika Zidan berniat minta maaf seharusnya itu dilakukan di awal. Percuma saja toh ucapan maaf tersebut tak akan mengubah apa pun. Kenyataannya adalah pria itu sudah mengkhianati pernikahan mereka. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Kirana harus menerima kenyataan bahwa kini dia bukan satu-satunya istri dari Zidan Pranadipa.
“Maafmu nggak bisa mengubah keadaan.” Kirana menjawab dengan tegas. “Kini kamu bukan hanya suamiku,” lanjutnya lagi dengan suara tertahan.
“Maafkan aku Kira. Ini semua kulakukan demi baktiku pada orang tua.”
Kirana terkekeh pelan. Alasan macam apa itu.
Omong kosong!
“Oh!” ucap Kirana sinis, “apa aku harus bersyukur atau sebaliknya? Memiliki suami yang berbakti pada orang tua tapi dengan menyakiti istrinya.”
Lagi dan lagi Zidan hanya mampu tertunduk mendengar ucapan Kirana. Sejujurnya berat baginya untuk memilih, tapi Zidan percaya bahwa kebahagiaannya tergantung kebahagiaan orang tua.
“Aku datang buat jemput kamu pulang. Besok anak-anak udah sekolah, kan? Sore nanti kita pulang ya,” ujar Zidan penuh harap.
“Hm.” Kirana berdeham, berlalu menuju dapur dan kembali dengan secangkir kopi.
Zidan tersenyum tipis. “Makasih.”
Keduanya kembali diam. Sejujurnya Kirana ingin menuntut penjelasan bahkan bila perlu ia ingin berteriak di hadapan Zidan. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Tidak cukupkah hanya dia dan kedua putrinya. Kenapa harus ada yang lain?
Sementara Zidan tak tahu harus berbuat apa. Sikap Kirana yang diam dan tak menunjukkan kemarahan justru meresahkan. Berkali-kali pria itu mencuri pandang dan menatap sosok sang istri yang hanya menampilkan raut datar.
“Ada apa? Ngapain harus curi-curi pandang, kamu boleh menatapku jika ingin,” ucap Kirana tanpa menunjukkan ekspresi. Wajahnya yang biasa dihias senyum kini tak ditunjukkan lagi.
Zidan menggeleng pelan. “Lebih baik kamu bereskan apa yang perlu dibawa. Aku mau duduk di depan sambil nunggu anak-anak.”
Tanpa menjawab Kirana berlalu dan segera masuk ke kamar. Sengaja pintu kamar dikunci agar Zidan tak bisa masuk ke dalam.
Tubuh ringkih itu bersandar di dinding dan merosot seiring luka hati yang dirasakan. Bisa-bisanya pria itu datang tanpa rasa berdosa, seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.
Andai saja kata maaf mampu memutar waktu dan mengembalikan keadaan maka dengan senang hati Kirana akan melakukannya. Berpura-pura kuat itu ternyata butuh tenaga ekstra ... dan mulai saat ini ini ia harus mulai terbiasa.
Kirana segera merapikan barang-barang yang diperlukan dan segera keluar ketika mendengar sang ibu berbicara dengan Zidan.
Langkah kaki Kirana terhenti sebelum mencapai pintu. Matanya menangkap Rina dan Lina yang berada di samping Zidan. Wajah kedua putrinya terlihat begitu bahagia, senyum mereka begitu lebar mungkin karena merindukan sosok sang ayah.
Inilah yang ditakutkan oleh Kirana. Bagaimana perasaan keduanya jika mengetahui ayah yang selalu dibanggakan ternyata telah menghianati mereka. Sebelum kakinya melangkah Kirana mengusap sudut matanya yang berair.
“Rina, Lina, kalian mandi dulu ya. Habis itu kita ikut Papa pulang.” Keduanya mengangguk dengan gembira.
Rahma segera meminta Kirana dan Zidan untuk masuk kembali ke rumah. Dari sikapnya Zidan sudah menangkap bahwa mertuanya ingin membicarakan tentang apa yang terjadi.
Ternyata dugaan Zidan salah. Rahma mengajaknya masuk hanya untuk bicara tentang kesibukan dan tidak berniat membahas tentang rumah tangganya. Mungkin Kirana tidak menceritakan apa pun, lebih tepatnya belum.
Kirana memilih menghindar dan kembali ke kamar, membiarkan ibu dan suaminya berbicara.
Zidan yang ditatap oleh Rahma terlihat gugup.
“Hei, ngapain kamu gugup Zidan?” Rahma tersenyum melihat tingkah menantunya.
“Papa apa kabar, Ma?” tanya Zidan mengalihkan pembicaraan.
“Kami baik, justru Mama lihat kalian yang nggak baik.” Rahma memancing.
Zidan tersenyum salah tingkah tangannya menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Mama kebanyakan nonton sinetron,” ucapnya.
Rahma sontak tertawa mendengar goyonan yang dilontarkan Zidan. “Iya. Mama sering lihat sinetron suara hati istri, yang mana si wanita cuma bisa nangis saat ditindas suaminya. Mama sampai heran itu wanita kok bodoh banget, ngapain juga nangisin suami macam itu. Udah dibikin berdarah-darah, eh ujung-ujungnya sekali minta maaf mau aja balik lagi.”
Tiba-tiba jantung Zidan berdegup dengan keras. Entah mengapa guyonan Rahma terdengar seperti sindiran halus.
“Namanya juga cinta, Ma,” sahut Zidan gugup.
“Cinta boleh, bodoh jangan,” sanggah Rahma lagi.
Zidan menelan saliva susah payah, tubuhnya meremang mendengar ucapan tersebut. Obrolan ini sepertinya begitu sensitif dan membuatnya tidak tenang.
Tiba-tiba Zidan dikejutkan oleh tangan Rahma yang menyentuh bahunya. Wanita paruh baya tersebut menatapnya dalam diam.
“Mama nggak mau kalian seperti itu. Kalau memang suatu nanti kamu udah nggak mau atau udah nggak cinta lagi sama Kirana, lebih baik kamu bawa dia pulang dan antarkan ke rumah baik-baik. Apa pun yang terjadi kami akan tetap menerimanya.” Rahma berbicara dengan serius membuat Zidan semakin diliputi rasa bersalah.
“Mama jangan ngomong gitu. Doain aja yang baik-baik untuk aku dan Kirana.” Zidan memalingkan wajah.
Rahma mengangguk sebelum berucap, “Mama selalu doain yang terbaik untuk kalian. Tolong jangan sakiti Kirana.”
Zidan tak berani menjawab ia hanya menganggukkan kepala pelan sambil bergumam kata maaf di dalam hati.
To Be Continue ....