NovelToon NovelToon
Penjaga Gerbang Semesta

Penjaga Gerbang Semesta

Status: tamat
Genre:Fantasi / Tamat / Mengubah Takdir / Dokter Ajaib / Kultivasi Modern
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: ansus tri

**Meskipun cerita ini beberapa diantaranya ada berlatar di kota dan daerah yang nyata, namun semua karakter, kejadian, dan cerita dalam buku ini adalah hasil imajinasi penulis. Nama-nama tempat yang digunakan adalah *fiksi* dan tidak berkaitan dengan kejadian nyata.**

Di tengah kepanikan akibat wabah penyakit yang menyerang Desa Batu, Larasati dan Harry, dua anak belia, harus menelan pil pahit kehilangan orang tua dan kampung halaman. Keduanya terpisah dari keluarga saat mengungsi dan terjebak dalam kesendirian di hutan lebat.

Takdir mempertemukan mereka dalam balutan rasa takut dan kehilangan. Saling menguatkan, Larasati dan Harry memutuskan untuk bersama-sama menghadapi masa depan yang tak pasti.

Namun, takdir memiliki rencana besar bagi mereka. Pertemuan mereka bukanlah kebetulan, karena keduanya ditakdirkan untuk memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar. Menjadi Penjaga Gerbang Semesta. Dan pelindung dunia dari kehancuran!. Selamat menikmati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ansus tri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Konflik

“Kak Laras, ada yang tidak beres di luar,” bisik Harry, suaranya dipenuhi firasat buruk.  Larasati mendekat, matanya menyipit mengamati pemandangan di luar. “Kita harus berhati-hati,” desisnya, tangan tanpa sadar mengepalkan tangan.

Tanpa aba-aba, pintu praktik didobrak dengan keras, menggemakan suara ancaman. Sekelompok pria berbadan besar menyerbu masuk, wajah mereka keras dan kejam. Di depan, seorang pria yang tampak sebagai pemimpin menatap Harry dan Larasati dengan tatapan tajam.

“Harry dan Larasati,” geramnya, suaranya sedingin es, “Kalian sudah cukup membuat masalah di kota ini. Kehadiran kalian tidak diterima.”

Harry berdiri tegak, keberanian memancar dari sorot matanya. “Kami hanya ingin membantu mereka yang membutuhkan. Apa salahnya?”

Pemimpin preman itu mendekat, tangannya mencengkeram kerah baju Harry dengan kasar. “Kalian terlalu naif! Kota ini punya aturan, dan kalian telah melanggarnya!”

Larasati mencoba mendekat, namun seorang preman lain dengan cepat mencekal lengannya, mendorongnya dengan kasar. “Jangan bergerak! Kau ingin bernasib sama?”

Harry berusaha tenang, meskipun cengkeraman di kerahnya semakin kuat. “Apa yang kalian inginkan?”

Senyum sinis mengembang di bibir pemimpin preman itu. “Tinggalkan kota ini. Sekarang juga. Atau, bersiaplah menanggung akibatnya.”

Harry dan Larasati bertukar pandang, tekad terpancar di mata mereka. “Kami tidak akan pergi,” jawab Harry mantap. “Kami punya tanggung jawab pada pasien-pasien kami.”

Tanpa ampun, pemimpin preman itu melayangkan tinjunya ke wajah Harry. Darah segar mengucur dari sudut bibir Harry saat ia terjatuh ke lantai.

“Harry!” pekik Larasati, berusaha menghampiri Harry, namun cengkeraman preman itu terlalu kuat. “Pergilah dengan sukarela, atau kalian akan dipaksa!” ancam pemimpin preman itu, bersiap kembali menyerang Harry.

Namun, sebelum pukulan kedua mendarat, suara sirene polisi memecah ketegangan. Para preman itu panik, saling berteriak.

“Polisi! Kita harus pergi!”

Pemimpin preman itu menatap Harry dan Larasati dengan mata penuh amarah. “Ini belum berakhir! Kami akan kembali!”

Dalam sekejap, para preman itu lenyap ditelan kegelapan malam, meninggalkan Harry dan Larasati yang terluka dan dipenuhi amarah.

Setelah kepergian para preman yang tiba-tiba itu, Harry bangkit dengan susah payah, rasa sakit berdenyut di rahangnya. Larasati bergegas ke sisinya, tangannya terulur untuk membantu Harry berdiri. “Kau terluka, Harry,” ucapnya, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran.

“Hanya sedikit,” jawab Harry, berusaha tersenyum meskipun ada rasa sakit menjalar di wajahnya. “Mereka serius, Laras. Kita harus lebih berhati-hati.”

Sirene polisi meraung-raung mendekat, memecah kesunyian mencekam yang tersisa. Setelah mendengarkan kesaksian Harry dan Larasati, polisi berjanji akan meningkatkan patroli di sekitar praktik mereka. Namun, bayangan ancaman masih membayangi pikiran Harry dan Larasati.

Kabar tentang penyerangan itu menyebar dengan cepat, bagai api yang melahap daun kering. Dukungan mengalir deras dari para pasien yang khawatir. “Kami bersama kalian, Tabib Harry, Tabib Larasati,” ujar seorang wanita tua, matanya berkilat penuh tekad. “Jangan biarkan mereka menang.”

Namun, di sisi lain Kota Seroja, di balik tembok sebuah rumah yang sunyi, Tabib Andi, Tabib Dina, dan Tabib Budi berkumpul kembali. Kegagalan demi kegagalan telah mempertebal awan gelap di wajah mereka.

“Kita harus mengambil tindakan lebih tegas,” desis Tabib Andi, suaranya dingin dan penuh perhitungan. “Mereka tidak boleh dibiarkan menghancurkan kita.”

Tabib Budi mengangguk setuju, matanya menyipit licik. “Jika mereka tidak mau pergi dengan cara baik-baik, kita paksa mereka!”

“Tidak!” Tabib Dina membentak, mengejutkan kedua rekannya. “Kekerasan bukanlah jawabannya! Kita tidak bisa terus seperti ini!”

“Diam kau, Dina!” bentak Tabib Budi. “Jika kau takut, lebih baik kau pergi dari sini!”

Malam itu, ketika Larasati sedang sendirian di praktik, sekelompok bayangan gelap kembali muncul. Kali ini, mereka datang tanpa peringatan, menyerbu masuk dengan keganasan yang terencana.

“Lepaskan aku!” teriak Larasati, berusaha melawan, namun tenaganya tak sebanding dengan kekuatan para preman itu. Ia diseret keluar dari praktik, teriakannya tertelan oleh kegelapan malam.

Sementara itu, Harry yang sedang dalam perjalanan pulang merasakan firasat buruk. Hatinya dipenuhi kecemasan yang tak terjelaskan. Ia mempercepat langkahnya, bayangan Larasati yang sendirian di praktik menghantuinya.

Sesampainya di sana, hatinya mencelos. Pintu praktik terbuka lebar, barang-barang berserakan di lantai, jejak-jejak perjuangan yang sia-sia.

“Laras!” teriak Harry, kepanikan mencengkeram hatinya. Namun, hanya ada keheningan yang menjawab. Di atas

meja, selembar kertas tergeletak, tulisan tangan yang kasar tergores di atasnya: “Jika kau ingin Larasati selamat, tinggalkan kota ini. Segera!”

‘Amarah dan kekhawatiran yang mendalam bercampur aduk dalam diri Harry. Ia harus menemukan Larasati, apa pun yang terjadi. Ini bukan lagi tentang praktik mereka, ini tentang menyelamatkan wanita yang dicintainya.

Harry menggenggam erat catatan ancaman itu, amarah membakar dalam hatinya. Kesabarannya telah habis. Mereka telah melewati batas. Demi Larasati, demi kedamaian Kota Seroja, ia akan mengakhiri semua ini.

Malam itu, Harry memutuskan untuk bertindak. Bukan lagi sebagai tabib yang penyayang, tapi sebagai pejuang yang siap mempertaruhkan segalanya.

Ia teringat akan batu ajaib warisan dari petualangannya di dunia lain, sumber kekuatan yang tertidur dalam dirinya. Ia teringat latihan keras, seni bela diri mematikan yang mengasah tubuh dan pikirannya melampaui batas manusia biasa. Kini saatnya membangkitkan kekuatan itu.

Dengan memusatkan pikiran pada Larasati, Harry merasakan getaran energi dari batu ajaib, menunjukkan lokasi kekasihnya. “Gudang tua di pinggiran kota,” gumamnya, tekad terpancar di matanya.

Secepat kilat, Harry melesat dalam kegelapan, tubuhnya bagai bayangan yang menyatu dengan malam. Tak lama, ia tiba di gudang tua itu, aura bahaya terpancar dari balik pintu kayunya yang lapuk.

Mengintip dari celah sempit, Harry melihat Larasati terikat di tengah ruangan, dikelilingi oleh para preman yang menyeringai keji. “Laras!” serunya tanpa sadar, mengabaikan kebutuhan sebelumnya  untuk bertindak diam-diam.

Para preman itu menoleh, keterkejutan tergambar di wajah mereka. Pemimpin mereka,dengan seringai meremehkan, melangkah maju. “Kau datang sendirian, Harry? Sungguh berani, atau mungkin bodoh?”

Harry takmenghiraukan ejekan itu, fokusnya hanya pada Larasati. Melihat kekasihnya terluka, amarah yang terpendam meledak. Saat seorang preman mendekat, senjata tajam terhunus, Harry bergerak.

Dessshh!

Bugghh!

Gerakannya secepat kilat, menangkis serangan dan membanting preman itu ke tanah dalam satu gerakan mulus. Para preman lain tercengang, menyaksikan kecepatan dan kekuatan yang tak manusiawi.

Pemimpin mereka, meskipun terkejut, dengan cepat memerintahkan serangan. Namun, mereka bukanlah tandingan Harry yang telah terlatih di dunia lain. Pukulan, tendangan, tangkisan, semua dilakukan dengan presisi dan kekuatan luar biasa. Para preman itu jatuh satu per satu, mengerang kesakitan.

“Kalian pikir bisa menindas orang seenaknya?!” teriak Harry, suaranya bergema di gudang tua itu. “Rasakan ini!”

Tak butuh waktu lama, semua preman terkapar tak berdaya.

Harry segera melepaskan ikatan Larasati, memeriksa dengan cemas. “Kau baik-baik saja?” Larasati mengangguk, kelegaan terpancar di matanya. “Aku baik-baik saja, Harry. Terima kasih.”

Saat mereka bersiap pergi, pemimpin preman itu, dengan tubuh memar, berusaha bangkit. “Ini belum berakhir, Harry! Kau akan membayar untuk ini!” ancamnya, suara seraknya dipenuhi kebencian.

Harry berbalik, tatapannya tajam menusuk. “Jika kalian, atau siapapun, mencoba menyakiti kami lagi… Kalian tidak akan punya kesempatan kedua. Ini peringatan terakhir.”

Ucapannya datar, namun penuh kekuatan, meninggalkan jejak ketakutan di hati para preman itu. Malam itu, Harry menunjukkan bahwa mereka yang mencari masalah dengannya akan berhadapan dengan amarah yang tak terduga.

Kabar tentang penyelamatan dramatis di gudang tua itu menyebar bagai api di tengah terpaan angin. Nama Harry tersebar dari mulut ke mulut, bukan lagi hanya sebagai tabib berbakat, tapi juga sebagai pahlawan pemberani.

Kekaguman terpancar di mata warga Kota Seroja, sementara para preman meringkuk dalam ketakutan, menyebut nama Harry dengan bisikan ngeri.

Di sisi lain kota, di balik pintu-pintu tertutup, pertemuan rahasia kembali digelar.Tabib Andi, Tabib Dina, dan Tabib Budi duduk melingkar, namun kali ini, aura tegang dan cemas menggantikan ambisi mereka.

“Kita sudah kalah,” desah Tabib Andi, suaranya tak lagi angkuh, digantikan oleh keputusasaan. “Harry… dia bukan orang biasa.”

Tabib Dina mengangguk lemah, wajahnya yang dulu penuh rasa iri kini dipenuhi penyesalan.“Kekuatannya… kita tidak bisa melawannya.”

Tabib Budi, otak licik di balik semua rencana jahat itu, kini terdiam seribu bahasa.Ketakutan tergambar jelas di matanya. “Kita harus berhenti,” ucapnya akhirnya, suaranya serak, mengakui kekalahan mereka. “Melawan Harry hanya akan membawa kehancuran bagi kita.”

Keputusan pun diambil. Rasa iri dan kebencian telah tergantikan oleh rasa takut dan juga…sedikit rasa hormat. Mereka telah menabur angin, dan kini menuai badai. Harry, sang tabib yang pernah mereka remehkan, telah menjelma menjadi kekuatan yang tak terhentikan, memastikan kedamaian Kota Seroja, dan menanamkan rasa hormat di hati mereka yang pernah dipenuhi dengki.

1
Amelia
Harry dan Larasati god job...👍👍👍
ansus tri
terima kasih.
Neng Moy
lanjutkan ceritanya seru
ansus tri: tiap hari akan update tiga bab. terimakasih 🙏
total 1 replies
Amelia
semangat aku dukung per bab ya ❤️❤️❤️
ansus tri: terimakasih atas dukungan-nya 🙏
total 1 replies
Amelia
aku mampir Thor semangat ❤️👍
💟《Pink Blood》💟
Jantung berdegup kencang.
Levi Ackerman
Tolong update cepat, jangan biarkan aku mati penasaran 😩
Gassing Richies: itulah knp sy mlaas buka jika msih kurang stocknya....tungguin banyak dulu sekira 100an baru star
total 1 replies
yeqi_378
Gak sabar lanjut ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!