Mata Batin Sang Peramal Tarot

Setelah beberapa hari aku dan keluarga menginap di rumah nenek untuk mengikuti prosesi demi prosesi dari mulai pemakaman sampai tahlil yang dilakukan selama tiga hari, akhirnya kami memutuskan untuk kembali kerumah kami. Tapi, ayah memutuskan mampir ke rumah om Baskara terlebih dahulu.

Jarak rumah om Baskara dengan rumah nenek hanya sekitar satu jam perjalanan dan, searah dengan perjalanan menuju rumah kami.

"Yah, ayah yakin mau mampir ke rumah om Baskara?" Tanya ku sembari melirik ke arah spion dalam mobil mencoba melihat ekspresi wajah ayahku.

Ayahku malah tersenyum. "Yakin lah, kenapa harus gak yakin ka?".

Aku memalingkan mata ku dari spion. Jujur saja, aku masih mengingat penglihatan ku waktu itu. Rasanya itu benar benar nyata, di rumah om Baskara dan ada rencana yang kurang baik yang sedang di lakukan om Baskara, entahlah. Itu yang aku lihat di penglihatanku.

Setelah perjalanan yang cukup membosankan, dan membuatku ketiduran. Aku terbangun karena di bangunkan oleh ibu.

"Ka, ayok turun dulu. Udah sampai rumah om Baskara." Ucap ibu sembari menepuk pundak ku.

Aku mengerjap sedikit kaget lalu, setelah aku sadar, kalau ayah sudah turun lebih dulu, aku buru-buru keluar mobil dan mengikuti langkah ayah yang sudah ada di depan pintu rumah om Baskara.

Sejak kejadian itu, aku jadi sedikit parno, takutnya om Baskara tiba tiba keluar menyambut ayah dengan sebilah golok atau apalah entahlah, aku cuma khawatir.

Ternyata, seorang Asisten Rumah Tangga  yang membukakan pintu rumah om Baskara.

Rumahnya 10 kali lebih besar dari rumah ku. Om Baskara memang pengusaha yang sukses aku akui itu. Keuletannya dalam memanajemen bisnis ayam potong nya, menghasilkan hasil yang saat ini sudah bisa dinikmati.

Kami di persilahkan masuk seperti tamu, dan di persilahkan duduk di ruang tamu om Baskara.

Mataku memindai sekitar, sama persis kondisinya seperti yang aku lihat malam itu. Aku jadi semakin yakin kalau malam itu, aku benar benar ada disini.

"Mau ngapain lagi mas!?" Bentak om Baskara yang tiba tiba keluar dari arah dalam rumah.

Kami semua sontak kaget. Ayah sampai berdiri.

Om Baskara menyuruh ayah untuk duduk lagi dengan mengangkat tangannya.

"Bas, kamu jangan salah paham. Aku mau jelasin semua nya sekaligus aku mau,"

"Sudah mas! Cukup, silahkan mas nikmati harta warisan ibu. Aku tidak butuh!" Timpal om Baskara sebelum ayah menyelesaikan kalimatnya.

Aku melirik ke wajah ayahku yang masih terlihat tenang. Kami berdua, aku dan ibu hanya bisa diam. Sampai kemudian istri om Baskara keluar dan mengajak ibu dan aku masuk ke dalam rumahnya meninggalkan ayah dan om Baskara mengobrol berdua.

Perlakuan Tante Sari, istri dari om Baskara, masih sangat baik pada kami.

Kami di ajak ke ruang keluarga mereka. Tempat dimana aku melihat mereka berdua mengobrol dalam penglihatanku .

"Sebentar mbak aku ambilin minum dulu." Ucap Tante Sari sembari pergi ke arah dapur.

Kami tersenyum dan hanya mengiyakan.

"Tante Sari selalu baik." Bisik ibu. "Mau ada masalah apapun, dia masih hangat Nerima kira kan ka?" 

Aku melirik sembari mengangguk. 

Mataku tidak berhenti nya memindai sekitar rumah om Baskara, sampai mataku berhenti di sebuah bingkai foto besar yang tergantung di dekat sebuah lemari kaca yang berisi kumpulan piala dan beberapa medali yang diperoleh anak anak dari om Baskara dari berbagai macam lomba yang mereka ikuti.

Aku izin pada ibu untuk berpura pura melihat piala piala di lemari kaca itu.

Lalu, perlahan aku berjalan mendekati bingkai foto yang tergantung, mataku tidak salah lihat, ada sesuatu yang menempel di bingkai foto berukuran besar itu. Sebuah kartu, yang sangat ku kenal, kartu yang kemarin aku cari kemana mana, tapi tidak ketemu. THE DEVIL dari tumpukan kartu tarot yang hilang, menempel di foto keluarga milik om Baskara. Ada di antara badan Tante Sari dan kepala anak pertama nya yang masih kecil dan terlihat duduk di pangkuan Tante Sari dalam foto itu.

***