Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Buruk
Larisa mengusap bibir setelah membantu Denis meminum obatnya. Ia tersenyum puas dan sedikit jahil, sedangkan laki-laki itu mendengus sembari membersihkan bibir bekas Larisa.
"Bagaimana? Apa Anda masih mau aku bantu minum obat, Tuan?" tanya Larisa menggoda suaminya itu.
Denis menyalang, menatap Larisa tajam. Sungguh tak menduga wanita itu benar-benar nekad dan liar.
"Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri," ketus Denis merebut obat di tangan Larisa.
Gadis itu terkekeh kecil, berhasil memaksa suaminya menelan obat meskipun harus rela menyerahkan ciuman pertamanya itu.
"Telan obat itu, jangan kau sia-siakan ciuman pertamaku!" sengit Larisa berpaling dengan wajah memberengut.
Ia kesal karena laki-laki itu tak bisa dirayu dengan segala macam cara. Terbayang adegan tadi, di mana Larisa menduduki tubuh Denis dan menahan kedua tangannya. Beruntung, laki-laki itu dalam keadaan lemah sehingga tidak melakukan perlawanan lebih.
Ia memasukkan obat itu ke dalam mulutnya sendiri, menekan hidung Denis dan memasukkan obat itu melalui ciuman. Larisa bergidik sendiri, terpaksa melakukan itu. Sungguh! Bukan inginnya berbuat demikian. Sekarang, dia menyesal dan merasa sudah menjadi wanita liar.
Ada apa dengan wanita itu? Kenapa dia liar sekali?
Denis bergumam sembari mengusap bibir, kemudian tersenyum membayangkan hal tadi.
Apa aku tidak salah mendengar? Dia mengatakan tadi ciuman pertama? Hmmm ... benarkah? Apa aku seberuntung itu?
Denis tersenyum, melirik Larisa yang masih memberengut menghindari kontak dengannya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Larisa melirik tajam, menatap aneh pada Denis yang memperhatikannya tanpa berkedip sambil tersenyum.
Denis menggelengkan kepala, meraih beberapa obat yang dibawakan Haris. Mengumpulkan butiran-butiran itu di tangannya dengan rasa malas dan enggan. Ia tak suka dengan rasa pahitnya.
"Cepat habiskan, setelah itu kau harus beristirahat," ucap Larisa yang menekan tangan Denis mendekati mulut.
Denis mencegahnya melakukan hal aneh, bukan apa-apa. Dia terlalu gengsi. Terus menenggak obat-obat itu dan mengalirkannya ke dalam tenggorokan. Dia meringis, mencari-cari sesuatu yang manis untuk menetralkan rasa pahit.
"Nih!" Larisa memberikan sebuah permen kacang yang terdapat di dalam bungkusan satunya.
Denis buru-buru mengambil permen itu dan mengunyahnya. Larisa berdecih, mencibirkan bibir mengejek Denis.
"Seorang Denis yang terkenal dingin ternyata takut minum obat. Kenapa kau takut sekali dengan obat?" tanya Larisa menelisik wajah suaminya yang memerah setelah menelan obat-obat itu.
Perlahan, wajah Denis kembali normal setelah mengunyah permen kacang tersebut. Beruntung dia tidak memiliki riwayat alergi.
"Kau sudah sarapan?" tanya Denis tak mengindahkan cibiran Larisa tadi.
Ia duduk bersandar, menyelimuti setengah tubuhnya. Menatap Larisa dengan kerutan di dahi.
"Belum. Apa ini khusus untukmu?" Larisa mengangkat bungkusan yang berisi makanan. Ia ingin memakannya jika boleh.
"Makanlah. Aku sudah kenyang, bubur buatan istriku jauh lebih lezat rasanya dari pada makanan itu," ucap Denis tanpa ragu.
Larisa tercenung dengan mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. keduanya saling menatap satu sama lain, menyelami manik masing-masing. Lalu, Larisa memutuskan tatapan dan membawa dirinya pada sofa di ruangan Denis. Menyantap makanan yang dibelikan oleh Haris tadi.
Denis diam-diam memperhatikan Larisa, ia akan mengalihkan pandangan pada ponsel di tangan tatkala gadis itu menoleh. Berpura-pura tak acuh, padahal hatinya berbunga mendengar pengakuan Larisa tadi. Ia pikir, Larisa sudah terbiasa melakukan itu dengan laki-laki lain atau Radit barangkali. Ternyata, gadis yang tak tersentuh. Denis merasa beruntung.
Dering ponsel milik Denis berbunyi, dari Haris. Tanpa menunda lagi, ia mengangkat dan menjawab panggilan asistennya itu.
"Ada apa?" Wajah Denis terlihat serius.
Ia terdiam mendengarkan, Larisa melirik. Gerakan gerahamnya yang sedang mengunyah terhenti, fokus memperhatikan sang suami yang meremas sprei dengan kuat.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Haris! Jangan beri aku kegagalan!" geram Denis dengan napas terengah-engah.
Tangannya jatuh terkulai setelah panggilan terputus. Ia memegangi sebelah dada yang terasa berdenyut nyeri. Meringis menahan sakit, memburu udara dengan tepat.
Larisa yang melihat gegas meletakkan sendok dan berlari mendekatinya.
"Ada apa? Apa kau baik-baik saja?" Ia bertanya dengan cemas, bingung memperhatikan wajah Denis.
"Denis!"
Laki-laki itu kesulitan bernapas, menengadah untuk mendapatkan udara yang lebih banyak. Entah berita apa yang dia terima dari Haris, sampai membuatnya syok berlebih.
"Denis! Denis! Ada apa denganmu! Denis!" Larisa menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang terkulai lemah.
Tubuh Denis tiba-tiba menjadi lemah tak bertenaga. Jangankan untuk bicara, berkedip saja ia tak mampu. Larisa membantunya untuk berbaring, membersihkan keringat yang bermunculan di sekitar wajah laki-laki itu.
Air matanya kembali berjatuhan, bingung harus melakukan apa. Dia hanya bisa menangis.
"Denis! Kumohon, jangan menakuti aku. Katakan sesuatu, Denis! Aku bingung," rengek Larisa di sela-sela isak tangisnya.
Denis mendengar, tangannya menggenggam tangan Larisa dan menarik tubuh itu hingga terjatuh ke dalam pelukan. Denis mendekap erat Larisa meski napasnya masih terasa sesak.
"Tetaplah di sini, Larisa! Aku butuh kau," lirih Denis menggelitik telinga gadis itu.
Larisa menurut, membiarkan laki-laki itu memeluknya. Perlahan, napas Denis membaik. Peluh pun mulai berkurang. Ia terpejam, tapi terjaga. Beberapa saat lamanya, Larisa terkurung dalam lingkaran tangan Denis.
Ia mendongak, membuka mata lebar-lebar. Wajah tampan di hadapannya begitu sempurna meski terdapat bekas luka yang sedikit menonjol. Larisa mengangkat tangan, menyentuh bekas luka itu. Ia ingin tahu seperti apa kehidupan Denis di masa lalu. Bagaimana dia bisa memiliki bekas luka itu?
"Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada kehidupanmu di masa lalu. Bagaimana kau bisa memiliki bekas luka ini? Pasti hidupmu tidaklah mudah, Denis. Kau pasti berjuang sangat keras untuk dapat menyambung hidup. Sama sepertiku yang dijadikan sapi perah oleh keluargaku sendiri."
Larisa bergumam lirih, tak lepas tangannya dari pipi Denis. Ia tak tahu, Denis mendengar itu semua. Ia tak tidur, hanya belum bisa membuka matanya saja, tapi Larisa pikir Denis tertidur.
Ia melirik makanan di atas meja, rasa lapar masih meronta-ronta meminta haknya. Mata melirik Denis, perlahan melepaskan tangan itu dari pinggang dan meletakkan di atas guling.
"Tunggu! Kau mau pergi ke mana?" sergah Denis dengan suara parau dan lirih.
Larisa yang sudah duduk mengembuskan napas. Menatap Denis yang masih terpejam.
"Aku mau melanjutkan makan jika kau sudah baik-baik saja. Aku masih lapar, Denis," jawab Larisa berterus-terang.
Pegangan pada tangannya mengendur, Denis mengizinkan untuk pergi. Ia tersenyum setelah wanita itu duduk kembali di sofa berhadapan dengan makanan.
Iseng tangannya bermain di media sosial, mata Larisa membelalak lebar.
"Apa-apaan dia! Kurang ajar, bisa-bisanya dia memfitnahku tanpa bukti! Awas kau!"
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......